Kewarganegaraan
admin | 19 - Oct - 2008Kewarganegaraan adalah salah satu pemikiran dalam filosofi politik barat yang berkembang dari tradisi klasik Yunani dimana kewarganegaraan dipandang, oleh Aristoteles, sebagai partispasi aktif perorangan dalam polis atau pemerintahan kota. Namun ironisnya, ‘perorangan’ disini bukanlah perorangan yang berjenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki namun berarti hanya perorangan laki-laki yang memiliki kekayaan sendiri yang tentunya berarti akan mampu dan memiliki peran dalam kepemimpinan.
Titik tekan pemahaman kewarganegaraan yang berkembang saat ini lebih banyak merujuk pada revolusi politik yang terjadi pada abab XVIII yang merangkul ide-ide universalisme semacam kemerdekaan, persamaan dan kebebasan. Berberapa pakar kewarganegaraan, seperti Bryan Turner, menganjurkan kewarganegaraan modern itu harus konstitutif baik dalam prakteknya (seperti budaya, ekonomi dan simbolik) dan seperangkat hak dan kewajiban yang didefinisikan secara hukum, politik dan sosial. Dalam hal in i, tindakan dan ide-ide universal sebagai basis dari hak dan kewajiban kewarganegaraan dipahami akan dilindungi dengan keanggotaan atau konrak yang terikat antara perorangan dan masyarakat politik secara umum. Meski begitu kewarganegaraan dalam demokrasi liberal Barat saat ini sebagai proses pengikutsertaan dan penyingkiran keanggotaan dan sebagai separangkat penjudulan atau kewajiba sosial dalam komunitas sosial dan politik. Juga sebagai pengikat yang menandai titik balik penyertaan dan penyingkiran dalam lintasan sejarah dan lokasi geopolitik, dimana perempuan harus mengkonfrontasikan paradoks klaim kewarganeraan universal yang abstrak dan pembatasan patriarkis praktik kewarganeraan.
Sejak kelahiran hak politik modern yang ditandai oleh deklarasi universal hak asasi manusia dan kewarganeraan, perempuan telah berjuang untuk pemenuhan dan persamaan pengakuan politik dan sosial. Sepanjang perkembangan teori demokratisasi barat, warga negara berbasis pemikiran yang tidak ambigu bahwa individualisme itu hanya bisa diwakili oleh laki-laki. Jadi disini sentralitas abstrak sosok universalitas laki-laki telah melahirkan konsep kewarganegaraab dimana perempuan disingkirkan dari hak politik dasar yang disebabkan oleh adanya hirarki patriarki dalam masyarakat. Penyingkiran hak kewarganegaraan dasar menjadi pokok terbentuknya dan terus berlangsungnya perlwananan perempuan untuk pemenuhan dan persamaan pengakuan dalam masyarakat. Beberapa generasi gerakan perempuan, dari generasi pertama sampai kontemporer, yang berjuang untuk pemenuhan dan persamaan hak warganegara, mengalami persoalan yang sama yaitu konsep universalitas yang menempatkan laki-laki sebagai subyek.
Tweet
« Banci Di Televisi: Digemari Sekaligus Dicaci-maki
Tulisan sesudahnya:
Desantara Report English Edition »
Pencarian
Kategori Istilah
Random Post
- Majalah Desantara Edisi 04/Tahun II/2002: Nasib Kultur Pesisir di Cirebon(0)
- Pelatihan Diskursus Kebudayaan dan Komunitas(0)
- Invesi(0)
- [La ilaha]{illa}(h)(illah)(illa){llah}(0)
- Info Buku: Agama dan Kebudayaan(0)
- Peran Sosial dan Stereotip Sosial(0)
- Pertemuan Tahunan dan Maulid Nabi di Komunitas Khalwatiyah(0)
- Majalah Desantara Edisi 12/Tahun IV/2004: Kaum Betawi Negosiasi Menerobos Batas(0)
- Sahuni(0)
- Kadam, Seniman Ludruk Harus Kreatif(0)
- Ketika Kategori Kultural Semakin Cair(0)
- Kami Bertapa dalam Hiruk-pikuk Kehidupan(2)
- Chicklit: Dari Perempuan untuk Perempuan(0)
- Konspirasi Agama-Negara Hancurkan Hak-Hak Sipil(0)
- Masyarakat Sebagai Diskursus(0)