Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret

Abd. Latif Bustami | 24 - Dec - 2013

Judul di atas diambil dari kesaksian seorang tandhe’ kona (penari tandhe’ jaman dulu), dari Kampong Tajjen, Desa Slopeng, Kecamatan Dasok Sumenep, almarhum Ny.Suratmi (78 tahun) yang disenandungkan saat pentas ’katanya perawan kok punya anak, katanya janda kok punya suami’. Judul itu saya jadikan fokus kajian ini karena subtansinya mengekpresikan kritik sosial oreng kene’(orang yang berada dalam lapisan bawah), oreng gunong bato kaletthak(orang gunung, orang desa) terhadap keperkasaan dunia serba laki-laki dan serba santri. Dalam praktiknya kehidupan itu menunjukkan santri artifisial yang sering melakukan anomali sosial. Bahkan, perilakunya berada pada titik nadir. Realitas itu saya sebut dengan istilah santri coret.

Perempuan seni oreng kene’ Madura hidup dalam sebuah masyarakat tatap muka dalam sebuah ekologi tegal yang menghadirkan laki-laki sebagai pelaku utama. Ekologi itu berimplikasi pada terbentuknya perkampungan terpencar (scattered village) dan pola perumahan yang spesifik (tanean lanjheng). Perjumpaan Madura dengan Islam menghasilkan integrasi Islam dalam kehidupan masyarakat Madura, Madura Islam (Bustami 2004). Kehidupan masyarakat diatur oleh tafsir serba santri dengan klaim-klaim kebenarannya dijadikan teks suci. Teks itu hampir pasti tidak menyisakan ruang gerak bagi yang berbeda.Kesenian yang berbeda dengan serba santri, misalnya perempuan tandhe’ diidentikkan dengan dunia syaithon[3]. Relasi kuasa antarkeduanya berlangsung a simetris dan stigma peyoratif yang sering berujung konflik.

Sementara itu, di antara anggota masyarakat yang memiliki keahlian seni dan ingin menikmati seni yang berbeda membutuhkan media untuk mengekspresikan berkesenian itu. Kenyataan kultural itu mengilhami perempuan seni tandhe’ Madura menjadi pelintas batas teks suci keyakinan keagamaan, nilai budaya agraris tegal, politik formal dan hukum. Mereka keluar dari teks suci aurat perempuan diterjemahkannya di tanenan lanjheng yang telah digelar tikar dengan berbusana leghe dengan membiarkan bagian dada ke atas terbuka tanpa busana. Hubungan yang ditafsirkan relasi penuh syahwat antara laki-laki dan perempuan diekspresikannya dengan menari berpasangan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Sungguh, kenyataan yang sulit diterima nalar budaya Madura. yang menjadikan Islam sebagai kekuatan integratif. Mengagumkan,perempuan tandhe’ bisa mengekpresikan seni di kalangan mereka serba santri. Bahkan, mereka mampu mereproduksi teks Islam dengan nalar perempuan seni.

Siasat kultural itu secara evolutif perempuan seni berhasil menembus batas tampil di ruang publik, bergaul akrab dalam dunia laki-laki, di luar permukiman dan mereka, di luar publiknya sendiri yang sebelumnya diyakini sebagai hal yang tabu. Perempuan yang sebelumnya hanya berkutat dalam arena tanean lanjheng-nya sendiri, ditembus dengan tampil terbuka di ruang pulik, keluar dari arena serba santri. Hal yang sama dilakukan setelah kembali dari manggung’ dunia gemerlap’,obyek pesona ‘ke legal ‘dunia sebenarnya sehingga terjadi proses pembelajaran bagi masyarakat sekitar, mana dunia penuh pesona dan dunia keseharian. Dengan sendirinya, ruang publik menjadi lebih terbuka.Seni menyediakan ruang untuk lintas jender, lintas generasi, lintas pekerjaan, lintas tanean lanjheng, lintas tegal (Bustami 2007).

Di sisi lain, kajian seni sebagai media kritik selalu dikaitkan dengan narasi agung, yaitu relasi serba kuasa sebuah rejim dan elitis. Artinya, seni sebagai media kritik sosial oreng kene’ sementara ini belum menarik perhatian. Ironisnya, pengabaian itu dilakukan oleh peneliti perempuan sendiri,misalnya Bouvier (2002).

Tulisan ini menjelaskan tentang ekspresi kritik sosial perempuan seni Madura terhadap realitas sosial masyarakat yang selama ini mengklaim dirinya lebih Islami, nalar serba santri dalam pilihan berkesenian tetapi dalam praktiknya tidak konsisten.

Nalar Perempuan Seni: Santri Coret

Islam menciptakan kebudayaan agama pada masyarakat Madura, di antaranya adanya ungkapan a pajung Allah, a sapo’ iman, a bental syahadat’ (berpayungkan Allah, berselimutkan iman, berbantalkan syahadat, pola perumahan tanean lanjheng dengan institusi langgar, pesantren, dan kyai (Bustami 2004). Pemukiman di Madura hanya terdapat satu pintu keluar masuk yang bermakna untuk melindungi dan mengawasi warga. Di sebelah barat tanean terdapat langger (musholla) yang dibangun dengan aristektur panggung, yang di dekatnya terdapat paddesen (tempat wudhu) sebagai batas wilayah suci dan terpolusi dari tempat mandi dan sumur. Bentuk pemukiman tanean lanjeng yang dibangun oleh orang tua dan anak perempuan yang telah berkeluarga. Kondisi ini berhubungan dengan adat menetap sesudah menikah yang mencerminkan kombinasi antaar uksorilokal dan matrilokal atau uxorimatrilocal. Bisa jadi, tanean lanjeng merupakan pemukiman tua di Madura (Jonge, 1989).

Konsekuensi sosial pemukiman itu adalah munculnya solidaritas internal antarmasing-masing anggota menjadi sangat kuat dan solidaritas desa menjadi rendah. Media peneguhan solidaritas dan meretas ranah itu sehingga saling menyapa adalah kekerabatan, mekanisme pasar, dan kesenian.

Perempuan seni semuanya beragama Islam dan menyatakan bisa mengaji al-qur’an. Mereka mengalami enkulturasi dan sosialiasi dalam budaya Madura yang berakar pada agama Islam dan berbasis ekologi tegal. Pesan yang disampaikan dengan kritik sosial dalam kejhung menggugah kesadaran publik untuk mengedepankan kearifan

Kebudayaan agama itu berujung pada munculnya klaim santri dengan kooptasi tafsir dalam menentukan pilihan berkesenian. Ruang berkesenian menjadi terkapling-kapling, yaitu kapling santri dan kapling blater. Tandhe’ dikonstruksi berada dalam kapling blater. Temuan saya, batas kapling itu blur dan terjadi pelintas batas yang bermain dalam dunia liminal ’between and betwext’ dalam perspektif Turner. bahkan ustads jatuh cinta kepada Rahwiye, tandhe’ dari Desa Tobelle Bere’ dan menikahinya (Bustami 2007). Geliat perempuan seni dalam masyarakat Madura itu dengan menebar pesona berimplikasi pada terjadinya perubahan, di antaranya perempuan memasuki ruang publik, lintas wilayah, dan menembus batas keyakinan keagamaan. Perempuan tandhe’ diidentikkan dengan stigma peyoratif yang mempertontonkan gerakan erotis dan membuka aurat yang menimbulkan syahwat, melanggar syariah karena menari dengan seseorang yang bukan muhrim dan menjadi biang keladi ketidaknyamanan rumah tangga.

Perempuan seni yang mengalami sosialisasi dan enkulturasi dalam kehidupan di atas mampu melakukan kreatifitas dengan baik melampaui tradisi dan menjadi perantara budaya. Seni menjadi media integrasi masyarakat Madura dari berbagai latar belakang. Artinya, seni menjadi pertemuan orang-orang yang mempunyai selera berkesenian.

Perempuan disa bisa melakukan kritik di tengah masyarakat yang didominasi oleh laki-laki dan tafsir monolitik keyakinan keagamaan sebagai sebuah pencerahan. Lebih jauh dari itu, ia ikut menjadi saksi perubahan sosial, aspirasi kultural, maupun ekspresi berkesenian para pendukungnya yang tidak hanya berasal dari oreng kene’ melainkan pula dari para arje. yang mengungkapkan kritik konservatif dan kenyataan-kenyataan lokal. Boleh jadi, tandhe’ menurut saya sebagai coping stress bagi perempuan seni, pendukungnya dan penonton.

Dunia yang didominasi kuasa serba santri ternyata melakukan penyimpangan syariah, yaitu pergaulan bebas. Pergaulan itu menyebabkan munculnya para perawan desa yang mempunyai anak, dan para janda yang mempunyai suami. Para pengritik menerapkan tafsir serba santri pada prinsipnya mempertontonkan Islam artifisial, Islam minimalis dengan cara memainkan kenampakan santri simbolis tetapi dalam praktiknya melakukan tindakan tercela. Perbuatan santri tidak lebih dari perempuan seni yang selalu menjadi obyek kritikannya sehingga hipokrit.

Bahkan, aparatur negara jatuh cinta ke perempuan TKP sehingga terjadi episode penaklukan kultural terhadap negara. Kapolsek Deso’(Slmn), klebun,ponggebe, degeng dan pemborong menjadi bagian kehidupan mereka. Siasat kesementaraan dalam pernikahan menjadi narasi perempuan TKP. Walaupun akhirnya mereka telaq(cerai) baik-baik dan kabin telaq (kawin cerai). Bsa diterima nalar, dalam setiap pernikahannya diusahakan tidak mempunyai anak.Siasat ini ternyata menguntungkan kedua belah pihak. Dengan sendirinya tafsir syariah pemenuhan syahwat terpenuhi, psikologi rumah tangga bisa dipertahankan’ satu botol, berbagai air’, proses negosiasi perijinan tanpa kendala, perbaikan ekonomi rumah tangga, dan memainkan peran politik di balik layar dalam penentuan kebjakan desa.

Jeruk Makan Jeruk

Arena tandhe’ menyediakan ruang kritik sosial bagi perempuan terhadap masyarakat yang didominasi oleh dunia serba laki-laki dan serba santri. Siasat perempuan berusaha memainkan arena itu dengan lihai, yakni menaklukkan sang penguasa tersebut.Para pengritik perempuan tandhe’ yang memparktikkan anomali dikritik dengan sebutan santri coret yang tidak konsisten. Di samping itu mereka dikritik kareana dalam memberikan pernyataan yang dijadikan acuan ummat dimunculkan tanpa melakukan penamatan langsung melainkan jenamapakan hayali sehingga memberangus otonomi diri.

Kritik dan otokritik itu telah dilakukan oleh perempuan desa yang tidak pernah berinteraksi dengan bahan bacaan gerakan perempuan baik yang dikelompokkan sebagai gerakan kanan, kiri, atau tengah. Siasat tandhe’ hadir jauh sebelum ide-ide jender, pasca kolonial yang menghadirkan diri sebagai penjajah baru yang mempesona.Penari tandhe menjadi tokoh jender yang sebenarnya dan mereka jauh dari publikasi tertulis dan ketidakmampuan mereka menulis menyebabkan mereka dikonstruksi tidak mempunyai sejarah ’sejarahnya orang-orang yang tidak mempunyai sejarah’. Penjajahan tertulis kepada yang lisan, melek huruf tertulis dan tidak ada ruang bagi mereka yang buta huruf dan lisan. Padahal mereka menurut saya mereka ‘mempunyai sejarah sendiri yang otonom’, Tiba-tiba saya teringat tulisan Eric Wolf ’Europe and the People Without History’. Bagaimana keberpihakan kita?Apakah mereka masih diperathankan hanya sekedar sebagai subaltern? Bukankah mereka telah menjadi arus utama yang melintas batas regional dan keberadaan mereka menjadi teks yang menembus ruang dan waktu?Kita menjadi kompleks terjajah dari wacana dominan yang tidak menyediakan ruang bagi perempuan oreng kene’? ta’ tul jen bet (atapnya bocor, hujannya lewat)


DAFTAR RUJUKAN

Bouvier, Hélène. 2002. Lebur : Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. penerj. Rahayu S. Hidayat, Jean Couteau. Jakarta : Forum Jakarta-Paris: École Française d’Extême-Orient, Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan , Yayasan Obor Indonesia.

Bustami. Abd. Latif. 1992. ‘Bentuk dan Ragam Hias Topeng Dhalang Madura di Kabupaten Sumenep’. Laporan Penelitian Malang: Puslit IKIP Malang

—————-. 1997. ‘Sejarah, Etos Masyarakat dan Perilaku Sosial Orang Madura’ dalam Mahasin, Aswab, dkk. Ruh Islam dalam Aneka Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa. Jakarta: Yayasan Fesival Istiqlal, hlm.323-356

———————.2000. ’Rukun Perawas, Rukun Pewaras, dan Rukun Pewaris: Interkasi Organisasi Kesenian di Madura’. Jurnal Bahasa dan Seni Malang

——————–2004. ’Madura Islam’. Makalah dibacakan pada Seminar Nasional ’Peranan Agama Pada Masyarakat Madura’ diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, tanggal 12-16 Agustus 2004 di Sumenep

——————- 2007 . ’Perempuan Seni Madura Menembus Batas, Menebar Pesona, Menuai Kuasa’.Srinthil. No.13

Kuntowijoyo. 2002. Radikalisasi Petani Esei-Esei Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

Wolf,Eric. 1982. Europe and the People without History.Berkeley: University of California Press

[1] Makalah yang dibentangkan pada Diskusi Kajian Perempuan (KP) Desantara ‘ Perempuan Gandrung Banyuwangi dan Tandha’ Madura: Meretas Ranah Seni Tradisi’, tanggal 30 Oktober 2007 di Depok

[2] Abd. Latif Bustami adalah Lektor Kepala di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Doktor Antropologi dari Universitas Indonesia, Pengajar Tidak Tetap di Departmen Antropologi FISIP UI, dan Monitoring dan Evaluasi di Partnership for Governence Reform in Indonesia (UNDP).

[3] Pada saat tandhe’ menari (a tandhe’) berhadapan dengan laki-laki yang menari (atandeng’), merapat, meliuk-liuk, bergoyang (nayub), masih dijumpai sikap masyarakat yang mengucapkan ’naudzubillahi mindalik’ sambil mengusap perutnya yang lagi hamil’. Ada juga, para orang tua melarang ananknya menonton pertunjukkan dengan alasan akhlaknya rusak, jangan berkumpul dengan orang-orang yang ’ta’tao canggene langgher’ (tidak tahu tiangnya langgar-tidak melaksanakan syariat Islam) atau Islam minimalis.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian