Halilintar Latief: Pendidikan Seni, Belum Memanusiakan Manusia

admin | 3 - Mar - 2008

Sudah jamak pendidikan seni di sekolah-sekolah dianggap sebagai pelajaran sekunder. Kesenian sebagai medium ekspresi intelektual dan kultural manusia belum dipertimbangkan sebagai aspek signifikan dalam perkembangan kehidupan siswa.

Berikut ini kami suguhkan sebagian wawancara Desantara dengan Dr Halilintar Latief, seorang budayawan dan Ketua Pendidikan Nusantara, dan Drs. Suwandi, Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan.

Dr. Halilintar Latief (Budayawan dan Ketua Pendidikan Nusantara Sul-sel); “Pendidikan Seni, Belum Memanusiakan Manusia”

Desantara : Saat ini sejauh mana keberadaan pendidikan seni di sekolah-sekolah?

Halil : Hanya sekedar formalitas belaka. Ia menjadi salah satu mata pelajaran karena kebetulan ada dalam kurikulum saja, itupun dengan jam yang sangat minim per minggunya.

Desantara : Artinya pendidikan seni tidak memperoleh porsi yang wajar dalam kurikulum kita?

Halil : Bukan hanya itu, tapi juga keberadaan pendidikan kesenian di sekolah-sekolah tidak jelas apa tujuannya. Misalnya apakah untuk menumbuhkan bakat seorang anak, atau mendorong seorang anak didik agar bisa mengapresiasi seni? Itu tidak jelas. Apalagi misalnya kalau guru keseniannya berasal dari seni rupa maka yang dikembangkan ya seni rupa itu saja, tidak peduli apakah ada anak didik yang berbakat dalam kesenian-kesenian yang lain.

Desantara : Menurut Anda apa masalahnya?

Dr Halil : Ini bukan sekedar kesalahan sekolah atau kepala sekolah. Banyak pihak yang terkait dalam masalah ini seperti pemerintah khususnya pihak parawisata dan dinas pendidikan. Kekeliruannya terletak pada cara pandang mereka selama ini terhadap kesenian. Kesenian hanya dilihat dari sisi materinya, dikembangkan sejauh dia menguntungkan, jadi sama sekali tidak dilihat aspek atau ajaran-ajaran kemanusiaan dari kesenian ini seperti keragaman budaya, misalnya.

Desantara : Anda mau mengatakan bahwa pendidikan seni di sekolah ditujukan untuk kepentingan pertunjukan semata?

Halil : Betul. Jadi kalaupun ada tujuan dalam pendidikan kesenian di sekolah, mungkin inilah satu-satunya tujuan. Misalnya di Sulsel ini, karena kesenian kita sangat dipengaruhi oleh Group ANNIDA (kesenian hasil kreasi Ibu Nani Sapada dan koleganya), arahnya betul-betul menggunakan estetika Barat yaitu keindahan yang dilihat dari sisi pertunjukannya, menarik atau tidak. Kalau menarik artinya bisa mendatangkan keuntungan material. Di sekolah-sekolah pendidikan kesenian mengadopsi cara pandang semacam ini, sehingga anak didik yang berbakat hanya mementingkan gerekan atau keindahan suara saja. Misalnya banyak anak didik yang tahu Tari Pakarena tapi mereka belum menjadi perempuan yang benar-benar memahami bagaimana sesungguhnya perempuan Makassar.

Desantara : Lantas idealnya seperti apa?

Halil : Perlu ada pembedaan antara kesenian sebagai pendidikan dan kesenian tontonan yang memang mau dipentaskan. Bukan persoalan bila sekolah memberikan pelajaran kesenian yang hendak dipertunjukkan, tapi seharusnya dimulai dulu bagaimana membangkitkan apresiasi dan penghargaan anak didik terhadap kesenian tradisi. Pendidikan seni tidak dilihat semata-mata mendatangkan duit tapi karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kemanusian, seperti ungkapan kedona ampe malebbi (sikap dan tingkah laku yang mulia) dalam kesenian. Anak didik juga diharapkan mampu menghargai perbedaan sehingga hilang sikap egosentrisme.

Desantara : Adakah prasyarat untuk mencapai tujuan ideal semacam itu?

Halil : Ya. Kita harapkan terlebih dahulu perhatian pemerintah terhadap pendidikan seni di sekolah menjadi lebih baik. Guru-guru kesenian diperhatikan bukan sekedar guru pelengkap saja. Bantuan-bantuan harus dialirkan dan kurikulum harus dibenahi dengan memosisikan kesenian ini sebagai salah satu mata pelajaran penting bagi siswa. Secara umum perspektif pembangunan kita yang ekonomisentris juga sudah harus dievaluasi. []

Drs. Suwandi (Kepala Seksi Kurikulum Dinas Pendidikan);

“Pendidikan Seni di Sekolah harus Bisa di terima Pasar”

Desantara : Dimana titik berat sistem pendidikan kita?

Suwandi : Diharapkan lulusan sekolah kita bisa mengembangkan teknologi dan ekonomi. Karena itu sekolah-sekolah kejuruan semakin didorong agar siswa dapat langsung diterima pasar kerja. Ini adalah lanjutan dari kebijakan Mendikbud Pak Wardiman dulu sehingga mata pelajaran kejuruan dan berkaitan dengan teknologi maupun ekonomi porsi jam pelajarannya lebih banyak.

Desantara : Itukah sebabnya pendidikan seni seolah-seolah diabaikan?

Suwandi : Tak ada yang seperti itu. Kini sekolah bersifat otonom, mereka berhak menentukan prioritas-prioritas. Mungkin saja di satu sekolah pendidikan seni tidak terlalu dikembangkan karena tidak ada potensinya. Tapi itu bukan kebijakan dari atas, melainkan internal sekolah itu sendiri.

Desantara : Justru kini kecenderungan mata pelajaran kesenian di sekolah-sekolah dinomorduakan…

Suwandi : Itu tidak benar. Tidak ada istilah mata pelajaran ini dikesampingkan, apalagi guru-gurunya kurang memperoleh perhatian. Pada prinsipnya semuanya sama.

Desantara : Dalam konteks titik berat pendidikan semacam itu, lalu bagaimana posisi pendidikan seni kita?

Suwandi : Kita harapkan nantinya pendidikan seni bisa menghasilkan seniman-seniman profesional. Tujuannya agar pendidikan seni juga singkrong dengan kebijakan tadi, yakni tetap dapat mengembangkan perekonomian.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian