Mempertimbangkan Politik Multikultural
M. Nurkhoiron | 28 - May - 2008Di dalam masyarakat modern batas-batas politik (bahkan budaya) untuk mengidentifikasi satu sama lain dalam ruang lingkung imagined community (komunitas yang direkabayangkan) – meminjam istilah Ben Anderson adalah nation state (negara-bangsa). Dalam filsafat Barat bahkan imajinasi kita mengenai konsep ini dibawa kepada pengandaian Hegel yang melihat nation state sebagai pengejawantahan rational universal. Negara-bangsa yang dalam sejarah global selalu dicetuskan melalui nasionalisme, kata Ernest Gellner, adalah bentuk ideal dari semua bentuk-bentuk pengorganisasian lain, evolusinya memanfaatkan bentuk sebelumnya, mewarisi proliferasi beragam kebudayaan, meski lalu menggunakannya secara selektif, dan pada akhirnya merubahnya secara radikal.
Membayangkan negara seperti ini dengan mudah pandangan kita diarahkan kepada arah panah sejarah yang linear, tahapan-tahapan yang berpuncak kepada satu moment ideal. Padahal jika kita telisik ulang sejarah kelahiran dan dinamika internal nation state di beberapa tempat tidak menjurus kepada sejarah universal, tidak mengikuti alur evolusi linear sebagaimana bayangan Gellner di atas. Whose Imagined Community? Pertanyaan ini menggugah beberapa orang untuk melihat kembali hubungan-hubungan antara interioritas di dalam nation state dengan komponen-komponen lain (budaya, etnis, ras) yang kelak pada ujungnya terlindas oleh exclusionary politics (politik peminggiran) atas nama kemajuan dan pembangunan.
Imajinasi orde baru misalnya dengan menyatakan diri sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah pada akhirnya menggerus kebudayaan yang dinilai tidak seirama dengan gelegak “pembangunan” dan “kemajuan”. Ide kemajuan dan pembangunan ini ternyata sarat dengan nilai-nilai. Nilai yang dijadikan kacamata dalam melihat, memilih, dan menyeleksi kebudayaan yang hadir di masyarakat. “Desa yang tertinggal” harus dimajukan, “masyarakat yang terbelakang” harus dididik, begitu seterusnya.
Di Australia misalnya sebelum diterapkannya kebijakan multikultural tahun 1973 terkesan mengidentifikasi The Real Australian sebagai The White Australian. “Australians saw themselves, and were seen by others as part of group of new, transplanted, predominantly, Anglo-Saxon emigrant societies” (Masyarakat Australia melihat diri mereka sendiri, dan dilihat oleh masyarakat lain, sebagai bagian dari komunitas baru yang umumnya adalah hasil transplantasi masyarakat emigran Anglo-Saxon). Begitu kata R. White. White adalah salah satu dari beberapa orang yang mulai merasakan ekstremisme politik liberal. Ideologi liberal yang menonjolkan prinsip individualisme ternyata menujuruskan ideologi berpihak kepada ras tertentu. Gagasan individualisme liberal juga secara epistemologis memiliki beberapa kelemahan, terutama cara bagaimana melihat kehidupan manusia. Liberalisme sama sekali menyesampingkan arti penting kebudayaan — dalam sudut pandang antropolog, dengan memperlakukannya semata sebagai masalah privat.
Paska perang dunia II, gelombang migrasi dari satu negara ke negara lain seperti jamur di musim hujan. Disamping masalah-masalah ekonomi dan keamanan, sebuah negara yang kebanjiran kaum migran ini tidak mampu menjawab soal “keragaman identitas” yang mulai menyeruak sebagai persoalan publik. Para migran itu sebagian tidak dapat berasimilasi dengan sistem budaya baru, mereka membangun kantong-kantong demi memenuhi hasrat sesama ikatan budaya. Tuntutan self determination oleh kaum migran supaya menjadi politik dalam negeri. (penentuan diri) yang sebelumnya selalu disuarakan negara Barat untuk kebijakan luar negeri digemakan kembali
Di Indonesia, persoalan transmigrasi yang mengangkut sejumlah besar orang-orang Jawa, Madura dan Bali ke wilayah-wilayah luar Jawa sebetulnya juga merasakan suasana sebagaimana kaum migran di negara-negara Barat. Politik asimilasi tidak mampu mengobati “kerinduan” kaum migran untuk tetap membangun solidaritas kultural sebagai medium kebersamaan mereka. Apalagi kelompok-kelompok yang lebih lama bermukim di suatu tempat (indigenous people) yang berumur ratusan tahun, tentu memiliki sejumlah keberatan ketika ikatan komunal mereka sirna seketika hanya karena memenuhi hasrat negara yang “kelewat rasional” dalam menggelar proyek pembangunan.
Pengalaman penulis selama menjalani perjalanan ke beberapa wilayah transmigrasi di Sulawesi Tengah agaknya juga merasakan situasi yang sama. Di sepanjang kota Sausu sampai menjelang kota Poso Sulawesi Tengah suasan Bali nampak mencolok mewarnai kehidupan di sini. Ikatan mereka, solidaritas dan ritual Hindu-Bali seperti sebuah aura yang hidup yang menjadikan kebersamaan mereka tak pernah mati ditelan zaman. Justru dengan identitas seperti ini, urusan teknis, administatif yang berhubungan dengan pengelolaan kehidupan bersama mereka itu tidak menjadi soal yang mengkhawatirkan. Begitupun dalam urusan dengan desa lain yang berbeda budaya dan agama.
Berbeda suasananya dengan yang jaraknya sekitar 100 km dari Sausu. Trauma konflik masih begitu mencemaskan. Diberkahi dengan tingkat heterogenitas dalam soal agama, budaya dan etnis, Poso nampaknya masih perlu belajar bagaimana mengelola konflik dan mengelola soal kemasyarkatan dalam masyarkat yang heterogen: Sesuatu yang hampir nihil, dan tak pernah dipelajari semasa Orde Baru.
Dalam konteks semacam inilah kita perlu menengok pandangan Bikhu Parekh yang begitu berharga. Ia misalnya mengimajinasikan bahwa individu dan budaya sebetulnya adalah dua sisi mata uang. Menurut Parekh, keberadaan individu sejak awal terikat secara budaya (culturally embedded). Dengan makna lain individu (kehidupan manusia) tumbuh dan hidup di dalam dunia yang terstruktur secara budaya (culturally structured world) dan ia mengorganisasikan kehidupan dan relasi sosialnya berkenaan dengan sistem makna dan sistem kebermaknaan yang diderivasi secara kultural. Kedua, budaya-budaya yang berbeda menunjukkan sistem keberbedaan makna dan visi mengenai kebaikan yang disepakati bersama (good life). Ketiga, setiap budaya pada dasarnya secara internal bersifat plural dan mencerminkan suatu percakapan antara keberbedaan tradisinya dengan pandangan pemikirannya.
Jika pendapat ini diterima, maka keberbedaan kultural mesti diterima, dan dikelola dalam masyarakat yang menghormati pluralitas hukum. Di samping tersedia hukum nasional, di mana masing-masing orang diperlakukan sama dihadapan hukum, kelompok-kelompok yang sudah memiliki hukum adat (hukum setempat) juga perlu diberi tempat. Pendapat ini boleh jadi terkesan romatis, karena memperlakukan secara khusus orang-orang yang selama ini memiliki budaya dan adat yang sudah lama usianya – jauh lebih lama dari usia nation state Indonesia itu sendiri. Namun sebetulnya yang hendak dicapai dari pendapat Bikhu Parekh itu adalah perlunya menempatkan “keberbedaan” dalam status identitas bersama sebagai keniscayaan dalam membangun demokrasi. Bila demokrasi dalam gelombang pertama hanya menempatkan penghargaan kepada keberbedaan individu-individu, maka dalam demokrasi dengan nafas baru ini adalah keberbedaan dalam hal identitas kolektif.
Politik multikultural sebagaimana digemakan sampai kini di negara Eropa adalah suatu upaya untuk mencapai itu. Prosesnya memang tidak mudah. Disamping komunalisme bukan barang netral yang harus kita bela, watak-watak komunal dapat menjadi energi negatif bila tidak segera direvitalisasi dengan gagasan-gagasan HAM. Sebaliknya, gagasan-gagasan HAM dan ide pluralisme itu sendiri perlu direinterpretasi terutama dalam hal kesesuaiannya dengan fenomena munculnya gelombang identitas: agama, ras, budaya, transeksual yang kini muncul mewarnai wajah dunia di era millenium. Di Indonesia sendiri kita mendapatkan kenyataan adanya keragaman budaya dan identitas itu: Cikoang, Komunitas Bissue, Kajang, dari Sulawesi Selatan, Suku Wana di Sulawesi Tengah, Dayak Meratus, Masyarakat Parmalim di Sumatera Utara, dan masih banya lagi yang tidak dapat ditulis satu per satu di sini. Mereka semua sambil membela ikatan komunalitasnya masing-masing tentu masih harus memperjuangkan posisinya di tengah konteks yang semakin berubah.
Oleh karena itu, jika kita bisa menerima ide multikultural untuk Indonesia, setidaknya pertama-tama kita perlu menghindari dua jebakan ekstremisme sekaligus, yakni dari ekstremisme liberal maupun (apalagi) ekstremisme komunal. Desantara / M. Nurkhoiron
Tweet
« Kisah Tiga Perempuan Korban Perdagangan di Lubuk Linggau
Tulisan sesudahnya:
Beasiswa Pelatihan Jurnalisme Perempuan Multikultural 2008 »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Cahaya TV, Belum Tayang Sudah Dilarang(0)
- Dilema Multikulturalisme di Makassar(0)
- Feminisasi Kemiskinan(0)
- Jidat Yang Hitam Bukan Menjadi Ukuran(0)
- Richard Hoggart(0)
- Pelatihan Penelitian Sosio-legal di STH Galunggung, Tasikmalaya(0)
- Mempertimbangkan Politik Multikultural(0)
- Maulid Hijau Difatwa Sesat, MUI Digugat Warga(0)
- Intervensi Negara terhadap Kebudayaan Menghancurkan Padang Mandar(0)
- Berkesenian dalam Bahstul Masail NU(0)
- Menkeu Bicara Kriteria Sistemik(0)
- Video Upacara Seren Taun di Cigugur, Kuningan bagian 1(0)
- Nirvana, Bukan Hanya Dirimu(0)
- A Brief History of Desantara Foundation(0)
- Dedi: Apa Sih Maunya Negara?(0)