New Literature (Kesusastraan Baru)
admin | 30 - Jun - 2008Istilah ini digunakan sebagai alternative dari ‘Kesusastraan Persemakmuran’ (Commonwealth LiteratureI) yang kemudian disebut ‘Kesusastraan pasca Pejajahan/ post-kolonial’ (Post Colonial Literature), khususnya sekitar akhir 1970an dan1980an. ‘Kesusastraan Baru’ (New Literature) menekankan pentingnya keaslian hasil karya sastra dari kelompok masyarakat masa pasca penjajahan dan pengkonotasian antara yang murni dan yang berbeda dari aslinya. Istilah ini juga menghindar dari permasalahan-permasalahan yang ada dengan penggunaan istilah ‘Commonwealth’, yang telah dikritik karena cenderung memberikan pemaknaan yang keliru berhubungan dengan sejarah dan usaha mempertahankan kekuasaan yang tidak adil antara penjajah dan yang dijajah.
Bagimana pun juga istilah ini masih digunakan sebagai sinonim untuk istilah ‘post-kolonial’, juga sedikit banyak telah dipakai pada tahun 1990an. Sebagian dikarenakan makna yang diekspresikan oleh sebagian kritikus bahwa istlah ini mempunyai makna konotasi yang terlalu paternalistk dan gagal dalam meletakkan hasil budaya di dalam sejarah dan warisan dari penjajah. Dan kekurangan terbesarnya adalah banyak dari kebudayaan-kebudayaan yang diacu oleh istilah ini (seperti yang terdapat di India) mempunyai tradisi kesusastraan yang jauh lebih kuno daripada kesusastraan Inggris itu sendiri. Untuk menghindari permasalahan tersebut, istilah ini lebih umum digunakan di dalam frase ‘New Literature berbahasa Inggris’. Tentunya dengan menekankan fakta bahwa istilah ini hanya mengacu pada tulisan yang dhasilkan dalam bahasa Inggris danbukan untuk tulisan yang menggunakan bahasa-bahasa klasik seperti Sanscrit atau dalam bahasa-bahasa India lainnya. Suatu hal yang dapat diargumentasikan dan dengan sendirinya adalah suatu permasalahan dikarenakan istilahini menyarankan bahwa suatutulisan itu ada dan berada dalam isolasi dari tulisan kontemporer yang ditulis dengan bahasa-bahasa aslinya,atau berasal dari pengaruh bahasa lisan yang sedang digunakan.
Sesuatu hal yang menarik selain dari permasalahan-permasalahan yang disebutkan tadi, adalah, istilah ini terus dipergunakan hingga di luar Eropa dengan alasan yang berbeda dan beragam macamnya. Contohnya, beberapa kritikus menganggap istilah tersebut sebagai ‘konsep emansipatoris’ dan seorang penulis dari Afrika, Ben Okri, menjaga jarak antara dirinya dengan implikasi dari ‘setelah’ (coming after) dalam post-kolonialism, dan menyatakan suatu makna pilihan untuk kata ‘new’ yaitu sebagai ‘kesusastraan jiwa yang baru transendent’ (Boehmer 1995: 4). Bacaan lebih lanjut: Boehmer 1995; King 1980, 1996; Rutherford et al.1992
Tweet
« Intervensi Negara terhadap Kebudayaan Menghancurkan Padang Mandar
Tulisan sesudahnya:
Orality (Oralitas) »
Pencarian
Kategori Istilah
Random Post
- Cerita Dari Samarinda: Pelatihan Menulis dan Penelitian Dasar Kualitatif(0)
- Kerja-Kerja Pengorganisasian Masyarakat(0)
- Majalah Desantara Edisi 15/Tahun VII/ 2007 : Subversi Erotis Lengger Banyumas(0)
- Fanonisme(0)
- Upacara ritual Gawe Beleq dan Mungut Lekong(0)
- Gendeng Beleq bagian 5(0)
- Imam Perempuan dan Tubuh Tuhan(0)
- Desantara Report on Minority Issues 01 Bahasa Indonesia(0)
- Pali-pali(0)
- Suhadiyah: Tandha Balik Arus Patriarki Madura(0)
- Srinthil edisi 20 : Perempuan di atas lumpur(0)
- Pernyataan Sikap DESANTARA Foundation Terkait Keluarnya SKB 3 Menteri Tentang Ahmadiyah(0)
- Pernyataan Sikap atas Penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik(0)
- Apa Urusannya Negara Melarang Ahmadiyah (dan yang lainnya)?!(0)
- Buruh Sortir Kopi Gayo I(0)