Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik

Roedy Haryo Widjono AMZ | 4 - Feb - 2014

Kehidupan komunal turun-temurun pada masyarakat Dayak, terbukti mampu mendukung proses pengukuhan tradisi kebersamaan. Karena cikal bakal terbangunnya sebuah rumah panjang berpangkal dari satu keluarga. Kemudian mekar beranak-pinak dan secara turun-temurun, peng­huninya terus-menerus berdiam di rumah panjang dari waktu ke waktu. Secara alamiah, mereka yang hidup dalam komu­nitas rumah panjang sulit terpisahkan, terutama oleh faktor darah, adat, kepercayaan, mata pencaharian, dan faktor pendukung psikologis lainnya.

Suatu ikatan yang kukuh membuat penghuni rumah panjang (lou, bahasa Dayak Benuaq) selalu betah dalam kehadiran mereka dengan keadaan yang sahaja. Satu hal lain yang penting, kehidupan di dalam rumah panjang menjamin keberlangsungan relasi kekuasaan di kalang­an masyarakat Dayak.

Komunitas Dayak niscaya, bahwa kreasi pikiran dan akal budinya senantiasa mengacu pada proses kehidupan sehari-hari yang selalu berada pada ruang fisik dan sosial, yang terbentuk karena adanya hubung­an timbal balik antara manusia dengan lingkungan dan antar sesama manusia. Maka, setara dengan pemahaman itu, sesung­guhnya terdapat beberapa determinan yang amat mem­pengaruhi kehidupan masyarakat adat Dayak, diantaranya sistem religi; rumah panjang; lembaga adat; sistem pengetahuan dan pola mata pencaharian.

Sistem religi yang diwarisi secara turun-temurun, berpusat pada kesadaran komunitas yang memperlihatkan adanya relasi antara unsur manu­siawi dengan supranatural. Sistem religi termaksud, bagi masyarakat Dayak merupa­kan dasar dan norma tingkah laku yang menerangkan arti eksistensinya sebagai manusia yang hidupnya senantiasa terarah pada peristiwa yang telah terjadi. Rumah panjang bagi masyarakat adat Dayak sesungguhnya merupakan pusat kebudayaan. Selama bertahun-tahun dan secara turun-temurun, masyarakat Dayak membangun tatanan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang “berpusat” di rumah panjang.

Adat bagi masyarakat Dayak dipercayai berasal dari para dewa yang diwariskan kepada manusia pada zaman tertentu yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia. Pada masyarakat Dayak Bahau misalnya, peristiwa itu terjadi di zaman tuktuna tubu, yang kala itu digambarkan sebagai “langit berang hulau tana berang laping”. Saat itulah terjadi peristiwa pewarisan adat kepada manusia. Lalu secara turun-temurun, terdapat orang-orang yang ditunjuk untuk menjaga keber­langsungan adat.

Dari situlah bermula adanya lembaga adat dan kepala adat, yang terutama berfungsi untuk menjaga dan menegak­kan keberlangsungan ide-ide yang mengonsepsikan hal yang paling bernilai dalam kehidupan; norma-norma yang berlaku pada masyarakat; sistem hukum yang berlaku; aturan khusus yang mengatur aktivitas masyarakat dalam ruang lingkup yang terbatas.

 

Makna Erau dalam Tradisi Dayak

Dalam tradisi kehidupan orang Dayak, Erau dimaknai sebagai manifestasi rasa syukur terhadap, pertama, kedewasaan psikologis sebagai bagian dari siklus upacara adat kelahiran, kedua kemenangan mengayau (tradisi memotong kepala musuh), dan ketiga, ungkapan rasa syukur terhadap harmonisasi kosmologi-sosial yang menghasilkan panen berlimpah sebagai berkah dari Sang Pencipta terhadap perilaku warga, sesuai dengan norma relasi antara manusia-alam dan Sang Pencipta.

Ungkapan kedewasaan psikologis diwujudkan dalam upacara adat yang diperuntukan bagi warga komunitas yang telah mencapai usia remaja. Pada suku Dayak Bahau Busang, upacara tersebut lazim disebut Dangai (Perempuan) atau Kayau (Lelaki) yang merupakan ritual tahap akhir dari upacara Adat Anak. Hakekatnya dari adat Dangai dan Kayau adalah pendewasaan manusia dalam kehidupan.

Kedewasaan psikologis itu dimaksudkan seperti memperoleh hak membuat, memakai benda adat dan benda pusaka keluarga. Dangai atau Kayau lazimnya terdiri dari dua ketegori: Dangai Ayaq, dilaksanakan secara lengkap selama 10 hari, Dangai Kiliiq, dilakukan khusus untuk untuk pendewasaan dan pengukuhan nama, waktu yang diprlukan hanya 2-3 hari. Dalam pesta Dangai/Kayau niscaya dilengkapi dengan ragam kesenian khas Dayak.

Tempo silam mengayau merupakan tradisi di kalangan orang Dayak. Kemenangan  atas mengayau pada suku Dayak Punan dan suku Dayak lain di wilayah utara Borneo, ditandai dengan upacara adat “Erau Cancut Hitam”. Selain ungkapan syukur atas kemenangan dalam “perang”, Erau Cancut Hitam juga merupakan upacara adat yang menandai kedewasaan kaum muda karena telah berhasil ikut dalam mengayau. Sebagaimana Dangai/Kayau, adat Erau Cancut Hitam juga dilengkapi dengan ragam kesenian khas Dayak

Sedangkan ungkapan terhadap harmonisasi kosmologi-sosial, esensinya adalah manifestasi rasa syukur terhadap perlindungan Sang Pencipta kepada para warga. Lazimnya ungkapan itu ditandai dengan persembahan sesaji dan tarian/kesenian. Pada orang Dayak Tonyooi dan Benuaq manifestasi itu diwujudkan dalam upacara adat Nalitn Tautn.

Dalam tradisi orang Dayak, selain ditampilkan pelbagai ragam seni pertunjukan, dalam upacara adat tersebut, kecuali Erau Cancut Hitam, ditampilkan ragam seni permainan rakyat, diantaranya (Dayak Bahau), Pasing, permainan adu gasing; Payuu, bergulat; Pehensa, adu panco; Pihin, tarik tambang; Kelepgaq, permainan ketangkasan kaki dengan alat bantu alu; Pelagang, sejenis lompat jauh; Pehemput, menyumpit dan Pihiding Kelbit, permainan dari perisai yang digunakan untuk orang berperang sebagai pelindung, pada suku Dayak Tonyooi dan Benuaq disebut Behempas.

Perubahan Erau: Dari Tradisi ke Hegemoni

Erau memiliki sejarah yang panjang, dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sejatinya Festival Erau merupakan upaya “adopsi” dari ketiga tradisi yang ada pada komunitas Dayak dengan interpretasi makna sesuai dengan kepentingan politik pada era Kesultanan maupun Pemerintahan (Orde Baru hingga Reformasi) yang beraroma politisasi etnik Dayak.

Dalam perkembangannya, Erau merupakan manifestasi politik kebudayaan melalui proses hegemoni dan kooptasi yang dilakukan oleh Rezim Penguasa, sehingga Erau yang semula merupakan ungkapan kultural menjadi arena bagi manifestasi kepentingan politik kekuasaan dan kapitalisme global.

Festival Erau merupakan bukti konkret dari proses politik kebudayaan sejak Kesultanan Kutai, Rezim Orde Baru hingga era Otonomi Daerah yang sarat dengan kooptasi dan hegemoni oleh Penguasa (Kesultanan, Pemerintah) terhadap budaya tradisional.

Proses kooptasi dan hegemoni kekuasaan yang melahirkan posisi subordinat pada komunitas Dayak, nampak nyata bila ditelusuri fase perkembangan Festival Erau.

 

Fase Tradisi Komunitas

  • Pada fase ini, Erau dimaknai sebagai tradisi kehidupan orang Dayak secara esensial dan sungguh menjadi milik komunitas, karena belum masuk dalam wilayah publik. Dalam makna yang lain, Erau saat itu belum memasuki wilayah publik dan industri wisata dan peran Tetua Adat, terutama para pemangku adat masih dominan dan dihormati.

 

Fase Hegemoni Kesultanan

  • Pada fase ini, Kesultanan Kutai mulai melakukan proses hegemoni kebudayaan, berlandaskan pada kekuasaan formal Kesultanan Kutai. Pada era pemerintahan Pangeran Sinum Panji Mendapa (1635-1650), dimaklumatkan Kitab Panji Selaten yang hakekatnya berisi “Sultan adalah penguasa tunggal, namun mengakui adanya hukum adat pada suku Dayak”. Pada Pasal 4 Kitab Panji Selaten, disebutkan mengenai empat kategori adat, yakni: adat yang memang; adat yang diadatkan; adat yang teradat; adat istiadat, yang merupakan manifestasi bahwa Sultan merupakan pemangku sekaligus penguasa adat.

 

  • Sedangkan pada masa Sultan Aji Muhammad Sulaiman (1845-1899), diberlakukan Kitab Undang-undang Braja Niti, yang esensinya adalah “Segala tanah dan isinya seperti hasil hutan, perdulangan atau segala hasil dalam tanah dan di atas tanah yang adal dalam Kesultanan Kutai, menjadi hak milik Kesultanan Kutai Kartanegara”. Kitab Braja Niti, sekaligus mempertegas dominasi kekuasaan Kesultanan Kutai.

 

  • Kekuasaan Kesultanan Kutai pada waktu itu diyakini hingga di wilayah Sendawar (sekitar Melak, Kabupaten Kutai Barat, saat ini), sedangkan wilayah di hulu Sendawar tidak dalam wilayah “kekuasaan” Kesultanan Kutai.

 

  • Pada masa itu, Erau yang semula merupakan area domestik komunitas Dayak, ditampilkan dengan “wajah” publik. Meski konteksnya adalah festival internal di lingkungan Kesultanan Kutai, namun dalam pelaksanaannya mengundang komunitas Dayak di wilayah pedalaman Mahakam. Kehadiran orang Dayak dalam festifal itu ditandai dengan pemberian upeti sebagai simbol pengakuan terhadap kekuasaan Kesultanan Kutai. Dan sebagai ungkapan penerimaan, Sultan Kutai memperkenankan orang Dayak menampilkan berbagai kesenian mereka.

 

Fase Dominasi Rezim Pariwisata

  • Pada 1947, seluruh wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara berstatus Swapraja, kemudian diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai Tingkat Kabupaten pada 1953. Kala itu, Sultan Parikesit diangkat sebagai Bupati Kutai. Pada awal 1960, status Kabupaten Kutai sebagai Daerah Istimewa dihapus dan Istana Kesultanan Kutai ditetapkan oleh Rezim Orde Lama sebagai Museum Mulawarman. Hingga Sultan Parikesit wafat, tahun 1981, praktis Kesultanan Kutai tak memiliki Sultan. Pada era ini, dominasi Kesultanan Kutai telah surut dan sekedar dijadikan simbol historik-kultural.

 

  • Pada fase ini, rezim otoriter Orde Baru sangat berkuasa. Dan melalui program Pariwisata mulai mengadopsi Festival Erau untuk menancapkan politik kebudayaan yang diawali sekitar era 1980-an.

 

  • Namun posisi orang Dayak tetap subordinat. Bahkan lewat kekuasaan Birokrasi mengharuskan Camat menghadirkan kesenian Dayak untuk tampil dalam festival Erau. Pada fase ini, terjadi bomming pariwisata, dimana orang Dayak mulai “diperjualbelikan” dalam even budaya tidak hanya berskala nasional, tetapi juga skala internasional. Tarian Dayak ditampilkan di Jerman, Amerika, dan orang Dayak dikukuhkan sebagai ikon Festival Erau.

 

Otonomi Daerah menjadi momentum penting, ditandai dengan “menghidupkan kembali”. Kesultanan Kutai melalui simbol material dan psikologis, seiring dengan itu Kabupaten Kutai Kertanegara (Bupati Syaukani HR) sebagai simbol bIrokrasi. Sehingga proses hegemoni tersinergi dalam dua kekuasaan “Kesultanan” dan “Pemerintah” dan Erau menjadi bagian dari politisasi etnik supercultur dan subordinatcultur.

Pada fase ini, wilayah pedalaman Mahakam telah menjelma menjadi Kabupaten sendiri (Kutai Barat), padahal ikon Erau adalah Dayak. Maka perlu diciptakan ikon ditandai dengan pembentukan desa budaya di Lekaq Kidau. Seiring dengan itu, di semua Kabupaten juga menampilkan festival Erau dengan berbagai sebutan (Birau, Irau, dll). Maka lengkaplah Erau sebagai wujud dari politisasi etnik yang kian melenceng jauh dari hakekat Erau yang semula

 

Panggung Simbolik Dominasi Kekuasaan

Secara historis-mitologi terdapat relasi yang kuat antara etnik Kutai dan Dayak. Hal itu diyakini secara bersama dalam legenda asal usul suku. Tersebutlah Tulur Aji Jangkat seorang manusia yang diyakini sebagai keturunan Dewa, dia menikah dengan Mook Mandar Bulan, tersebut sebagai Ratu Sendawar. Dari buah perkawinan mereka, lahirlah Puncan Karna (yang diyakini sebagai asal usul orang Tonyooi), Sualas Guna (yang diyakini sebagai asal usul orang Kutai), Jelivan Bena (yang diyakini sebagai asal usul orang Bahau), Nara Guna (yang diyakini sebagai asal usul orang Modang). Dengan demikian, berdasarkan riwayat asal-usul, antara orang Kutai dan orang Dayak memiliki ikatan darah yang kuat.

Berdasarkan pada ikatan darah tersebut, maka berlangsulah proses relasi sosial budaya dari masa ke masa. Salah satu ungkapan yeng menunjukan historis itu, sama dengan ungkapan etnik Banjar kepada orang Dayak yang menyebut “Dangsanaq Tuha/Saudara Tua” dan orang Dayak menyebut “Dangsanaq Anum/Saudara Muda” kepada orang Banjar.

Festival Erau memang didesain sebagai wujud panggung simbolik dominasi Kesultanan Kutai melalui “kolaborasi” dengan Pemerintah Kabupaten, meski disadari bahwa Dayak sebagai ikon. Erau tanpa kehadiran Dayak sejatinya tak memiliki daya jual promosi dalam konteks kapitalisme industri kebudayaan.

Dominasi Birokrasi dan event organizer mewujud konkret. Pengambilan keputusan ada pada dua figur: Bupati dan Sultan. Sponsor juga dikelola oleh dua kekuatan. Agenda acara didominasi Kutai. Posisi orang Dayak hanya menjadi penampil kesenian dengan mempertontonkan segala yang berbau “tradisional-primitif”, karena hal itu dimaknai sebagai daya tarik utama.

Sistem religi Dayak kini kian melemah, tatkala “dilacurkan” sebagai komoditas industri wisata. Kehidupan masyarakat Dayak meliputi bentuk fisik perkampungan, upacara adat baik, juga pola kehidupan telah menjadi objek industri wisata, yang dalam even tertentu ditampilkan dalam festival Erau.

Tak pelak, hal termaksud juga memiliki pengaruh pada kehidupan budaya, di mana mereka tak lagi menjadi “pemilik” budaya leluhur, melainkan menjadi “pedagang” sekaligus “buruh” yang dikendalikan oleh kepentingan pihak luar (Kesultanan, Pemerintah Kabupaten dan Investor) berbungkus kapitalisme industri wisata.

Terdapat kecenderungan yang terus menguat, masyarakat adat Dayak “kecanduan” merupiahkan berbagai adat mereka yang bersumber dari sistem religi, hanya sekadar memenuhi kepentingan industri kebudayaan. Padahal, budaya uang justru tidak menguntungkan bila ditinjau dari tiga aspek, yaitu (1) seberapa jauh manfaat ekonomi yang dinikmati masyarakat adat, (2) seberapa jauh manfaat sosial industri wisata itu terhadap masyarakat adat, (3) berapa biaya sosial yang mesti dipikul oleh masyarakat adat.

Di sisi lain, praktek di mana sistem religi dilacurkan sebagai komoditas industri wisata, justru menjadi faktor penyebab melemahnya kelembagaan adat. Sesungguhnya, masyarakat Dayak mengenal siklus waktu tertentu, sebagai aturan yang menetapkan kapan boleh dan tidaknya suatu adat dilaksanakan. Namun, realita yang terjadi, komunitas Dayak tidak memiliki posisi tawar ketika berhadapan dengan kepentingan Rezim Penguasa. Maka tidak saja terjadi pemudaran makna sistem religi, melainkan juga terpasungnya kekuasaan kelembagaan adat.

 

Perlawanan Kultural

 

Riwayat perlawanan kultural orang Dayak kepada Kesultanan Kutai dapat ditelusuri dari kisah empirik orang Dayak Umaq Telivaq di Matalibaq, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Kutai Barat. Sejatinya berasal dari daerah Apo Kayan (kini Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Malinau). Ketika mereka memulai pengembaraan, mereka menemukan wilayah yang cukup subur dan cocok untuk didiami. Wilayah itu terletak di sepanjang sungai Pali, yang diklaim sebagai wilayah kekuasaan Sultan Kutai.

Maka mereka meminta izin kepada Sultan Kutai di Tenggarong. Oleh Sultan Kutai, permintaan izin untuk menempati daerah di sepanjang sungai Pali dapat disetujui dengan dua syarat. Pertama, daerah tersebut harus dibeli sebagai bukti kesanggupan, bahwa memang ingin tinggal di wilayah tersebut, syarat kedua, seluruh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut harus tunduk kepada Sultan Kutai dan membayar upeti setiap tahun, yang lazim disebut dengan Bakah Serah.

Kedua persyaratan tersebut disetujui. Sebagai bukti jual beli, pihak masyarakat waktu itu sepakat menyerahkan salah seorang keturunan Hipui yang bernama Pariq kepada Sultan Kutai. Dan sebagai imbalannya Sultan Kutai pun mengizinkan masyarakat untuk menguasai dan menempati daerah di sepanjang aliran sungai Pali.

Sebelum diserahkan pada Sultan Kutai, sebelumnya Pariq telah membuat lalaq atau sumpah kepada masyarakat setempat. Sumpah itu berbunyi, “Ngeledung alo maring keloq haman pudai man tana Pariq, sebab akui uh jadi tapo bilah Hipui Tenggarung”. Sumpah itu bermakna demikian “Kalau antan itu bertunas barulah kalian boleh pindah dari Tanah Pali, sebab aku sudah kalian berikan untuk tumbal Raja Kutai di Tenggarong.

Atas dasar peristiwa dan sumpah itu, maka akhirnya nama sungai Pali diubah menjadi sungai Pariq sesuai dengan nama salah seorang anggota mereka yang diserahkan kepada Sultan Kutai. Berdasarkan sumpah itu pula, sejak awal perpindahan mereka ke sungai Pariq hingga terbentuknya kampung Matalibaq, mereka tidak berani pindah tempat.

Dalam peristiwa selanjutnya, orang Dayak Umaq Telivaq tidak lagi memberikan Bakah Serah kepada Sultan Kutai, sebagai wujud perlawanan mereka terhadap tindakan semena-mena Sultan Kutai dalam penarikan pajak penghasilan kepada orang Dayak yang bermukim di sungai Pariq. Dengan perlawanan itu, maka orang Dayak Umaq Telivaq juga tidak lagi terlibat dalam festival Erau di zaman Kesultanan Kutai.

Matinya Erau

Ketika era Otonomi Daerah bergulir, muncul gagasan menghidupkan kembali Kesultanan Kutai. Dalam upaya itu, Bupati Kutai Kartenegara, Syaukani H.R bersama putra mahkota Kesultanan Kutai, Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat, pada 7 November 2000 menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid. Ternyata Presiden menyetujui dikembalikannya Istana Kesultanan Kutai (Museum Mulawarman) kepada keturunan Sultan Kutai. Selanjutnya, Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat yang berusia 78 tahun dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartenegara, pada 22 September 2001 bergelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II.

Kemudian bertepatan dengan Festival Erau dan Festival Keraton Nusantara III, 20-30 September 2002, dilakukan penobatan putra mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, yakni putra sulung Sultan Aji Muhammad Salehuddin II, yakni Aji Pangeran Arifin dengan gelar Aji Pangeran Adipati Surya Adiningrat.

“Zaman dulu, masyarakat Kutai di pedalaman pun tunduk kepada kepala adat. Kepala adat tunduk pada sultan”, ujar Aji Pangeran Arifin kepada wartawan majalah Gatra. Maka ia tak mau kesultanan hanya sekedar simbol. Dan berdasarkan amanat Kitab Panji Selaten dan Braja Niti, maka Kesultanan Kutai Kartanegara mulai membuat organisasi baru yang akan menghidupkan kembali entitas kekuasaan zaman silam.

Pada kesempatan itu, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menyerahkan kembali Istana Kutai kepada Sultan Salehuddin II. Dan oleh Pemkab Kutai Kartanegara, Sultan juga diberi wewenang membentuk Lembaga Adat Kesultanan. Biaya pengelolaan Kesultanan Kutai disubsidi Pemkab Kutai sebesar Rp. 3 milyar setahun. Selain itu, Pemkab Kutai Kartanegara juga membiayai pembangunan istana baru Kedaton Kesultanan Kutai Kartenaga dengan ongkos sebesar Rp. 6 milyar yang diambil dari dana APBD.

Sejatinya, fenomena kerinduan kepada kerajaan, merupakan sebuah entitas politik yang mereprersentasikan kekuasaan absolut dan feodalistis. Kerinduan itu mencerminkan indikasi kemerosotan kepercayaan pada identitas kepemimpinan sentralistik dan monolitik kekuasaan birokrasi negara.

Pada sisi lain, menguatnya kerinduan dan romantisme pada kejayaan zaman Kesultanan, sesungguhnya cermin kerumitan pencarian identitas daerah pada masa Otonomi Daerah. Karena identitas historis orang Kutai adalah Kesultanan, maka pilihan yang strategis bagi mereka adalah menghidupkan kembali entitas kejayaan Kesultanan Kutai.

Pelaksanaan Festival Erau sejak era Orde Baru niscaya identik dengan peran kekuasaan Birokrasi, terutama dalam hal pendanaan. Kondisi itu kian menguat sejak era Otonomi Daerah, terutama pada zaman H.R. Syaukani sebagai Bupati Kutai Kartenagara yang mengalokasikan pendanaan Erau melalui APBD Kabupaten, seiring dengan upaya menghidupkan kembali kejayaan Kesultanan Kutai.

Tidak dilaksanakannya Festival Erau sejak tahun 2004, tak terlepas dari persoalan politik di Kabupaten Kutai Kartagera. Terutama sejak, Bupati Kutai Kartanegara, HR. Syaukani, ditahan di Jakarta sejak tahun 2006 karena tersangkut kasus korupsi pembangunan Bandara Loa Kulu, sebesar Rp. 15 Milyar. Proses peradilan masih berlangsung hingga saat ini. Maka mustahil Festival Erau dilaksanakan, karena dukungan kekuasaan Birokrasi (Pemkab Kutai Kartanegara) telah lumpuh.

Sejatinya tidak lagi dilaksanakan Festival Erau, musti dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari kekuasaan politik absolut Kesultanan dan Pemerintahan, yang memberikan peluang demokratisasi dan egalitarianissasi pada dinamika peradaban.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian