Mimikri
admin | 6 - Apr - 2009Mimikri adalah sebuah istilah yang semakin penting dalam teori post-kolonial, karena ia telah menggambarkan hubungan yang ambivalen antara penjajah dan yang dijajah. Ketika diskursus kolonial mendorong subjek yang dijajah untuk ‘memimikkan/meniru (mimic)’ sang penjajah, dengan mengadopsi nilai-nilai, institusi, asumsi-asumsi dan kebiasaan budaya kaum penjajah, hasilnya tidak pernah berupa reproduksi yang begitu saja dari ciri-ciri ini. Sebaliknya, hasilnya adalah sebuah ‘tiruan yang kabur’ dari kaum penjajah, yang bisa sungguh mengancam. Hal ini disebabkan oleh karena mimikri tidak pernah sangat jauh dari olok-olok, karena ia tampak dapat mengejek apa saja yang ia tiru. Dengan demikian, mimikri menemukan sebuah keretakan dalam kepastian dominasi kolonial, sebuah ketidakpastian dalam pengendaliannya atas perilaku mereka yang dijajah.
Mimikri seringkali menjadi tujuan yang terbuka dari kebijakan imperial. Sebagai contoh, Minute to Parliament karya Lord Macaulay di tahun 1835 mencemooh ilmu pengetahuan Timur, serta menganjurkan reproduksi seni dan ilmu pengetahuan Inggris di India (yang paling strategis, melalui pengajaran kesusastraan Inggris). Meskipun demikian, metode yang dipakai untuk mencapai mimikri ini menunjukkan kelemahan mendasar dari imperialisme. Di mana Macaulay menganjurkan bahwa kekayaan ilmu pengetahuan Eropa harus ditanam oleh ‘segolongan penafsir yang berada di antara kita dan jutaan orang yang kita perintah – golongan orang India dari darah dan warna kulit, tetapi merupakan golongan orang Inggris dari selera, pendapat, moral dan kepandaian’ (Macaulay 1835). Dengan kata lain, tidak hanya mimikri ilmu pengetahuan Eropa yang kemudian terhibridasi dan dengan demikian bersifat ambivalen, tetapi Macaulay tampak menganjurkan bahwa diskursus imperial terpaksa harus melakukannya agar ia bisa bekerja.
Istilah mimikri menjadi sangat penting dalam pandangan Homi Bhabha tentang ambivalensi dari diskursus kolonial. Baginya, konsekuensi dari anjuran seperti yang dinyatakan Macaulay adalah bahwa mimikri merupakan proses di mana subjek yang dijajah direproduksi menjadi ‘hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya sama’ (Bhabha 1994: 86). Peniruan nilai-nilai, tatakrama, perilaku dan budaya kaum penjajah oleh kaum yang dijajah mengandung baik ejekan dan ‘ancaman’ tertentu, ‘sehingga mimikri itu adalah kemiripan dan sekaligus ancaman’ (86). Mimikri mengungkap keterbatasan dari kekuasaan diskursus kolonial, hampir seolah-olah kekuasaan kolonial tanpa dapat dihindari menyimpan benih-benih kehancurannya sendiri. Menurut Bhabha, garis keturunan ‘manusia mimik’ yang muncul dalam tulisan Macaulay dapat dilacak melalui karya-karya Kipling, Forster, Orwell dan Naipaul, dan merupakan akibat dari ‘peniruan kolonial yang cacat, di mana diinggriskan (Anglicized) adalah benar-benar bukan menjadi orang Inggris’ (1994: 87).
Konsekuensi dari hal ini bagi kajian post-kolonial benar-benar dahsyat, karena apa yang muncul melalui cacat ini dalam kekuasaan kolonial adalah tulisan, yaitu tulisan post-kolonial, ambivalensi yang ‘mengancam’ kekuasaan kolonial. Ancaman mimikri tidak terletak pada penyembunyian identitas yang sebenarnya di balik topengnya, tetapi datang dari ‘visi ganda, yang ketika menyingkap ambivalensi dari diskursus kolonial juga menganggu kekuasaannya’ (88). Dengan demikian, ‘ancaman’ dari tulisan post-kolonial tidak harus muncul dari suatu penentangan otomatis terhadap diskursus kolonial, tetapi datang dari gangguan terhadap kekuasaan kolonial, dari kenyataan bahwa mimikrinya juga berpotensi menjadi ejekan. Sekalipun penafsir Macaulay, atau ‘manusia mimik’ Naipaul (dibahas di bawah) adalah objek yang tepat dari rantai komando kolonial, tetapi mereka juga merupakan subjek kolonial yang ‘tidak tepat’, karena apa yang ditanamkan dalam perilaku mereka adalah sesuatu yang pada akhirnya akan berada di luar jangkauan kontrol dari kekuasaan kolonial. ‘Ketidaktepatan’ ini mengganggu normalitas dari diskursus yang dominan itu sendiri. Dengan demikian, ancaman yang melekat dalam mimikri tidak datang dari sebuah perlawanan yang terbuka, tetapi dari cara di mana ia terus mengedepankan sebuah identitas yang tidak sepenuhnya sama dengan kaum penjajah. Identitas dari subjek kolonial ini – ‘hampir sama tetapi bukan kulit putih’ (89) – memiliki arti bahwa budaya kolonial secara strategis selalu berpotensi memberontak.
Mimikri dapat bersifat ambivalen dan berlapis-lapis. Dalam novelnya, The Mimic Men, V.S. Naipaul membuka dengan penggambaran yang sangat halus tentang kompleksitas mimikri, ketika ia mep… (text terpotong)
Saya membayar Tuan Shylock tiga guinea per minggu untuk sebuah kamar yang tinggi, berbentuk-buku, berkaca banyak, dengan sebuah lemari pakaian yang berbentuk seperti peti mati. Dan untuk Tuan Shylock, penerima tiga guinea sebanyak lima belas kali satu minggu, pemilik seorang nyonya rumah dan pakaian yang terbuat dari kain yang begitu bagus sehingga saya merasa bahwa saya dapat memakannya, saya tidak mempunyai apa-apa kecuali kekaguman….Saya pikir Tuan Shylock kelihatan terhormat, seperti seorang pengacara atau pengusaha atau politisi. Ia memiliki kebiasaan menggerakkan cuping telinganya, mencondongkan kepalanya untuk mendengarkan. Saya pikir gaya itu menarik; Saya menirunya. Saya mengetahui berbagai kejadian belakangan ini di Eropa; hal itu menyiksa saya; dan meskipun saya berusaha untuk mempertahankan hidup dengan tujuh pound dalam satu minggu, saya persembahkan rasa haru saya sepenuhnya di dalam hati kepada Tuan Shylock.
Bagian yang sangat ironis ini mengungkap cara bekerjanya hegemoni dan mimikri. Meskipun judulnya memperlihatkan sebuah ejekan terhadap kecenderungan meniru kaum penjajah, potensi memberontak yang kompleks dari mimikri muncul di bagian ini. Sang narator tidak hanya meniru kebiasaan si tuan tanah, tetapi meniru rasa bersalah Eropa pasca-perang berkenaan dengan kaum Yahudi, sebuah rasa bersalah yang juga melekat dalam keakraban kultural dengan implikasi nama ‘Shylock’ (orang Yahudi yang menuntut pembayaran kembali satu pon daging dalam Merchant of Venice karya Shakespeare). Ia terdorong untuk meniru rasa haru terhadap orang yang mengeksploitasi dirinya. Tetapi ironi yang sebenar-benarnya dari bagian ini memperlihatkan sebuah pembalikan, sebuah ejekan yang terletak sedikit di bawah permukaan; bukan ejekan kepada Shylock, tetapi kepada seluruh proses penjajahan yang sedang dijalankan dalam pemahaman budaya dan mimikri dari si narator. Dengan demikian, mimikri dari subjek post-kolonial selalu berpotensi mendestabilisasi diskursus kolonial, serta menemukan sebuah area politik dan budaya yang sangat tidak pasti dalam struktur dominasi imperial. Bacaan lebih lanjut, Bhabha 1994; Parry 1987.
Tweet
« Ketika Genk Rese Memaknai Syariat Islam
Tulisan sesudahnya:
Etnisitas »
Pencarian
Kategori Istilah
Random Post
- Aksi Massa Tolak Pabrik Semen di Pati Terus Berlanjut(0)
- Pluralisme Itu Rancangan Tuhan(0)
- Deport 3 ed. Indonesia(0)
- Pro-Kontra Pengelolaan Situ Lengkong Panjalu(0)
- Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar(1)
- Srinthil edisi 22: Tuak Tradisi dan Perempuan(0)
- Rosnawati: Biarkan Kesenian Tradisi Milik Rakyat(1)
- Sekolah Multikultural Desantara (Angkatan 2008)(0)
- Ketika Pesantren pun Merawat Kesenian(0)
- Etnisitas(0)
- PERKENALAN DENGAN MULTIKULTURALISME(0)
- Bayang-Bayang Pabrik Semen di Keseharian Sedulur Sikep(0)
- Pesantren dan Penghapusan Diskriminasi(0)
- Polemik Pembangunan Pemakaman Kristen Di Kedung Menjangan Cirebon(0)
- Raharjo Untung: Jika Terus Konflik, DKJ akan rapuh(0)