Advokasi Berbasis Pemantauan

admin | 21 - Apr - 2008

“Ada satu sentilan seperti yang dilontarkan Kompas, soal budaya tentang detail, orang Indonesia tidak suka detail,” ungkapan ini dilontarkan oleh Suryadi Radjab, Koordinator Streering Comitte Jaringan Kerja kebebasan beragama dalam pembukaan Pelatihan Monitoring dan Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Jawa Barat.

Berpegang dari pengalaman itu, strategi pun diubah. Tidak langsung diarahkan ke sasaran, tetapi advokasi didasarkan atas pemantauan.

Dengan strategi ini, data menjadi kuat dan akurat. “Dengan data kuat, dengan sendirinya, data bisa mengungkap yang terjadi. Jadi, datalah yang menentukan advokasi,” papar Suryadi yang juga Sekretaris Badan Pengurus Nasional PBHI ini.

Acara yang berlangsung di hotel Puri Cipaganti ini, berlangsung dari tanggal 4 sampai 13 november 2007. Selama sepuluh hari, pemantau tidak hanya dibekali dengan instrumen-instrumen HAM, tetapi juga cara melakukan pemantauan, cara menginvestigasi, sampai membuat bangunan peristiwa dan memasukkan dalam human right document yang biasa disingkat Huridoc.

Jaringan kerja sendiri, terdiri dari PBHI Bandung, GKP, Fahmina, LBH bandung, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah dan Desantara.

Mulanya, pada tahun 2006, jaringan ini hanya tiga lembaga; PBHI, GKP dan Fahmina. Saat itu, tiga lembaga ini memiliki keprihatinan yang sama, setidaknya banyaknya kasus pelanggaran HAM di tahun 2005. Di tahun itu pula, PBHI dengan GKP malah sudah memulai ancang-ancang. Lalu, dari keprihatinan ini, ketiga lembaga itu mulai menjajaki adanya jaringan.

Di Awal 2007, mereka mulai mengadakan workshop penyusunan statuta. Dari workshop ini, terbentuklah jaringan kerja alias Jaker. Dari workshop, kesepakatan tidak lagi sekadar lisan, “Karena, kalau tidak tertulis, ingatan bisa ke mana-mana,” kata Suryadi.

Dari workshop, kemudian dibuat satu rumusan tertulis, yang dinamakan Statuta Jaringan Kerja untuk melakukan pemantauan, mengadvokasi kebebasan beragama atau berkeyakinan. Semua jaringan, sepakat menggunakan perundangan tentang human right, khususnya pasal 12. “Karena inilah yang bisa menyatukan kami, jadi tidak perlu lagi pertanyaan apa ajaran anda dan pluralisme. Itu sudah selesai,” lanjut Cik Sur, sapaan akrabnya.

Berikutnya, lembaga ini bertambah dengan mengikutkan Jaringan Intelektual Muhammadiyah dan Desantara.

Untuk memantapkan hasil, disusunlah skema. Salah satunya adalah melakukan penguatan kapasitas bagi para pemantau. Maka dirumuskanlah pelatihan sepuluh hari itu. Sepuluh hari, tentu bukan waktu yang singkat. Perasaan jenuh pun dikhawatirkan peserta sejak awal. Untunglah, perasaan itu tak muncul. Bahkan, hingga palu penutupan diketuk, rasa-rasanya masih belum ikhlas para peserta untuk segera hengkang.

Hasil dari pelatihan ini, pemantau tidak hanya melihat dari hak kebebasan berserikat, tapi harus lebih dilihat dalam kerangka agamanya. “Bahwa setiap hak saling terkait, tapi kebebasan beragama inilah yang mau kita pantau dan kita peroleh data sebagai rujukan,” kata Rosyidin, koordinator Advokasi Jaker.

Sebuah kerja yang tidak ringan. Lihat saja, akhir-akhir ini, pelabelan ‘sesat’ sepertinya sedang menjadi trend. Menjadi semakin masif dengan dikeluarkannya 10 (sepuluh) kriteria sesat yang dikeluarkan oleh MUI sebagaimana hasil rekomendasi Munas MUI 2007. Kriteria macam begini, tentu menjadi ancaman serius bagi kaum minoritas yang memiliki agama atau kepercayaan yang tidak masuk dalam daftar resmi agama versi negara.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian