Nestapa Anak Cucu Rara Anteng-Jaka Seger

Miftahuddin | 15 - May - 2008

Panorama pegunungan Bromo yang indah, seringkali membuat para pengunjung Tengger terlena. Keramahan penduduknya yang terkenal ke seluruh penjuru negeri membuat wisatawan dari dalam dan luar negeri terbuai dalam kemanjaan. Tak kurang seorang Bob Hefner yang asli Amerika, setelah sekian lama bergumul dengan warga Tengger, secara lugas mengatakan, ‘Sikap tanggap dalam hubungan antar pribadi telah menantang kepribadian Amerika saya’.

Begitulah, Bromo nyaris menjadi keindahan yang sempurna. Namun di balik pesonanya, Tengger juga menyimpan sejarah yang kelam. Di kawasan yang kini secara administratif berada di empat kabupaten, yakni kabupaten Probolinggo, kabupaten Pasuruan, kabupaten Malang, dan kabupaten Lumajang inilah, para anak cucu Rara Anteng-Jaka Seger menyimpan nestapa mendalam. Meski selama ini sejarah kelam itu hendak ditutupi, tetap saja selalu menyembul dari satu generasi ke generasi berikutnya. Prahara paling parah, tentu saja pasca tragedi 1965. Warga Tengger yang sebelumnya hidup sangat harmonis, aman dan tenteram, tiba-tiba dilanda teror dan penyerbuan berdarah. Menurut kesaksian Hefner, paling tidak situasi penuh teror itu menghantui warga Tengger selama dua bulan sejak kudeta akhir September 1965. “Saat itu sekelompok muslim di daerah bawah yang dipersenjatai dan didampingi oleh sejumlah kecil pengawas tentara, tiba di daerah atas untuk mulai melakukan pembersihan yang berdarah,” tulis Hefner dalam bukunya yang terkenal, The Political Economy of Mountain Java, An Interpretive History (1990).

Beberapa hari sebelum pembantain berdarah, para pegawai pamong praja diminta untuk menahan anggota PKI tingkat lokal, menggunduli kepala mereka untuk memudahkan identifikasi. Pegawai pamong desa yang menolak untuk bekerjasama dianggap sebagai orang komunis yang harus ditumpas pula. Karena itu tidak banyak yang berani menentang. Namun dalam kenyataannya, yang menjadi target bukan hanya orang PKI, tetapi orang kejawen (yang merupakan mayoritas di Tengger) juga menjadi sasaran. Dan belakangan diketahui bahwa para penumpas ternyata memiliki agendanya sendiri-sendiri dalam ‘proyek’ berdarah tersebut. Tentu saja militer juga memainkan peranan yang sangat signifikan. Ujung dari semua tragedi itu adalah hancurnya Tengger!

Tengger pasca 1965 adalah Tengger yang tercabik: tidak hanya dari perspektif politik, namun juga ideologi, identitas sosial dan identitas kebudayaan dalam pengertian yang paling luas sekali pun. Tidak cukup dengan menumpahkan darah warga Tengger, berbagai kebijakan pun dipaksakan kepada mereka. Orang-orang Tengger yang sebelumnya merasa lebih dekat ke agama Hindu, belakangan ‘dipaksa’ untuk berubah agama. Pemerintah mengharuskan mereka memilih satu dari lima agama yang resmi. Melalui Parisada Jawa Timur, orang Tengger kemudian dikategorikan sebagai pemeluk agama Budha Mahayana, dengan Surat Keputusan No. 00/PHB Jatim/Kept/III/1973, tanggal 6 Maret 1973. Padahal, seperti ditunjukkan dalam hasil penelitian Ayu Sutarto, dilihat dari pribadatannya, orang Tengger tidak menunjukkan sifat kebudhaan, kecuali kata hong yang digunakan sebagai pembuka dari setiap mantera. “Tetapi, surat keputusan itu tidak mampu mengubah keimanan orang Tengger,” tulis Sutarto dalam disertasinya, Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang (1997).

*****

Jauh sebelum berbagai prahara melanda Tengger, masyarakat Tengger dikenal sebagai komunitas yang sangat tenteram, dan dalam tatanan sosialnya mereka memiliki norma-norma tersendiri. Untuk mencapai kesejahteraan hidup, orang Tengger memiliki kewajiban untuk selalu menjauhi malima dan memperjuangkan walima. Yang dimaksud dengan malima adalah maling (mencuri), main (berjudi), madat (minum candu), minum (mabuk karena minuman keras), dan madon (main perempuan); sedangkan walima yang mereka perjuangkan adalah waras (sehat jasmani dan rohani), wareg (cukup makan), wastra (cukup sandang), wasis (cukup ilmu pengetahuan) dan wisma (memiliki tempat tinggal yang layak).

Orang Tengger juga memiliki petunjuk yang mengarah kepada keharmonisan dan kelestarian dalam persaudaraan, seperti yang terdapat dalam sesanti pancasetia (lima petunjuk kesetiaan), yakni setya budaya (taat dan hormat kepada adat), setya wacana (kata harus sesuai dengan perbuatan), setya semaya (selalu menepati janji), setya laksana (bertanggungjawab terhadap tugas) dan setya mitra (selalu membangun kesetiakawanan). Dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger juga berpegang kepada pralima yang mereka sebut sebagai kawruh buda, yakni prasaja (sederhana), prayoga (menunaikan kebajikan), pranata (taat kepada penguasa), prasetya (setia kepada janji dan bertanggungjawab) dan prayitna (selalu waspada). Pendek kata, orang Tengger telah memiliki segalanya untuk menjadi ‘diri mereka sendiri’. Tetapi apalah artinya segala macam norma sosial itu bagi warga Tengger ketika sebuah kekuatan yang jauh lebih besar menghancurleburkan diri mereka. Yang tertinggal hanyalah nestapa.

Gunung Bromo dengan panoramanya yang indah, saat ini memang masih tegar berdiri. Setiap saat para wisatawan masih bisa menikmati kesegaran alamnya, dan juga keramahan warganya. Tetapi banyak hal sesungguhnya telah berubah. Apa yang disebut sebagai Desa Tengger sesungguhnya sangat problematis. Banyak desa yang dulu dikenal sebagai desa Tengger, sekarang tidak lagi dimasukkan ke dalam kelompok desa orang Tengger, karena sebagian besar penduduknya beragama Islam.

Menurut Sutarto, anggapan yang berkembang akhir-akhir ini, terutama yang muncul dalam tulisan, brosur, dan penelitian-penelitian tentang Tengger yang dimasukkan ke dalam desa Tengger, adalah desa-desa dalam wilayah keempat kabupaten tersebut yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan masih memegang teguh adat istiadat Tengger, misalnya melempar kurban ke kawah Bromo pada hari raya Kasada dan memuliakan roh nenek moyang, terutama pada hari raya Karo. Desa-desa tersebut adalah Jetak, Wanatara dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Ngadiwono, Podokoyo, dan Mororejo (kecamatan Puspo, Kabupaten Malang), dan Argosari (Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang). Namun, yang agak aneh pula, ada beberapa desa di kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo tidak dimasukkan ke dalam kelompok desa Tengger meskipun sebagian warganya masih menganut tradisi Tengger. Begitulah, identitas orang Tengger kadang-kadang terkesan problematis. Jelas, mereka bukan suku primitif, juga bukan suku terasing, atau suku lain yang berbeda dari suku Jawa. Namun jelas mereka juga memiliki sesuatu yang khas dibanding masyarakat Jawa pada umumnya.

Dalam sejarah Jawa, bukti epigrafis Jawa kuno menunjukkan bahwa sudah sejak lama dataran tinggi Tengger dihuni oleh sekte agama Hindu dan Budha. Sebuah piagam yang tertulis pada pelat tembaga yang ditemukan di Desa Wonokitri pada akhir abad ke-19 menyatakan bahwa daerah ini dianggap hila-hila atau suci. Dokumen ini dikenal sebagai Piagam Walandhit, berangka tahun Saka 1303 Masehi. Penghuni daerah ini digambarkan sebagai hulun hyang atau abdi dewata. Dan konon, sebagai akibat dari status keagamaannya yang khas ini, orang-orang Walandhit dibebaskan dari pembayaran pajak keraton.

Orang Tengger dikenal masih menjaga tradisi bukan Islam selama lebih dari lima abad, yakni sejak jatuhnya kerajaan Hindu-Budha yang terakhir di Jawa. Berbagai penelitian etnografi tentang bagaimana kebudayaan Tengger sering tidak menjelaskan apakah orang Tengger itu Hindu, Budha, animis atau kejawen. Bahkan belakangan, ketika mereka telah dikategorikan sebagai pemeluk agama Hindu, toh orang Tengger tidak meninggalkan adat istiadat dan ritual yang diwarisi dari nenek moyang mereka, yang juga berbeda dengan Hindu mainstream.

Sampai hari ini dukun-dukun Tengger masih mempertahankan tradisi keagamaan mereka sendiri, yaitu memuja dewa yang menjadi penguasa gunung Bromo, yang merupakan warisan peribadatan dari nenek moyang mereka, para pengungsi dari Majapahit. Jadi, apakah agama dan kebudayaan orang Tengger yang sesungguhnya? Entahlah. Biarkan ia tetap menjadi rahasia mereka sendiri. Tak perlu mereka dibebani lagi dengan berbagai aturan, yang hanya akan menumpukkan nestapa mereka. Biarkan orang Tengger tetap menjadi diri mereka sendiri: anak cucu Rara Anteng-Jaka Seger yang seutuhnya! Desantara / Miftahuddin



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian