Kisah Tiga Perempuan Korban Perdagangan di Lubuk Linggau
admin | 26 - May - 2008Oleh Desantara / Nur Aflahatun
Mawar (18 th), Melati (22 th), dan Dahlia (28 th) –bukan nama asli– asal Cirebon, tak pernah membayangkan sebelumnya jika mereka akan menjadi korban perdagangan perempuan. Dengan mudah mereka terbujuk rayu oleh calo yang baru mereka kenal. Tanpa menaruh rasa curiga, ketiga perempuan ini langsung percaya kalau mereka akan dipekerjakan sebagai pelayan sebuah kafe di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.
Dua calo tersebut semula berlagak baik. Mereka suka memberi pinjaman uang. Kemudian, mereka diiming-iming uang 1 juta rupiah. Mereka pun langsung tergiur. “Ketika kami dikasih uang, kami disuruh belanja untuk membeli baju dan kosmetik. Setelah selesai, kami langsung berangkat dengan menggunakan bus dan diantar oleh laki-laki yang baru kami kenal,” kata Dahlia. Mereka bertiga berangkat pada tanggal 29 Mei 2007.
Sesampai di Lubuk Linggau, mereka langsung dipaksa menandatangani surat perjanjian kerja. “Kami kaget ketika baca isi kontrak tersebut, ternyata kami akan dijadikan PSK (Pekerja Seks Komersial), bukan pelayan kafe seperti yang dijanjikan sebelum berangkat,” ujar ibu dari satu anak itu.
Awalnya, mereka menolak, tapi sang bodyguard yang bertubuh kekar dan bermuka sangar memukuli mereka. Akhirnya, ketiganya pun menandatangai surat tersebut. “Kami ditempatkan di sebuah lokalisasi. Tanpa istirahat terlebih dahulu, kami langsung disuruh kerja. Kalo kami menolak, kami akan dipukul dan ditendang,” kenang sedih Dahlia yang bercerai dengan suaminya sebelum berangkat.
Dalam sehari, mereka disuruh melayani 8-10 laki-laki, dan tidak boleh keluar kamar. Bodyguard selalu berjaga-jaga di luar kamar mereka. Yang paling mengenaskan adalah Melati. Karena masih perawan, ia sampai mengalami pendarahan. “Kami hanya dikasih makan 1 hari sekali. Setelah laki-laki itu puas menikmati tubuh kami, mereka langsung pergi tersenyum puas. Kami tidak pernah dikasih bayaran, karena laki-laki yang datang langsung membayarnya ke germo,” sambungnya.
Kehidupan di lokalisasi itu dijalani selama sepuluh hari. Beruntung, pada suatu hari Dahlia berhasil menghubungi keluarganya via handphone dengan sembunyi-sembunyi di kamar mandi. Keluarga korban langsung lapor ke polisi. Polisi bekerjasama dengan salah satu LSM langsung menjemput korban dan menangkap calo yang tinggal di Cirebon. Tetapi, ketika polisi sedang dalam perjalanan menuju Lubuk Linggau, informasi itu bocor. Akibatnya, ketiga korban langsung diusir oleh germo.
“Kami diusir dengan sangat kasar, ditampar, dipukul, dan ditendang. Kami segera pergi dengan bus ke arah Tebing Tinggi. Sesampainya disana, kami turun di salah satu warung makan. Kami istirahat dan terus berkomunikasi dengan polisi yang akan menjemput kami. Untungnya, pemilik warung sangat baik, mereka memberi tumpangan sampai polisi datang,” kenang Dahlia.
Akhirnya, ketiganya dibawa pulang oleh polisi dan bisa bertemu kembali dengan keluarganya di Cirebon pada tanggal 12 Juni 2007. “Kami bersyukur bisa berkumpul lagi dengan keluarga,” tutur Dahlia sambil tersenyum.
Nasib ketiga perempuan ini lebih beruntung dibandingkan dengan ratusan perempuan lain yang masih tertahan di lokalisasi tersebut. “Mereka diperlakukan seperti budak dan terus dipaksa melayani laki-laki siang dan malam. Kami lebih beruntung”, ungkap Dahlia. Bahkan setelah kejadian naas tersebut, kasus Dahlia, Mawar, dan Melati diproses di Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon, meskipun terkatung-katung sampai melewati tujuh kali persidangan.
Mawar, Melati dan Dahlia adalah gadis lulusan SLTP. Mawar sejak kecil anak yatim. Ibunya berjualan sayur keliling kampung. Ia menikah dengan mantan kekasihnya yang menganggur, tapi dijadikan istri kedua. Melati adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai tukang becak, namun dua bulan yang lalu ditabrak mobil hingga kakinya retak. Dahlia, anak ke-3 dari 10 bersaudara, ayahnya adalah tukang las. Dahlia menikah ketika berusia 16 tahun. Dia memiliki seorang putri yang kini berusia 12 tahun. Ia bercerai dengan suaminya ketika anaknya berusia 6 tahun.
Tweet
« Kami Takut Jika Satu Saat Nanti Kami Diserang Lagi
Tulisan sesudahnya:
Mempertimbangkan Politik Multikultural »
Pencarian
Kategori Berita ID
- Komunitas Lokal, Krisis Ekologis dan Budaya : Sebuah Diskusi Awal
- Bermufakat Melawan Perusak Lingkungan
- LP USU – Desantara Foundation gelar diskusi buku
- Dakwah Membawa Amarah
- Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural
- Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar
- Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten
- LOWONGAN PEKERJAAN: Staf Keuangan
- Susahnya Menjaga Kewarasan di Negeri ini
- Anarkisme Pembangunan di Atas Situs Benteng Somba Opu Makassar
- Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan
- Seni dan Gerakan Sosial
- Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong
- Penulis buku Bencana Industri merasakan adanya intimidasi
- Diskusi Tentang Film Perempuan Multikultural
Random Post
- Pancasila Ternodai di Hari Kelahirannya(0)
- Demo menolak RUU Antipornografi dan Pornoaksi bag. 4(0)
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak(0)
- Srinthil edisi 21 : Urban Sufism(0)
- Kerukunan dalam pandangan budayawan(0)
- Majalah Desantara Edisi 14/Tahun V/2005 : Beragam Agama, Satu Budaya(0)
- FPI Bandung Berjanji Tidak Akan Melakukan Kekerasan(1)
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas(0)
- Upacara Serentaon(0)
- Srinthil 07 : Perempuan dalam Ritual(0)
- Warisan dan Jalan Bahagia Tuan Baak(0)
- Kerudung Santet Gandung(0)
- Petisi Bersama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan(0)
- Pelatihan Menulis dan Penelitian Dasar Kualitatif(0)
- Pengakuan Hak-hak Perempuan dalam Perkawinan(0)