Pemisah Metonimik
admin | 27 - Jun - 2008Metonymic Gap (Pemisah Metonimik). Adalah istilah yang secara argumentatif merupakan bentuk yang paling halus dari pembatalan/pencabutan. Pemisah metonimik adalah pemisah kebudayaan yang terbentuk ketika apropriasi dari bahasa kolonial dimasukkan ke dalam kata-kata, frase-frase, bagian-bagian yang belum diterjemahkan atau diterangkan sebelumnya dari bahasa pertama, konsep-konsep, kiasan, atau referensi-referensi yang tidak diketahui oleh para pembaca. Kata-kata semacam itu menjadi synechdochic (sinekdot) bagi budaya penulis tersebut – suatu bagian yang mewakili keseluruhannya daripada sebagai representasi dunia, layaknya bahasa kolonial.
Maka dari itu bahasa yang dipaksakan tersebut ‘mewakili’ kebudayaan yang terkolonialisasikan melalui sudut pandang metonimik, dan resistensinya terhadap interpretasi mengkonstruksi ‘pemisah’ (gap) antara kebudayaan penulis dan kebudayaan kolonial. Sehingga penulis lokal dapat merepresentasikan dunianya kepada para penjajah (dan yang lainnya) dalam bahasa metropolitan, dan pada saat yang bersamaan juga memberikan sinyal dan menekankan perbedaan bahasa dan budaya lokal mereka. Akibatnya adalah, penulis tersebut akan berkata “Saya menggunakan bahasa anda agar anda dapat mengerti tentang dunia saya, tetapi dengan demikian anda pun akan mengetahui dengan adanya perbedaan-perbedaan ketika saya menggunakan bahasa anda, bahwa anda tidak dapat berbagi pengalaman saya.”
Terdapat berbagai cara tentang bagaimana bahasa dapat melakukan hal tersebut: penggabungan sintaksis, neologisme; perpindahan-kode; kata-kata yang tidak terjemahkan. Sebuah contoh terdapat di dalam karya Ngugi A Grasin of Wheat, dimana Gikonyo menyanyikan sebuah lagu untuk calon istrinya Mumbi di Gikiyu (Ashroft 1989b: 61). Lagu itu sendiri padat dengan ironi walaupun begitu tetap tidak dapat diakses oleh para pembaca yang bukan berasal dari Gikuyu. Lagu tersebut melakukan pengulangan-pengulangan terhadap tidak adanya penjelasan (yang telah dijelaskan sebelumnya) yang terletak pada titik yang saling menghubungkan dua kebudayaan. Masuknya lagu Gikuyu ke dalam teks menghadirkan sebuah ‘pemisah’ kebudayaan yang menekankan perbedaan yang bagaimana pun juga mengkondisikan ‘pemisah’ tersebut di dalam situasi yang membuatnya menjadi dapat diakses.
Bacaan lebih lanjut: Ashroft 1989b
Tweet
« Commonwealth Literature (Kesusastraan Persemakmuran)
Tulisan sesudahnya:
Intervensi Negara terhadap Kebudayaan Menghancurkan Padang Mandar »
Pencarian
Kategori Istilah
Random Post
- Majalah Desantara Edisi 15/Tahun VII/ 2007 : Subversi Erotis Lengger Banyumas(0)
- La Unge Setti: Biarkan Kami Menganut Keyakinan Ini…(0)
- Majalah Desantara Edisi 07/Tahun III/2003 : Dulu Kami Kafir, Sekarang Beragama(0)
- Gandrung dan Identitas Daerah(0)
- Bissu: Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis(2)
- Warga Pati Adukan Semen Gresik ke Gus Dur(0)
- Konversi dan Problem Kerukunan Beragama(0)
- Sinkretisme, Sebuah Solusi(0)
- Identitas Plural vis a vis Rezim Representasi(0)
- Ada Apa Dengan RUU Kerukunan Umat Beragama?(0)
- Gandrung, Kesepian di Tengah Keramaian(0)
- Kawin Beda Agama Membentur Tembok Negara(0)
- Obyektifitas(0)
- Ngatrulin, Dukun Desan Ngadas, Tengger(0)
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai(0)