Ketika Kategori Kultural Semakin Cair

admin | 14 - Mar - 2008

Belum lama ini sejumlah aktifis dan seniman mendatangi gedung DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam hearing bersama wakil rakyat itu, seorang seniman dari LPKK (Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kutai) Tenggarong melontarkan usulan yang mengundang tanya. Katanya, bila Kutai Barat dan Kutai Timur telah mengembangkan kesenian (kebudayaan) pedalaman (Dayak), maka Kutai Kartanegara harus mengambil kesenian pesisir, Melayu/Islam, agar memiliki kekhasan dari wilayah kabupaten lainnya.

Entah apa sebenarnya yang ada di benak sang aktifis ini. Mirip keyakinan dan nalar para pengambil kebijakan kita di masa Orde Baru, seolah-olah kebudayaan pesisir dan pedalaman berbeda secara esensial, begitu pula identitas orang-orang di dalamnya selalu tetap dan tak berubah. Padahal kenyataan sosial selalu berkembang dan berjalan dinamis sehingga tak mungkin dikotak-kotakkan dalam kategori tunggal semata.

Produk festival

Pembagian kategoris kesenian pedalaman dan pesisir di Kaltim sebenarnya belum lama terdengar. Istilah ini baru diperkenalkan oleh Dinas Pariwisata Kalimantan Timur dalam acara festival kesenian tahun 2001. Selanjutnya ia dipertegas dalam perhelatan Festival Kemilau Seni Budaya Etam, Desember 2006, yang mem-festival-kan musik pesisir/pedalaman, busana pesisir/pedalaman, dan tari pesisir/pedalaman. Kegiatan ini diprakarsai Dinas Pariwisata dan Taman Budaya Kalimantan Timur dan diikuti oleh 13 kabupaten/kota se-Kaltim.

Namun ada hal menarik dari berbagai festival ini. Kendati tema festival mengusung kesenian pesisir dan pedalaman, berbagai pertunjukan justeru melampaui angan-angan penyelenggaranya. Apa yang dianggap kesenian pedalaman yang khas ternyata memiliki unsur-unsur kesenian pesisir. Demikian pula sebaliknya, jenis musik yang sering dikategorikan khas pesisir justeru menampilkan perpaduan unik antara musik yang dianggap Islami itu dengan musik tradisional masyarakat Dayak.

Darmo, misalnya, mengaku gerakan tarian grupnya biasa dimainkan oleh komunitas adat di hulu sungat Mahakam. Namun demikian tarian yang dimainkannya juga memuat unsur yang dianggap khas pesisir itu. “Lihat saja alat musiknya, selain sampeq kami juga menggunakan tingkilan yang sering dikategorikan alat musik pesisir, bahkan Islam,” papar peserta festival yang dari namanya saja barangkali orang tak menyangka dirinya berasal dari suku Dayak Benuaq, Kutai Barat.

Pengakuan ini juga diamini Indra Bengeh yang menjabat kepala adat Dayak Besar, Kutai Timur. Ia menuturkan tidak semua warga Dayak tinggal di pedalaman, begitu pula mereka yang tinggal di pesisir yang sebagian menetap di sepanjang pesisir Sangkulirang. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Kutai dan Melayu yang tidak seluruhnya tinggal di pesisir. ”Makanya tidak tepat jika pedalaman itu hanya disebut Dayak dan pesisir itu Kutai dan Melayu,” tandas Indra Bengeh usai menampilkan musik dan tari Dayak Modang dari Kutai Timur itu.

Pandangan kategoris bahwa pedalaman merepresentasikan Kristen sementara pesisir Islam juga dipatahkan oleh masyarakat sendiri. Bagi Darmo, persepsi demikian itu, setidaknya dalam kesenian, sangat menyesatkan dan bisa berakibat serius terhadap hubungan sosial dalam masyarakat. ”Tidak ada hubungan langsung antara tarian baik pedalaman maupun pesisir dengan agama tertentu secara kaku,” demikian tegasnya. Pendapat serupa juga keluar dari mulut seorang seniman teater asal Samarinda, Lita. ”Jika ada orang Dayak masuk Islam biasanya disebut Melayu atau Kutai, padahal itu bisa membuat seseorang kehilangan hak kulturalnya sebagai Dayak,” tandasnya.

Problematis

Ya, bagi Darmo dan juga Lita di atas, identifikasi agama dengan etnisitas atau kategori-kategori tertutup lainnya bukan hanya membingungkan dari segi nalar sehat tapi juga problematis dalam realitas sosial. Berbagai macam ritual yang dijalankan komunitas Dayak Benuaq dan Tunjung di Kaltim, seperti ngugu taun (bersih desa), ritual kewangkey (ritus kematian untuk balas jasa terhadap arwah-arwah leluhur), dan juga ritual belian (upacara penyembuhan khas komunitas Tunjung dan Benuaq), barangkali bisa membuyarkan kotak-kotak kategorial semacam itu. Dalam setiap ritual tersebut, terdapat berbagai tarian yang dimainkan tanpa mengenal batas agama. Bahkan bisa dikatakan, dalam satu ritual ada beragam agama. Di Jahab, Kutai Kartanegara, misalnya, kepala adatnya beragama Katolik, belian-nya Muslim, ada juga yang Kristen, dan lainnya beragama Kaharingan.

Dalam ranah kesenian, gugatan terhadap identifikasi agama dan etnis atau budaya itu kenyataannya jauh lebih kuat dan semarak. Meski dewan juri festival telah mengelompokkan berbagai kesenian dalam kategori pedalaman dan pesisir, kenyataannya banyak grup musik dan tari tradisi yang mengawinkannya dengan gambus yang konon khas pesisir (dan juga Islami) dan sampeq yang pedalaman. Lagu mayanyo dari suku Tidung, misalnya, dimainkan secara apik dan padu dengan iringan musik sampeq, gambus serta tingkilan sekaligus. Demikian pula kelompok musik pedalaman Kutai Barat yang diiringi alat musik tingkilan yang tampil memikat. Realitas ini memperlihatkan betapa identitas, kategori-kategori, dan kebudayaan begitu cair, plural dan amat dinamis.

Begitulah, kenyataan bahwa kesenian dan kebudayaan di Kaltim tumbuh beragam memang harus diterima akibat keragaman sosialnya. Namun, menentukan kategori kebudayaan itu secara tertutup apalagi didorong oleh kepentingan eksternal (politik dan pariwisata) tentu tidaklah tepat. Adalah kekeliruan bila kebudayaan diandaikan seperti pakem yang bisa dikotakkan berdasar batas-batas wilayah geografis, teritorial atau kelompok etnis tertentu.. Begitu pula mengandaikan identitas kebudayaan yang selalu tunggal, tanpa menyadari bahwa ia selalu dikonstruksi secara sosial dan politis.

Bukankah cara pandang semacam itu hanya mengkopi angan-angan sentralisme kekuasaan Orde Baru yang mendirikan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) sebagai representasi tunggal identitas budaya daerah? Desantara


Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian