Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural
Ari Ujianto | 7 - Mar - 2011Sinar matahari pagi membuat bayang-bayang para perempuan dan laki-laki itu nampak memanjang, menutupi sebagian garis lapangan bulutangkis, tempat mereka melakukan senam pagi itu. Kedua tangan mereka diletakkan di depan dada dan kaki diregangkan seperti melakukan gerak pelemasan otot.
Semua perempuan memakai kerudung atau jilbab dan kaos lengan panjang warna cerah serta celana training panjang. Sedang yang laki-laki nampak lebih seragam warna t-shirt lengan pendek-nya. Tanpa sekat, mereka beraktivitas seperti itu setiap hari minggu pagi di komplek perumahan Depok Lama Alam Permai.
Bagi kita mungkin foto tentang aktivitas senam seperti itu nampak biasa, karena banyak terjadi di pelosok negeri ini. Tapi bagi orang luar, foto tersebut memberi pesan khusus,” komentar Swan Ti terhadap foto Kuswanto, salah seorang peserta Pelatihan Fotografi dengan Perspektif Multikultural yang diadakan oleh Yayasan Desantara pada 26-27 Pebruari lalu. Menurut Swan Ti, fasilitator pelatihan tersebut, foto senam pagi tersebut selain sudah baik tekniknya juga bisa mengutarakan pesan atau opini fotografernya. Foto tersebut menunjukkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tanpa sekat dan perbedaan. Ini juga menunjukkan bahwa muslim Indonesia itu berbeda dengan yang dipersepsi sebagian orang Barat. Sepanjang dua hari itu komentar dan masukan dari fasilitator disambut dengan antusias oleh peserta pelatihan. “Kenapa pelatihan semacam ini nggak kita lakukan dari dulu ya,” kata Khoiron beberapa hari setelah pelatihan usai.
Sebenarnya sudah lama Desantara membutuhkan peningkatan kemampuan dalam fotografi karena hampir semua produknya membutuhkan foto yang selain bagus secara estetika juga mengandung pesan. Selama ini produk seperti jurnal, buku, website maupun buletin membutuhkan foto-foto dengan kualifikasi tersebut, tapi sedikit yang memenuhinya. Hal ini disebabkan Desantara banyak fokus di tulisan, bukan foto. Padahal sebenarnya dua-duanya sama penting dalam menyampaikan pesan, bahkan kadang foto lebih cepat mengena dan diingat oleh yang melihatnya.
Peserta pelatihan berjumlah 15 orang yang selain dari Desantara sendiri juga beberapa perwakilan jaringan Desantara, khususnya Jawa. Jaringan dari Porong diwakili Paring Waluyo, Blitar diwakili Lukman, Pati diwakili Kuswanto dan Najib, dan Indramayu oleh Dedi Segandu. Dari Jogja tidak ada yang bisa hadir, sedangkan jaringan Makassar malah ikut, karena kebetulan sedang ada di Jakarta. Idris atau Iche namanya. Pelatihan ini difasilitatori oleh Ng. Swan Ti dari Malang Meeting Point ( MAMIPO) dan Rasdian Vadin, editor foto Jurnal Nasional. Materi yang diberikan meliputi : perkenalan fotografi, teknik dan aplikasi fotografi dasar, komposisi, Pesan dalam foto, Dokumentasi Proyek dan Digital Work Flow.
Selain materi kelas, pelatihan ini juga melakukan praktek pemotretan untuk melihat sejauh mana materi telah dipahami dan teknik sudah dikuasai. Hari pertama diawali dengan perkenalan tentang fotografi, khususnya fotografi dokumenter dan jurnalistik. Dari penjelasan Swan Ti, sebelum memahami fotografi dokumenter, kita perlu tahu dulu apa itu yang disebut dokumenter. Dia mengutip pernyataan Mary Warner Marien dalam bukunya Potography : A Cultural History, bahwa dokumenter adalah segala sesuatu representasi non-fiksi di buku atau media visual. Ini tentu nyambung dengan definisi fotografi dokumenter menurut Time-Life International bahwa fotografi dokumenter menggambarkan dunia nyata (depiction a real world), non-fiksi, tanpa rekayasa, dan apa adanya oleh seorang fotografer. Selain itu sang fotografer juga memberikan opini atau pesan yang dianggap penting bagi pemirsanya. Mulai dari pemaparan tersebut kemudian Swan ti memberikan contoh foto-foto yang bisa mewakili difinisi tersebut. Teknik penyampaian materi seperti itu tentu sangat menarik peserta pelatihan, karena tidak hanya tulisan atau omongan saja tapi juga gambar/foto, indah pula. Kemudian juga peserta diminta untuk bertanya atau memberikan komentar terhadap foto-foto yang ditampilkan.
Selesai materi pengantar fotografi dokumenter dan jurnalistik, disambung dengan teknik dan aplikasi fotografi dasar. Metodenya hampir sama, pemaparan dengan tulisan dan foto, serta pengenalan alat (kamera) secara langsung. Kali ini Rasdian Vadin yang menjadi narasumber. Dia memaparkan tentang sejarah kamera, perkembangannya dari waktu ke waktu, khususnya soal kemampuannya dalam menangkap gambar dan detil-detil kegunaan setiap bagian di kamera. Menurutnya, bagaimanapun canggihnya alat, fotografi itu tetap berawal dari cahaya. Tanpa cahaya tidak ada gambar. Cahaya itu pembentuk obyek sekaligus karakter. “Kalau soal teknik, ada tiga hal dasar yang perlu dikuasai , yakni asa atau iso, rana, dan diafragma,” kata Vadin. Kemudian Vadin menunjukkan apa itu yang disebut iso, rana dan diafragma dalam kamera itu dan meminta peserta untuk melihatnya di kamera masing-masing. Setelah itu vadin juga menjelaskan tiga hal lagi : metering, focusing, dan composing.
Setelah dua sessi kelas dan setelah istirahat makan siang, pelatihan dilanjutkan dengan praktek penguasaan alat dengan penguasaan terhadap iso, rana dan diafragma yang benar. Ini juga termasuk penguasaan soal focusing dan metering, sedang composing akan ada materi dulu baru praktek. Peserta diberi waktu satu jam untuk mengambil gambar di sekitar kantor Desantara. Ada yang mencari obyek di pinggir kali Ciliwung, di stasiun kereta Depok Lama, dan ada pula yang di dalam perumahan Depok Lama Alam Permai saja. Kemudian setiap peserta diminta memilih tiga foto yang dianggap paling baik dan diminta menjelaskan kenapa memilih foto tersebut. Setiap peserta memaparkan alasannya masing-masing dan kemudian fasilitator memberikan komentar dan masukan. Kemampuan peserta di hari pertama, dilihat dari foto mereka, ternyata masih beragam, ada yang exposure-nya sudah bagus, ada yang belum.
Pelatihan hari pertama ditutup dengan materi komposisi I. Menurut Vadin, setelah penguasaan alat, yang harus diasah dan terus dikembangkan adalah kemampuan melihat, berpikir dan merasakan. “ Sering kita mengalami atau melihat foto yang bagus di sebuah tempat yang sering kita lewati. Kita jadi bertanya ‘kok mereka bisa nemu begitu, ya?’. Nah, inilah yang disebut dengan kemampuan melihat dari pelbagai sudut,” jelas Vadin. Malam itu juga diberi penjelasan soal prinsip atau unsur EDFAT dalam fotografi, khususnya dalam photo story. EDFAT merupakan akronim dari Entire, Detail, Frame, Angle, dan Time. Dengan demikian, photo story akan bagus jika unsur-unsur itu ada di dalamnya. Sebenarnya masih ada materi komposisi II, tapi karena waktu sudah malam maka materi itu akan disampaikan esok harinya. Sebelum peserta pulang dan pelatihan hari pertama ditutup, peserta diberi PR untuk mengambil gambar lagi untuk melihat apakah peserta sudah baik penggunaan kamera (secara teknik benar), memuat estetika, ada pesan yang disampaikan dan memuat unsur-unsur EDFAT.
Hari kedua pelatihan diawali dengan presentasi foto yang dibuat oleh peserta. Mereka diminta memilih lima foto yang setidaknya memuat prinsip EDFAT. Kali ini foto peserta lebih bervariasi karena lokasi yang dipilih juga beragam, tidak hanya di sekitar kantor Desantara. Ada yang lokasinya di pasar Depok, di masjid Kubah Mas, di pasar kaget Kalibata, dan lain sebagainya. Kembali foto-foto tersebut mendapat komentar dan masukan dari fasilitator, baik soal exposure-nya, estetika, komposisi serta unsur EDFAT-nya. Secara umum, sudah tidak ada masalah dengan exposure. Tapi untuk unsur-unsur dalam EDFAT dan komposisi masih belum semua memenuhinya. Ini tentu tidak mudah dan hanya bisa didapatkan dengan latihan terus-menerus. Selain komentar dan masukan soal foto-foto milik peserta, hari kedua juga diisi dengan materi Pesan dalam Foto, Dokumentasi Proyek, dan Digital Work Flow. Walaupun alurnya demikian padat, karena waktunya sangat pendek dengan materi yang banyak, peserta tetap bergembira dengan pelatihan ini. Hal ini bisa dilihat dengan diskusi yang terus terjadi, pertanyaan yang diajukan ketika istirahat maupun setelah pelatihan ditutup. Semoga memang ada gunanya pelatihan ini, walaupun agak terlambat melakukannya.
Tweet
« Kekerasan dan Budaya Kehormatan Diri
Tulisan sesudahnya:
Dakwah Membawa Amarah »
Pencarian
Kategori Berita ID
- Komunitas Lokal, Krisis Ekologis dan Budaya : Sebuah Diskusi Awal
- Bermufakat Melawan Perusak Lingkungan
- LP USU – Desantara Foundation gelar diskusi buku
- Dakwah Membawa Amarah
- Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural
- Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar
- Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten
- LOWONGAN PEKERJAAN: Staf Keuangan
- Susahnya Menjaga Kewarasan di Negeri ini
- Anarkisme Pembangunan di Atas Situs Benteng Somba Opu Makassar
- Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan
- Seni dan Gerakan Sosial
- Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong
- Penulis buku Bencana Industri merasakan adanya intimidasi
- Diskusi Tentang Film Perempuan Multikultural
Random Post
- Rancangan Perda Kota Mataram ttg Pencegahan Maksiat(0)
- Peta Kebudayaan dari Kacamata Sosiologis(0)
- Pabrik Semen Diadukan(0)
- Gendang Beleq(0)
- Gandrang Bulo, Kritik Kocak Seniman Rakyat(0)
- Melawan Lupa(0)
- Bahasa dan Peradaban(0)
- Panggil Kami Towani(0)
- Komitmen Anti Diskriminasi Partai Politik dan Birokrasi Miskin(0)
- Nasib Kuntulan di Tengah Desakan Purifikasi Islam(0)
- Jejak Nek Maryam Pengrajin Tikar Barcucuk(0)
- Determination: the Using Identity(0)
- Diskusi Tentang Film Perempuan Multikultural(0)
- Commonwealth Literature (Kesusastraan Persemakmuran)(0)
- Ludruk, Bangkitlah!(0)
wah sangan menarik ya
kapan kira2 ada pelatihan fotography kayak gini lagi