Orality (Oralitas)

admin | 1 - Jul - 2008

Kebudayaan pasca penjajahan/ post-kolonial dalam berbagai hal telah memiliki semuanya, hal ini dipengaruhi oleh adanya hubungan timbal balik antara budaya bahasa secara oral dan literal. Adalah sesuatu hal yang sudah pasti bahwa beberapa kelompok masyarakat seperti dalam kasus kelompok-kelompok masyarakat Afrika dan kasus-kasus yang terdapat di kebudayaan asli kelompok masyarakat pendatang diketahui bahwa kebudayaan secara oral ternyata berkuasa atau berperan besar di masa sebelum penjajahan.

Di sebagian wilayah Afrika, di masa sebelum penjajahan ada beberapa kelompok masyarakat yang secara pesat juga telah berkembang kebudayaan literal dalam bahasa Arab atau telah terdapat diantara mereka yang telah mengaplikasikan skrip berbahasa Arab untuk membuat suatu karya sastra yang disebut ajami bedasarkan bahasa-bahasa mereka sendiri, dan hal ini sudah mengarah pada interaksi-interaksi yang kompleks antara bentuk budaya bahasa lisan dan tulisan di dalam wilayah tersebut. Contohnya, berkenaan dengan kasus India, dimana banyak budaya susastra sebelum masa penjajahan berkembang secara pesat, ada beberapa kebudayaan lisan daerah yang antusias dan memegang peranan yang sangat essensial bagi kebudayaan popular yang berinteraksi dengan tradisi-tradisi kesusastraan. Di bagian barat Indies (West Indies), hadirnya budaya-budaya perbudakan dan adanya buruh-buruh yang disewa dalam jumlah jutaan sepanjang abad kedelapan dan sembilan, keterangan ini rata-rata diketahui secara lisan. Dikarenakan tradisi popular lisan inilah para intelektual di bagian barat Inggris (West Indian) berusaha untuk menemukan warisan budaya Afrika yang terfragmentasi dan menemukan bahasa ibu pada tiap daerahnya. Kajian-kajian budaya post-kolonial telah mengarah pada pengevaluasian ulang secara umum tentang petingnya kelisanan dan kebudayaan lisan serta pengenalan terhadap dominasi tulisan dalam konstruksi ide-ide tentang keberadaban itu sebenarnya sebagai bagian dari sudut pandang kebudayaan praktis yang lebih kompleks. Bahkan budaya susastra yang tinggi memiliki semangat budaya popular secara lisan, sebagai disiplin dalam kajian budaya yang secara meyakinkan telah didemonstrasikan. Dalam masyarakat post-kolonial, dominasi tulisan dalam mempertahankan asumsi-asumsi budaya Eropa dan tanda-tanda keberadaban yang Eropasentris, dan sama halnya dengan sudut pandang tentang tulisan sebagai 'kendaraan' kebenaran dan yang berwenang, mengarah pada sikap merendahkan kebudayaan lisan dan mengasumsikan bahwa kelisanan atau oralitas (orality) sebagai pra pengkondisian budaya bahasa tulis post-kolonial, yang setelah itu termasuk di dalamnya. Kesalahpahaman dua sudut pandang ini dinetralisasi secara cepat di dalam teori post-kolonial.

Dominasi teks-teks antropologi dalam 'merekam' beragam bentuk bahasa 'oral/lisan' adalah bagian dari proses untuk merendahkan oralitas dengan cara membantu memberikan kesan-kesan bahwasanya bahasa lisan/ oral tidak se-sosial dan se-berharga bahasa tulisan atau literal. Menurut antropologi klasik, oralitas seringkali dirancang sebagai sesuatu yang 'tradisional' dalam suatu wacana yang berlawanan dengan 'modern', dan diasumsikan sebagai sesuatu yang sudah lampau dan kaku. Transkripsi secara praktis juga melibatkan perbaikan bentuk-bentuk bahasa lisan dengan cara yang menentang apa-apa yang menjadi esensi dari model performatifitas bahasa lisan, walaupun para antropologi kontemporer telah kembali melihat pentingnya essensi tersebut dan menegasikan kembali keterbatasan bahasa lisan ini. Dalam usahanya mengatasi keterbatasan bahasa lisan ini sebagai dokumen-dokumen social daripada sebagai kontruksi yang kompleks estetis, istilah alternative pun diciptakan, seperti orature, yang maknanya menyarankan bahasa verbal dan kesenian performatif sebagai sesuatu yang kaya makna estetisnya, juga sebagai karya susastra tulis yang kompleks. Tentunya hal ini pun dapat diargumentasikan bila model biner ini gagal melakukan pemilahan atau pengkategorian pada model yang masih tidak dapat berdiri sendiri yang terlibat dalam hubungan dua istilah tersebut. Hasilnya adalah menolak validitas dan keberlangsungan oralitas dengan waktu sekarang/ saat ini, dan menolak adanya essensialitas yang dapat bertahan di dalam kebudayaan-kebudayaan kontemporer post-kolonial.

Beberapa kajian belakangan ini (Barber dan de Moraes-Farias 1989; Hofmeyer 1993) telah menekankan pada fakta bahwasanya budaya berbahasa lisan dan tulis di kelompok masyarakat yang ada pada masa penjajahan/ kolonial dan setelah masa penjajahan/ post-kolonial dan berada di dalam stuasi sosial yang saling berinteraktif dan memiliki hubungan yang saling menguntungkan. Daripada dikekang dalam pemaknaan masa lampau sehingga mengakibatkan istilah ini menjadi inferior terhadap bahasa tulis, sebagai contohnya bentuk bahasa lisan di beberapa kelompok masyarakat Afrika mempunyai hubungan yang dapat berkelanjutan dan sejajar dengan bahasa tulis. Hal ini menjadi tantangan bagi para penyederhana (simplistic) dan suatu asumsi kritik yang spesifik dari budaya post-strukturalis seperti Derrida yang menyatakan bahwa bahasa tulis memiliki posisi yang lebih tinggi dan penting dibandingkan bahasa lisan (logo-sentrism).

Keberlangsungan kegiatan bahasa oralitas di dalam kelompok masyarakat post-kolonial didemonstrasikan dalam sebuah contoh di barat Indies (West Indies), dimana kebudayaan post-kolonial dengan penuh hasrat bermunculan, contohnya seperti figur penyanyi reggae Bob Marley, seorang penyair Michael Smith, dan seorang pendongeng dan pemain teater wanita dan Sistren Collective, juga penulis seperti Walcot, Harris, Brathwaite atau Brodber. Di Afrika Selatan bentuk bahasa lisan seperti 'lagu-lagu pujian' telah di adopsi secara modern oleh institusi-istitusi Eropa seperti serikat buruh (digunakan pada saat rapat-rapat umum) dan juga telah mengembangkan aspek formal dan sosial dari teks-teks tulisan dan segi praktisnya (lihat Gunner dan Gwala 1991). Dalam beberapa kasus, tidak hanya dari hasil karya bahasa tulis yang secara meningkat termodifikasi oleh keberadaan dari bentuk-bentuk popular bahasa lisan, tetapi dengan sendirinya budaya-budaya bahasa lisan juga telah tertransformasikan oleh adanya interaksi yang terus berlanjut dengan kebudayaan bahasa tulis periode modern.

Bacaan lebih lanjut: Barber dan de Moraes-Farias 1989; Gunner dan Gwala 1991; Gunner dan Furniss 1995; Hofmeyer 1993; Ong 1982.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar