Invesi

Bisri Effendy | 15 - Jan - 2008

Tak satu pun daerah (pemkab) yang ketinggalan berlomba memajang slogan-slogan seperti itu. Meski label-label itu hanyalah slogan kosong atau paling jauh berupa daftar keinginan, namun tampak jelas bahwa dengan itu mereka berupaya untuk memperoleh cap yang terbaik. Indah, bersih, tertib, aman, dan cap-cap yang serba menyenangkan rupanya diidealisasi sedemikian rupa dan diimajinasi sebagai yang disandangnya, walaupun tak pernah beranjak dari sebuah angan-angan.

Bahkan beberapa daerah saat itu terdorong untuk merumuskan identitas diri yang lebih konkrit. Potensi dan spesifikasi daerah digali dan diklaim sebagai cirri khas atau identitasnya yang paling kena. Celakanya, potensi dan spesifikasi yang diklaim sebagai identitas itu ternyata telah mengalami perumusan ulang yang lebih sesuai dengan selera dan kehendak para perumus yang biasanya terdiri dari kalangan birokrasi, elite politik, intelektual, agamawan, dan budayawan daerah bersangkutan. Sudah pasti perumusan ulang itu tak melibatkan komunitas pemilik budaya yang dirumuskan.

Blora, Jawa Tengah adalah contoh paling nyata. Seolah tak mau ketinggalan, seperti dituturkan Amrih Widodo, daerah ini berbulan-bulan bahkan lebih setahun kebingungan mencari identitas diri. Citra baik, indah, dan aman bukan saja untuk merangsang investasi tetapi juga untuk menyedot pariwisata dicari dari apa yang selama ini terdapat di Blora. Serangkaian kegiatan ilmiah untuk itu; penelitian, seminar, diskusi, dan sarasehan dilakukan. Hutan jati yang meluas dan minyak bumi yang potensial dan sangat penting bagi pendapatan daerah Blora selama ini jelas kurang patut untuk dijadikan cirri khas. Selain karena potensi semacam itu juga dimiliki daerah lain, hutan jati dan minyak tidak mencitrakan sesuatu yang didambakan.

Akhirnya disepakatilah bahwa samin sebagai identitas Blora. Samin adalah sebuah komunitas marjinal tetapi sekaligus dipandang eksotis yang dalam sejarahnya dikaitkan dengan penolakan pembayaran pajak oleh Belanda bahkan hingga setelah kemerdekaan. Komunitas yang cukup banyak tinggal di Blora (selain di Pati dan Bojonegoro) ini, oleh pembelanya, dikenal sangat jujur dan konsisten, di samping polos, blak-blakan, resisten, dan kritis. Tetapi justeru karena kemampuan resistensi dan kritik itulah mereka oleh kebanyakan orang luar Samin dikonstruksi sebagai komunitas mbalelo, susah diatur, semaunya sendiri, dan anti kemajuan. Penduduk Blora yang bukan Samin hampir pasti menganggap orang-orang Samin sebagai yang susah diatur bahkan sebagai symbol kekonyolan. Desantara

Sadar akan dualisme citra itu, penegasan identitas Blora sebagai daerah Samin menuntun untuk dilakukan purifikasi dan perumusan ulang mengenai kesaminan. Samin dan kesaminan adalah kejujuran dan konsistensi yang ternyata hanya dilekatkan pada penduduk Blora yang sudah maju, kalangan terpelajar di kota, dan tidak suka protes (dalam istilah mereka: yang menerima kesatuan dan persatuan sebagai konsep politik). Sementara komunitas Samin yang sebenarnya justeru dikategori sebagai “nyamin”, orang-orang yang mbalelo, mbangkang membayar pajak, dan slodrun.

Penegasan identitas dengan menginvensi tradisi seperti yang dikumandangkan oleh proyek “Jenggirat Tangi” memang bukan hal haram. Soalnya apakah ketika melakukan invensi kita dapat menghindari rekonstruksi dan pemaknaan ulang terhadap tradisi yang bersangkutan untuk sekedar disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan politis sesaat?

Tidak mungkinkah implikasi yang diderita oleh komunitas Samin di Blora akan juga menimpa komunitas Gandrung dan Using di Banyuwangi? Bisa jadi. Desantara / Bisri Effendy



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar