Etnisitas

admin | 5 - Oct - 2009

Etnisitas adalah sebuah istilah yang semakin banyak digunakan sejak tahun 1960-an untuk menyebut jenis-jenis manusia dipandang dari segi budaya, tradisi, bahasa, pola-pola sosial serta keturunan, dan bukan generalisasi ras yang didiskreditkan dengan pengandaiannya tentang umat manusia yang terbagi ke dalam jenis-jenis biologis yang ditentukan secara genetik.

Etnisitas merujuk kepada penyatuan banyak ciri yang menjadi sifat-dasar dari suatu kelompok etnis: gabungan dari loyalitas, memori, sejenis kesadaran, pengalaman, perilaku, selera, norma-norma, kepercayaan, dan nilai-nilai bersama (Schermerhorn 1974: 2).

Kelompok etnis seseorang adalah sebuah penanda yang begitu kuat, karena meskipun ia memilih untuk berada di dalamnya, kelompok etnis adalah sebuah identitas yang tidak dapat disangkal, ditolak, atau direnggut oleh pihak lain. Apabila ras muncul sebagai sebuah cara untuk menciptakan sebuah pembagian yang hirarkis antara Eropa dengan “yang lain”-nya, mengidentifikasi orang berdasarkan kriteria genetik yang tetap, maka etnisitas biasanya digunakan sebagai sebuah ekspresi dari persepsi-diri yang positif, yang memberikan manfaat tertentu bagi anggotanya. Keanggotaan dari sebuah kelompok etnis didasarkan pada kriteria tertentu yang disepakati, meskipun sifat-dasar, kombinasi dan signifikansi dari kriteria tersebut dapat diperdebatkan atau dapat berubah kapan saja.

Memang, hanya sedikit istilah yang digunakan dengan begitu banyak cara atau dengan begitu banyak definisi – Isajaw (1974) membahas dua puluh tujuh definisi dari etnisitas di Amerika Serikat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kelompok etnis, meskipun tampaknya dapat didefinisikan secara sosial, tetapi ia berbeda dilihat dari dalam dan luar kelompok yang bersangkutan atas dasar kriteria budaya, sehingga ciri-ciri yang mendefinisikan satu ‘etnisitas’ tertentu biasanya bergantung kepada berbagai tujuan dari pengidentifikasian kelompok tersebut. Tidak setiap kelompok etnis akan memiliki seluruh ciri penentu yang mungkin ada, tetapi semua kelompok etnis akan menunjukkan berbagai kombinasi dengan tingkat yang beragam. Lebih jauh lagi, baik etnisitas maupun komponennya bersifat relatif dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, dan seperti fenomena sosial lainnya, keduanya bersifat dinamis dan cenderung berubah.

Dengan demikian, definisi kelompok etnis yang paling sederhana dan sempit adalah sebuah kelompok yang secara sosial dibedakan atau dipisahkan, oleh yang lain dan/atau oleh dirinya sendiri, terutama atas dasar ciri-ciri budaya atau bangsa. Memang istilah etnis berasal dari bahasa Yunani, ethnos, yang berarti ‘bangsa.’ Dalam penggunaannya yang paling awal dalam bahasa Inggris, istilah ‘etnis’ merujuk ke bangsa-bangsa ‘kafir’ yang berbeda secara kultural, sebuah arti yang tetap hidup sebagai sebuah konotasi. Beberapa penggunaan kontemporer dari istilah itu mengidentifikasi etnisitas dengan kelompok-kelompok nasional di Eropa, dimana dengan beberapa pengecualian, seperti kaum Basque, hubungan antara etnisitas dan kebangsaan tampak telah dibenarkan. Penggunaan pertama dari kelompok etnis dalam kaitannya dengan asal kebangsaan berkembang pada era migrasi besar-besaran dari bangsa-bangsa Eropa Timur dan Selatan ke AS di awal abad ke-20. Nama, yang dengan mana sebuah kelompok etnis memahami dirinya sendiri, kebanyakan masih berupa nama dari bangsa asal, terlepas dari apakah bangsa itu masih ada atau tidak (misalnya Armenia). Meskipun demikian, istilah ‘etnisitas’ benar-benar hanya beredar luas ketika kelompok-kelompok ‘nasional’ ini menemukan diri mereka sendiri sebagai minoritas dalam sebuah pengelompokan nasional yang lebih besar, seperti yang terjadi sebagai buntut dari kolonisasi, baik itu melalui imigrasi ke daerah-daerah jajahan yang telah ditempati seperti AS, Kanada, Australia, Selandia Baru, atau dengan migrasi orang-orang daerah terjajah ke negara-negara penjajah di pusat. Satu konsekuensi lebih lanjut dari perpindahan ini adalah bahwa bangsa-bangsa Eropa yang lebih tua tidak lagi dapat mengklaim hanya terdiri dari satu kelompok etnis tertentu, tetapi bersifat heterogen dan, sesuai dengan perjalanan waktu, terdiri dari campuran kelompok-kelompok imigran yang terhibridasi.

Satu ciri dari penggunaan istilah tersebut adalah bahwa elemen marjinalisasi yang terlihat jelas dalam penggunaan awal istilah ‘etnis’ seringkali masih tampak terimplikasi dalam penggunaan kontemporernya. Apabila pada mulanya istilah itu merujuk ke bangsa-bangsa kafir, maka sekarang istilah tersebut bermakna kelompok-kelompok yang tidak mainstream, kelompok-kelompok yang secara tradisional tidak terhubung dengan mitologi nasional yang dominan. Jadi, di koloni-koloni hunian (settler colonies) dari Kerajaan Inggris, kelompok Anglo-Saxon yang dominan biasanya tidak dilihat sebagai sebuah kelompok etnis karena etnisitasnya sudah mengkonstruksi mitologi identitas nasional. Identifikasi yang seperti itu tidak hanya terbatas pada pengalaman kolonial, tetapi memang mengungkap sifat-dasar ‘imperialistik’ dari mitologi nasional, serta implikasi politik dari hubungan apa pun antara etnisitas dan bangsa.

Mengingat kenyataan bahwa ‘etnisitas’ beredar paling banyak sekarang ini dalam konteks imigrasi, maka kita dapat mendefinisikan etnisitas lebih lanjut dalam penggunaannya sekarang sebagai

sebuah kelompok atau kategori orang yang memiliki asal-usul leluhur dan ciri budaya yang sama, yang memiliki rasa berada di satu kelompok dan kebersamaan, yang berlatarbelakang imigran dan memiliki status minoritas atau mayoritas dalam sebuah masyarakat yang lebih besar.

(Isajaw 1974: 118)

Pandangan tentang asal-usul leluhur yang sama, apakah itu nyata atau pun dongengan, menjadi penting baik bagi definisi orang luar maupun bagi definisi-diri dari ‘kelompok etnis’ yang bersangkutan. Max Weber melihat kelompok etnis secara luas sebagai ‘kelompok manusia yang memiliki sebuah kepercayaan subjektif akan leluhur yang sama – karena kesamaan jenis fisik atau adat istiadat atau keduanya – dimana kepercayaan ini penting bagi keberlanjutan hubungan komunal yang bukan kekerabatan.’ (1968a: 389).

Dalam sebuah kajian di tahun 1974 tentang dua puluh tujuh definisi dari etnisitas, hanya satu yang memasukkan ciri ‘kelompok imigran’, sementara dua belas memasukkan ‘asal-usul bangsa atau geografis yang sama’, sebelas memasukkan ‘budaya atau adat istiadat yang sama,’ sepuluh memasukkan ‘agama’ dan sembilan memasukkan ‘ciri-ciri fisik atau ras.’ Meskipun demikian, beberapa dasawarsa yang menyelanginya telah menyaksikan sebuah perubahan yang besar dalam cara penggunaan istilah ‘etnisitas’: Semakin sedikit kelompok etnis dimana agama memiliki pengaruh yang terbesar dalam cara anggota kelompok tersebut melihat cirinya; konsep ras – dengan pengecualian-pengecualian yang terkemuka, seperti Amerika-Afrika – menjadi semakin berbeda dari etnisitas karena kekhususan yang semakin besar dari yang terakhir (sebuah kelompok ‘rasial’ bisa terdiri dari beberapa kelompok etnis); dalam masyarakat dimana etnisitas paling banyak dibahas, implikasi sosial dan praktis dari status kelompok sebagai kelompok imigran seringkali melebihi ingatan akan asal-usul bangsa yang sama.

Sejumlah kajian belakangan ini telah mengungkap bahwa kelompok etnis tidak harus merupakan kelompok budaya yang dimarjinalisasi, tetapi semua pengelompokan etnis, dan memang konsep etnisitas itu sendiri, telah memiliki sebuah fungsi politik yang sangat kuat. Terlepas dari status kelompok tertentu, etnisitas dari kelompok itu adalah strategi kunci untuk memajukan kepentingan serta kemajuan politik dari kelompok tersebut. Selama kekuatan kelompok selalu menjadi solusi yang disukai bagi ketidakberdayaan individu, maka kelompok etnis adalah sebuah formasi yang penting untuk memperoleh kekuatan politik dalam sebuah masyarakat. Meskipun demikian, kekedapan dari batas-batas sebuah kelompok etnis, kesulitan untuk masuk, dan juga keluar, dari kelompok, bersama-sama dengan kecenderungannya untuk melintasi pembagian kelas, membuatnya terpisah dari pengelompokan politik yang lain seperti serikat buruh dan partai politik serta memperlihatkan bahwa sifat-dasar politiknya seringkali tanpa sadar. Meskipun demikian, ‘revolusi etnis’, seperti yang disebut oleh Fishman (1985), merupakan akibat langsung dari penggunaan identitas budaya dan penegasan etnisitas, sejak tahun 1960-an, dalam perjuangan politik.

Untuk mencakup keragaman dan kompleksitas ciri-ciri sosial dan budaya yang membentuk etnisitas, sebuah definisi yang lebih luas dapat dikembangkan dari Schermerhorn (1970: 12):

Sebuah kolektifitas dalam sebuah masyarakat yang lebih besar, yang memiliki leluhur bersama, apakah itu nyata atau hanya anggapan saja (yaitu, ingatan tentang sejarah masa lalu yang sama, apakah itu tentang asal-usul atau pengalaman sejarah, seperti penjajahan, imigrasi, invasi atau pun perbudakan); sebuah kesadaran bersama dari sebuah identitas kelompok yang memiliki nama dan terpisah; dan sebuah fokus kultural terhadap satu atau lebih elemen simbolik yang ditetapkan sebagai lambang dari kebersamaan mereka. Ciri-ciri ini akan selalu berada dalam kombinasi yang dinamis, terkait dengan waktu dan tempat tertentu, dimana ciri-ciri tersebut dialami dan beroperasi secara sadar atau tidak sadar untuk kemajuan politik dari kelompok yang bersangkutan.

Sebuah ciri penting dari definisi ini adalah fungsi dari ‘elemen-elemen simbolik’ tersebut yang dapat memberikan rasa berada dalam satu etnis. Contoh dari elemen simbolik yang seperti itu adalah: pola kekerabatan, kontak fisik, afiliasi agama, bentuk-bentuk dialek atau bahasa, afiliasi suku, kebangsaan, ciri-ciri fisik, nilai-nilai budaya, dan praktik-praktik budaya seperti seni, sastra, dan musik. Berbagai kombinasi dari elemen ini (‘satu atau lebih’) bisa menjadi yang utama dalam waktu dan ruang yang berbeda untuk memberikan sebuah perasaan etnisitas.

Definisi ini mencakup status kelompok yang kompleks seperti kulit hitam Amerika atau kulit hitam Inggris, yang identitasnya bisa terkonstruk secara tidak nyata sesuai garis rasial atau pun etnis. ‘Revolusi etnis’ pada tahun 1960-an menyaksikan konstruksi dari berbagai etnisitas baru yang seperti itu (etnogenesis) yang asal-mulanya jauh lebih sadar secara politik daripada yang lain, semakin melemahkan hubungan etnis dalam masyarakat kontemporer. Memang, etnisitas kulit hitam di Amerika dan Inggris menjadi semakin tergantung secara rumit kepada politik dalam proses legitimasi etnis, daripada yang diperlihatkan dengan jelas oleh kelompok etnis kulit putih.

Dengan demikian, identitas etnis tetap bertahan tanpa terganggu oleh asimilasi budaya ke dalam masyarakat yang lebih luas dan daya tahan dari identitas etnis ini tidak harus terkait dengan pemeliharaan budaya tradisional. Dalam banyak kasus, sejumlah kecil ciri budaya tradisional perlu dipilih sebagai ‘elemen-elemen simbolik,’ di sekitar mana identitas etnis akan berpusar mengelilinginya, dan individu-individu perlu mengalami sejumlah kecil dari kriteria penentu (misalnya, leluhur bersam) untuk menganggap diri mereka sebagai anggota kelompok. Tidak ada kelompok etnis yang benar-benar bersatu atau menyetujui etnisitasnya dan tidak ada ciri esensial yang pernah dapat ditemukan dalam setiap anggota kelompok. Meskipun demikian, keberjalinan yang dinamis dari ciri-ciri pengenal ini telah berfungsi sebagai tempat (locus) identitas yang semakin kuat dalam sebuah dunia yang semakin migratoris, terglobalisasi, dan terhibridasi.

Bacaan lebih lanjut: Fishman 1985, Hall 1989; Isajaw 1974; Schermerhorn 1970, 1974; Sollors 1986, 1996; Weber, 1968.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar