Tubuh
admin | 13 - Feb - 2009Seri Cultural Studies. Di dalam kajian-kajian Filsafat, Politik dan Budaya tema tubuh adalah tema yang tidak begitu diperhitungkan bahkan terkesan marjinal. Seperti di Filsafat, posisi manusia sebagai agen dan identitas seseorang masih diletakkan atau dilihat dalam pemikiran. Pemikiran atau otak dianggap sebagai sesuatu yang tidak berubah, permanen dan rasionalitasnya menjadi sumber pengetahuan. Permasalahan utama dalam filsafat, misalnya sejak masa Descartes sejak abad XVII sampai saat ini, adalah mengenai hubungan pemikiran dengan tubuh. Sedikit saja filsuf empirik di Inggris pada abad XVII-XVIII yang secara langsung atau tidak langsung berpikiran bahwa pengetahuan kita tentang dunia ini bersumber pada organ tubuh kita.
Bisa dikatatan dalam tradisi Inggris hanya David Hume yang menekankan sumber pengetahuan manusia pada indera pelihat dan pendengar. Oleh Hume, indera perasa, peraba dsb dilihat sebagai tubuh atau bagian dari tubuh yang dimiliki manusia untuk memahami dunia.
Immanuel Kan berpendapat bahwa dengan indera perasa, hanya sebagai mahkluk rasional dan menubuh (sensual) yang bisa merasakan kenikmatan kecantikan. Sedang rasionalitas murni hanya mampu mereguk sesuatu yang secara moral baik. Kecantikan itu berada dalam penglihatan dan pendengaran bukan sentuhan, bau dan rasa. Sedang Karl Marx melihat manusia sebagai manusia yang menntransormasikan dan membuat lingkungan mereka sendiri leat kerja, dan kerja memberi kesadaran menubuh.
Dalam teori poilitik Barat, hingga saat ini, tubuh adalah sesuatu tidak diperhitungkan. Liberalisme, misalnya, memandang pokok dari manusia adalah rasionalitasnya, jadi intelektualitas manusia yang dipermasalahkan. Sering diteorikan bahwa hasrat penubuhan, bersifat tubuh adalah ancaman bagi kemapanan dan ketertiban politik yang ada. Disini pemikiran liberalisme condong mengasumsikan dikotomi-dikotomi, misalnya akal-tidak berakal, pikiran-tubuh, dan laki-laki-perempuan. Jelas kebutaan liberalisme terhadapa perbedaan jender dan penyingkiran perempuan dari ranah politik bisa dipahami sebagai bagian keterkaitan hubungan antara akanl, pemikiran dan maskulinitas.
Jika ditarik dengan perspektif jender, tubuh adalah sesuatu yang tidak begitu diperhitungkan dibandingkan otak. Otak / pemikiran dianggap sebagai sesuatu yang tidak berubah dan harus ditransendenkan, ironisnya transendensi ini adalah penanda atau marka hanya untuk kaum lelaki, sedang transedensi perempuan, dikatakan, hanya berakar dari tubuhnya. Konon hal ini disebabkan oleh organ biologis perempuan yang secara alamiah dimiliki perempua, hingga sanagatlah sulit bagi perempuan untuk menggapai rasionalitas yang penuh dan utuh. Tidak heran, gerakan perempuan yang muncul kemudian menggagas dan berkehendak kuat mengenai persoalan tubuh, baik sebagai alat untuk memperoleh kesetaraan secara intelektual menurut standar maskulin, atau sebagai hal yang paling penting dari keperempuanan itu sendiri. Dalam feminisme posmoderen mencoba menekankan penubuhan sebagai pembeda dan konstruk yang cair ketimbang sesuatu yang terberi.
Saat ini kalangan feminis, seperti John Berger, menempatkan ketelanjangan pada konteks politik, hingga akan mampu digodok pertanyaan apakah nilai estetik yang ada dalam ketelanjangan ini bagian dari ideologi patriarki atau struktu kekuasaan dalam budaya Barat. Cultural Studiesmelihat tubuh sebagai pertarungan makna. Bagi Umberto Eco, tubuh adalah mesin komunikasi, tubuh tidak begitu saja sebagai tubuh, tubuh bukan semata-mata alamiah tapi tubuh adalah sesuatu yang membudaya. Tubuh adalah sebuah situs kunci diman identitas budaya dan budaya itu diartikulasikan, ekpresikan, misalnya, lewat pakaian, perhiasan dan barang lain (tato, gaya rambut, diet and binaraga) yang menjadikan tubuh sebagai tubuh. Lewat tubuh seorang individu bisa melawan atau kompromi atas nilai-nilai budaya yang ditanamkan oleh budaya terhadap diri mereka. Disinilah akhirnya Sosiologi mampu mengalihak dan mefokuskan perhatiannya pada analisis praktik-praktik budaya yang menjadikan tubuh sebagai pusat. Bagi Foucault tubuh adalah subyek pendisiplinan, hal ini diungkapkannya dalam studi Foucault yang membongkar sejarah perkembangan sistem penjara dan hukuman yang dibuat oleh negara. Dalam pandangan Foucaut, tubuh itu dibentuk dan didisiplinkan lewat sistem surveillance / pengawasan . Bertolak dari sisi pandangan Foucault ini, banyak analisis tentang tubuh yang melihat tubuh sebagi produk sosial ataupu konstruksi sosial. Dalam konteks Indonesia, fenomena wajib Jilbab dan pemberlakuan regulasi berbasis agama adalah salah satu konsep sistem disiplin atas tubuh dan seksualitas tubuh perempuan. Dimana dibanyak daerah di Indonesia, jilbab adalah penanda tubuh yang alim, patuh, taat, salihah sekaligus tertib secara seksulitas. Hingga secara membabi buta para pegawai negeri sipil dan siswi sekolah Muslim dan non Muslim dipaksa berjilbab atau kalau tidak kehilangan pekerjaannya dan tidak bisa menikmati sekolah negeri.
Tweet
« Pariwisata Budaya: Pelestarian atau Komersialisasi
Tulisan sesudahnya:
Nabire Butuh Orang Gila »
Pencarian
Kategori Istilah
Random Post
- Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan(2)
- Marjinalisasi dan Misrepresentasi Pribumi Papua (2)(0)
- Ritus Modernisasi : Aspek Sosial & simbolik Teater Rakyat Indonesia(0)
- Sekolah Multikultural Desantara (Angkatan 2008)(0)
- Potret Angkuh Diskriminasi di Kuningan(0)
- Pada Sebuah Khotbah(0)
- Upacara ritual Gawe Beleq dan Mungut Lekong(0)
- Marilah Kita Menangisi Bangsa Ini(0)
- Dewa(n) (Ke)seni(an)?(0)
- Perempuan Tandha dalam Masyarakat Madura(0)
- Pemisah Metonimik(0)
- Ludruk, Bangkitlah!(0)
- Benturan(0)
- Hak Minoritas di Indonesia(0)
- SBY Dinilai Tidak Pede(0)