Toleransi Yang Dimiliki To Mimala Sangatlah Tinggi
admin | 20 - Sep - 2008Lahudin, Pemerhati To Mimala-Oleh Tamsil. Masing-masing orang punya jalan sendiri, kemauan sendiri, kepentingan sendiri,” jelas Lahudin (34) menanggapi pro kontra atas keberadaan komunitas To Mimala. Baginya, agama adalah ungkapan batin dari dalam diri manusia. Demikian juga berlaku bagi To Mimala.
Menurut Lahudin, babi yang dijadikan persembahan tidak harus dimaknai sebagai hewan haram seperti yang ada dalam agama Islam. “Tapi, bagi mereka (penganut To Mimala) babi adalah persyaratan penting dalam menolak bala,” tangkisnya.
Ia juga melihat bahwa selama ini, toleransi yang dimiliki oleh To Mimala sangatlah tinggi. Karenanya dia menyarankan, jika melihat atau memandang To Mimala hendaknya secara menyeluruh serta mendalam, jangan hanya sepotong-potong, apalagi permukaannya saja. “Sebuah kepercayaan yang datangnya dari nenek moyang Kaleok, melahirkan banyak ilmu tentang kearifan lokal,” ujarnya.
Bagi Lahuddin, tradisi To Mimala adalah kekayaan bangsa Indonesia yang perlu dijaga dan diberikan ruang tersendiri agar tetap eksis dan bergerak. “Saya sangat tidak senang kalau ada orang yang mengusik mereka,” katanya.
“Siapa lagi yang menjaga keseimbangan alam kalau bukan mereka? Negara yang diamanahkan untuk melindungi hutan tapi negara juga yang merusaknya. Pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran saya adalah kenapa mereka selalu diusik? Toh mereka juga tidak mengusik orang di sekitarnya. Justru To Mimala punya kontribusi besar terhadap keseimbangan alam,” tambahnya.
Lahudin juga menjelaskan bahwa problem yang dihadapi aliran To Mimala saat ini tidak hanya terkait dengan pandangan masyarakat yang begitu miring terhadapnya, namun juga harus berbenturan dengan kebijakan negara. “Lahirnya peraturan tiga menteri mengenai pelarangan menyebarkan syiar kepercayaan yang tidak sesuai ajaran induknya (red-Islam), akan berimbas kepada eksistensi To Mimala. Munculnya SKB akan menyempitkan ruang gerak To Mimala,” jelasnya.[DEPORT]
Tweet
« Cara Beda To Mimala Memaknai Yang Esa
Tulisan sesudahnya:
Tradisi To Mimala Akan Hilang Dengan Sendirinya »
Pencarian
Kategori Berita ID
- Komunitas Lokal, Krisis Ekologis dan Budaya : Sebuah Diskusi Awal
- Bermufakat Melawan Perusak Lingkungan
- LP USU – Desantara Foundation gelar diskusi buku
- Dakwah Membawa Amarah
- Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural
- Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar
- Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten
- LOWONGAN PEKERJAAN: Staf Keuangan
- Susahnya Menjaga Kewarasan di Negeri ini
- Anarkisme Pembangunan di Atas Situs Benteng Somba Opu Makassar
- Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan
- Seni dan Gerakan Sosial
- Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong
- Penulis buku Bencana Industri merasakan adanya intimidasi
- Diskusi Tentang Film Perempuan Multikultural
Random Post
- Hasnan Singodimayan: Duta Tanah Using(0)
- Majalah Desantara Edisi 09/Tahun III/2003: Mbah Mutamakkin vs Cebolek; Suara Lain dari Kajen(0)
- Deport 6 ed. Indonesia(0)
- (Siapa) Sesat dan Menyesatkan (Siapa)(0)
- Lagu atau Nasyid?(0)
- Strategi Advokasi Anti Diskriminasi(0)
- Khilafah Islamiyah: Mimpi Besar Yang Tak Mendasar(25)
- Mereka Yang Meneguhkan: Jejak Debat Historiografi Using Banyuwangi(0)
- Buruh Sortir Kopi Gayo I(0)
- Kami Takut Jika Satu Saat Nanti Kami Diserang Lagi(0)
- Dari Kemiren ke Hollywood(0)
- Warisan dan Jalan Bahagia Tuan Baak(0)
- Belajar dari Nagari(0)
- Majalah Desantara Edisi 02/Tahun I/2001: Anis Djatisunda: Pemaksaan Arabisme pada Budaya Sunda Membuat Mereka Gelisah.(0)
- Menyingkap Selaput-selaput Buram: Dilema Kesenian Tradisi(0)