Diaspora

admin | 5 - Oct - 2009

Diaspora berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menyebarkan.” Diaspora, yaitu perpindahan orang-orang secara sukarela atau terpaksa dari kampung halaman mereka ke daerah-daerah baru, adalah fakta sejarah yang utama dari kolonisasi.

Kolonialisme itu sendiri adalah sebuah perpindahan yang secara radikal bersifat diasporik, melibatkan penyebaran dan penempatan yang sementara atau permanen dari jutaan orang Eropa ke seluruh dunia. Akibat yang menyebar-luas dari migrasi ini (seperti misalnya apa yang telah disebut sebagai imperialisme ekologis) terus berlanjut dalam skala global.

Banyak daerah yang ‘telah ditempati’ seperti itu, dalam sejarahnya, berkembang menjadi perkebunan atau koloni-koloni pertanian untuk menghasilkan bahan makanan bagi penduduk di negara pusat, dan dengan demikian tercipta permintaan yang tinggi akan tenaga kerja di banyak daerah, dimana penduduk lokalnya tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

Akibat dari hal itu adalah perkembangan sebuah ekonomi yang didasarkan atas perbudakan, terutama di Amerika, tetapi juga di tempat-tempat lain seperti di Afrika Selatan. Sebenarnya, semua budak yang dikirim ke koloni-koloni perkebunan di Amerika diambil dari Afrika Barat melalui berbagai daerah kantong perdagangan pantai di Eropa. Praktik perbudakan oleh bangsa Arab yang menyebar-luas di Afrika Timur juga menyaksikan sejumlah budak yang dijual ke daerah jajahan Inggris seperti India dan Mauritania, sementara perbudakan orang-orang Polinesia dan Melanesia juga terjadi di daerah Pasifik Selatan untuk disalurkan ke industri gula-tebu di tempat-tempat seperti Queensland, dimana hal tersebut dalam bahasa percakapan sehari-hari disebut sebagai “blackbirding.”

Setelah perdagangan budak, dan ketika perbudakan dinyatakan tidak sah oleh negara-negara Eropa pada dasawarsa pertama abad ke-19, permintaan akan tenaga kerja pertanian yang murah dalam ekonomi perkebunan kolonial dipenuhi oleh perkembangan sistem buruh dengan perjanjian kerja. Hal ini melibatkan pemindahan— dengan perjanjian kerja—sejumlah besar buruh pertanian yang miskin dari daerah-daerah yang berpenduduk banyak, seperti India dan Cina, ke daerah-daerah di mana mereka dibutuhkan untuk bekerja di perkebunan. Dengan demikian, praktik-praktik perbudakan dan perjanjian kerja berakibat pada diaspora kolonial di seluruh dunia. Penduduk India menjadi (dan sampai sekarang masih menjadi) minoritas atau mayoritas penting penduduk di berbagai daerah jajahan seperti Hindia Barat, Malaya, Fiji, Mauritania, dan daerah jajahan Afrika Selatan serta Timur. Minoritas Tionghoa juga berpindah, dalam keadaan yang sama, ke semua daerah ini, dan juga ke sebagian besar daerah di Asia Tenggara (termasuk daerah jajahan Hindia Belanda, yang sekarang menjadi Indonesia) dan Spanyol serta Filipina yang kemudian didominasi oleh Amerika.

Keturunan orang-orang yang mengalami perpindahan diasporik, yang disebabkan oleh kolonialisme, telah mengembangkan budaya khas mereka sendiri, yang memelihara dan seringkali memperluas serta mengembangkan budaya asal mereka. Praktik-praktik mereka dari jenis yang terkreolisasi berkembang, memodifikasi (dan dimodifikasi oleh) budaya pribumi, yang dengannya mereka bersentuhan. Perkembangan budaya diasporik sudah tentu mempertanyakan model essensialis, menginterogasi ideologi norma budaya yang tunggal dan ‘alamiah,’ yang mendasari model pusat/pinggiran dari diskursus kaum penjajah. Ia juga mempertanyakan jenis sederhana dari teori pribumisme (nativism) yang menyatakan bahwa dekolonisasi dapat dilakukan dengan mengembalikan atau merekonstruksi masyarakat pra-kolonial. Perpindahan diasporik yang paling baru dan paling signifikan secara sosial adalah perpindahan kembali orang-orang dari daerah jajahan ke negara-negara pusat. Di negara-negara seperti Inggris dan Perancis, penduduknya sekarang ini terdiri dari minoritas penting orang-orang bekas-jajahan yang melakukan perpindahan diasporik. Belakangan ini, konsep ‘identitas diasporik’ telah diadopsi oleh banyak penulis sebagai penegasan positif dari hibriditas mereka.

Bacaan lebih lanjut: Brown dan Coelho 1987; Carter 1996; Institut of Commonwealth Studies 1982; Mishra 1996a, 1996b; Nelson 1993; Rajan dan Mohanram 1995; Thompson 1987.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar