Teori Negara
admin | 6 - Jul - 2008Kaum feminis memandang negara secara berbeda-beda, namun benang merahnya adalah bagaimana menjelaskan negara itu berperan dalam penindasan terhadap perempuan, dan apakah negara mampu dibentuk untuk tujuan lebih lanjut demi kesetaraan gender.
Kalangan feminis liberal yakin bahwa sifat seksis, falosenstris, dan patriarkis itu bukanlah sifat bawaan negara demokrasi liberal. Analisis kaum ini fokus pada praktik diskriminasi yang terjadi pada kebijakan publik, kaum ini berkeyakinan bahwa sekali praktik yang seksis itu dihapuskan dan rintang penghalang dijebol dengan langkah, semacam tindakan afrimatif, bagi kaum ini negara bisa menjadi instrumen untuk mencapai kesetaraan gender.
Di lain pihak kalangan radikal dan sosial berpendapat bahwa kesetaraan gender tidak akan bisa dicapai lewat negara saja. Bagi mereka, kesetaraan itu bisa teraih apabila ranah publik dan privat, peran gender, dan pembagian kerja berdasarkan gender itu mampu direstrukturisasikan lagi. Mereka percaya bahwa negara itu telah menjadi bagian sistem pervasif dari kapitalisme ataupun juga patriarki. Kaum radikal menyorot bahwa hubungan negara dengan patriarki itu melanggengkan kedigdayaan hukum laki-laki dan kebijakan publik. Sebaliknya, kaum sosialis melihat negara malah menguatkan hubungan kapitalisme dan patriarki.
Rata-rata kaum feminis sosialis percaya terhadap “Teori Sistem Ganda” yang berpendapat bahwa tindakan-tindakan negara itu malah menguatkan hubungan kapitalisme pada tempat kerja dan hubungan patriarki dalam ruang privat. Sedangkan kaum posmodern memandang relasi itu sebagai kombinasi antara wacana dan konstitusi yang secara instrumental memproduksi subjek bergender dan relasi sosial bergender.
Secara mendasar, Judith Allen menyarakan kaum feminis untuk meninggalkan teori besar tentang negara. Allen menyatakan negara bukan kategori asli dari kelompok feminis, namun hanya kategori abstrak yang terlalu unitarian dan tidak begitu spesifik untuk dijadikan analisis. Secara keras pula, Allen mengkritik tradisi anti negara yang sejak dulu menjadi tradisi kaum feminis di Barat. Tentu tradisi anti negara inilah yang menjadi pokok kaum feminis gelombang pertama untuk memandang negara sebagai ranah berlangsungnya korupsi moral, dan tradisi ini juga membuat feminis gelombang kedua untuk membuat kerjasama dan tempat berkumpul untuk menghindari kooptasi negara.
Tweet
« Diskriminasi Sistemik
Tulisan sesudahnya:
Perempuan Ngesti Pandhawa: Jangan dikira kami lemah »
Pencarian
Kategori Istilah
Random Post
- Komunitas Lokal, Krisis Ekologis dan Budaya : Sebuah Diskusi Awal(3)
- Penjemputan Paksa Sang Tertuduh ‘Penoda Agama’(0)
- Imam Perempuan dan Tubuh Tuhan(0)
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu(0)
- Dari Betawi?(0)
- Kami Bertapa dalam Hiruk-pikuk Kehidupan(2)
- Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural(0)
- Pernyataan Sikap DESANTARA Foundation Terkait Keluarnya SKB 3 Menteri Tentang Ahmadiyah(0)
- Ketika Jaranan Thik Melawan Reyog(0)
- Isi SKB 3 Menteri Tentang Ahmadiyah(0)
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak(0)
- Malahayati, Partisipasi Perempuan dan Partai Lokal(0)
- Prosesi Pernikahan Adat Wetu Telu – bag 2(0)
- Fatwa MUI Mengoyak Ajaran Sedulur Papat Kelima Pancer(4)
- Dilema Multikulturalisme di Makassar(0)