Srinthil edisi 21 : Urban Sufism
Download tidak tersedia
Pengalaman Perempuan. “Saya berpikir maka saya lelaki”. Rasio dan lelaki seperti pinang dibelah dua, serupa tapi tak sama. Itulah kira-kira semangat yang berkobar ketika zaman rasio dideklarasikan. Di Barat, masa itu adalah abad pencerahan (aufklarung/enlightenment). Bertolak dari rasio dunia digambar, dipetakan lalu dikelola. Pada suatu masa, ketika rasio memberontak sebagai “si malinkundang” terhadap agama, tiba-tiba saya teringat dengan film Hanung Bramantyo, “Sang Pencerah”. Ahmad Dahlan (versi Hanung) divisualisasikan sebagai sosok pemberontak terhadap agamanya “orang-orang tua” yang dipenuhi takhayul, khurafat dan bidah. Dengan caranya yang jenaka, Hanung menggambarkan sosok Dahlan yang usil mencuri sesaji milik penduduk setempat yang digeletakkan di depan pohon beringin. Saat tahu sesajinya hilang, si pemberi sesaji itu teriak, “waduh Pak, doa kita diterima”. Dahlan hadir sebagai sang pencerah.
“Jiwa muda” Dahlan semakin kelihatan ketika ia mempertontonkan kemahirannya menjelaskan doktrindoktrin Islam melalui cara berpikir anak sekolah Belanda waktu itu. Pesan Hanung adalah, agama tidak bertentangan dengan rasio. Jadi, gunakanlah akal/rasio dalam memeluk agamamu. Pada masa sesudahnya, semangat Ahmad Dahlan seperti dipetik kembali. Agama dituntut bisa memberi makna bagi apa yang kemudian disebut sebagai pembangunan, kemajuan. Di masa Orde Baru, Cak Nur (Nurcholish Madjid) menggelontorkan gagasan teologi pembangunan. Bagi Cak Nur, orang beragama itu sama dengan pro kemajuan, pro pembangunan….. (Muhammad Nurkhoiron)
Pencarian
Kategori Srinthil ID
- Srinthil edisi 24: Perempuan dalam Lingkaran Ritus Ziarah
- Srinthil edisi 23: Perempuan petani mengelola perubahan
- Srinthil edisi 22: Tuak Tradisi dan Perempuan
- Srinthil edisi 21 : Urban Sufism
- Srinthil edisi 20 : Perempuan di atas lumpur
- Srinthil Edisi 19: Gerak sosial perempuan miskin kota
- Srinthil 18 : Gerwani
- Srinthil 17 : Jilbab, Komodifikasi, dan Pergulatan Identitas Islam
- Srinthil 16 : Dilema Status Kewarganegaraan Perempuan Tionghoa Miskin
- Srinthil 15 : Jejak Negosiasi Perempuan Aceh
- Srinthil 14 : Balian Bawe : Keperkasaan Perempuan Mulai Tenggelam
- Srinthil 13 : Tandha’ : Jungkir Balik Kekuasaan Laki-laki Madura
- Srinthil 12 : Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi
- Srinthil 11: Perempuan dalam Layar Kaca
- Srinthil 10 : Perempuan dan Komodifikasi Seksualitas
Random Post
- Penjemputan Paksa Sang Tertuduh ‘Penoda Agama’(0)
- Warisan dan Jalan Bahagia Tuan Baak(0)
- Kiai Nyeni(0)
- Politik ‘Pangestu’ dalam Perilaku Elite Modal dan Lestarinya Piramida Sosial Sisa Warisan Kolonial(0)
- Warga Pengungsi Sampaikan Unek-uneknya di Tengah Panggung Ketoprak(0)
- Plesetan Lokalitas, Politik Pribumisasi Islam(0)
- Ritus Modernisasi : Aspek Sosial & simbolik Teater Rakyat Indonesia(0)
- Jejak-Jejak Perubahan Sosial dan Kesenian di Madura(0)
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai(0)
- Menyelamatkan Kebebasan Beragama Dari Pengaruh Mantra “Sesat”(1)
- Komunitas NU-AS: Islam-Barat Harus Saling Memperkaya(0)
- Kepemimpinan Lokal Kenapa harus Dicerca Primitif?(0)
- Bissu bagian 2(0)
- Srinthil edisi 21 : Urban Sufism(0)
- Kadam, Seniman Ludruk Harus Kreatif(0)