Pluralisme Itu Rancangan Tuhan

admin | 2 - May - 2008

Banyak orang yang masuk pesantren atau madrasah untuk menempuh jenjang pendidikan. Setelah bertahun-tahun belajar, santri itupun keluar dengan gelar “mantan pesantren” lalu mereka terjun ke masyarakat. Maka kita lalu mengenal Hasyim Muzadi, Ahmad Shiddiq, Idham Khalid, Sahal Mahfuz, Gus Dur, dan Nurcholis Madjid. Ada juga aktor seperti Imam Samudra yang berperan dalam peledakan bom. Kenapa bisa begitu? Kalau kita perhatikan, orang-orang seperti Hasyim Muzadi, Gus Dur, Imam Samudra, dan lain-lain itu berasal dari pesantren mana? Kenapa pesantren melahirkan alumni yang berbeda-beda?

Hal ini mungkin disebabkan kurikulum yang dipakai. Para santri memang belajar pelajaran yang sama seperti Qawaid, Fiqh, dan lain-lain, tetapi masing-masing pesantren menerapkan kurikulum yang berbeda dengan pesantren yang lain. Perbedaan kurikulum menyebabkan output yang dihasilkan pun berbeda-beda. Ada alumni yang berpikiran inklusif-terbuka, ada juga yang eksklusif-tertutup. Islam yang inklusif membuka pintu dialog dan menyerap semua proses kebenaran, sedangkan Islam eksklusif menutup semua pintu dan jendela terjadinya proses seperti itu. Karena menganggap apa yang ada dalam rumahnya seratus persen benar, dan menjaga agar semua itu tidak kena pengaruh luar. Kurikulum adalah hal yang penting karena dia menentukan orang yang kita didik, apakah ia akan menjadi Imam Samudra atau menjadi pemikir seperti Nurcholis Madjid. Kalau Amrozi menjadi pemimpin, semua perempuan wajib berjilbab. Bukan saja pegawai daerah, tetapi orang yang pergi ke pasar pun harus memakai jilbab. Laki-laki akan disuruh berkopiah. Karena jilbab dan kopiah itu Islam, dengan demikian akan ada warga kelas dua. Konsep dzimmi dan aturan-aturan jizyah akan diberlakukan.

Memang susah kalau pemahaman keislaman kita tidak inklusif. Ketika kita bertemu atau berdiskusi dengan orang-orang yang punya gagasan tentang perbedaan dan kebebasan berpendapat, yang kerap muncul dari kalangan eksklusif biasanya permintaan “istighfar” kepada kelompok inklusif. Padahal kelompok liberal tidak pernah meminta kelompok radikal untuk bertobat. Yang bebas berpikir tidak pernah meminta yang ekstrem bertobat.

Pluralisme sudah lama kita wacanakan sebagai salah satu ajaran penting dalam Islam. Alquran mengajarkan pluralisme. Artinya pluralisme itu rancangan Tuhan. Mengambil sikap yang tidak sejalan dengan itu berarti melawan ayat-ayat Alquran. Alquran mengatakan fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebajikan, kemudian ada ayat la ikraha fi al-din, tidak ada paksaan dalam beragama. Kalau tidak salah ada 3 versi asbabun nuzul-nya. Versi pertama menceritakan seorang perempuan yang kalau melahirkan, anaknya selalu meninggal. Sehingga dia bernazar, “kalau anak saya hidup saya akan menjadikannya Yahudi”. Maka ketika lahir, anaknya menjadi Yahudi. Pada saat Islam berkembang di Madinah dan kemudianYahudi diusir oleh Muhammad karena berkhianat, orang tua kaum Anshar melarang anaknya bergaul dengan anak-anak Yahudi. Lalu turun ayat yang menegaskan bahwa ‘sikap itu tidak benar’. Asbabun nuzul lain menceritakan seorang sahabat nabi yang bernama Husain. Dia mempunyai dua anak, anak ini masih muda lalu bergaul dengan pedagang-pedagang dari Syam yang beragama Nasrani, kemudian anak ini menjadi Nasrani. Ketika mereka pulang, orang tuanya kaget karena mereka orang Anshar dan beragama Islam. Dia pun membujuk anak-anaknya untuk masuk agama Muhammad, tapi anak ini tidak mau. Lalu orang tua ini melapor kepada Rasulullah, “bolehkah saya memaksa anak-anak saya memeluk agama Islam sebelum dia pulang ke Syam?” Lalu turunlah ayat ‘Bahwa yang demikian itu tidak benar’. Versi lain juga tentang Husain. Diceritakan di situ bahwa anak itu pergi berdagang, lalu orangtuanya melapor pada Rasulullah. Rasul memerintahkan, “lacak dia! buru dia!”. Di tengah jalan turun ayat la ikraha fi al-din, jadi sikap nabi juga salah, dan perlu dikoreksi.

Semua nabi mengajarkan sembayang. Nabi musa mengajarkan sembayang. Nabi Isa mengajarkan sembahyang. Tapi jangan kira sembayang Nabi Musa dan Nabi Isa sama dengan sembahyang yang diajarkan Nabi Muhammad. Jadi, semua itu sah sebagai syariat. Jangan berpikir ‘semua dunia nanti sembayang seperti kita’. Semua agama itu benar. Tidak ada satu pun ayat Alquran yang mengatakan bahwa agama-agama sebelum Islam itu batal. Bapak Ishak Ngeljaratan, dosen Unhas yang juga kolumnis yang beragama Nasrani pernah mengatakan, “logis kalau Alquran itu isinya lebih banyak daripada kitab-kitab sebelumnya karena Tuhan mengambil pengalaman dari kitab-kitab sebelumnya”, artinya ada evaluasi. Ini adalah sebuah pengakuan dan tidak berarti membatalkan kitab-kitab sebelumnya.

Menggiring semua orang supaya merujuk kepada Alquran adalah pekerjaan raksasa, sementara kita terganggu oleh fenomena-fenomena seperti Amrozi. Islam sudah ada sebelum Nabi Muhammad. Pemikir-pemikir Barat menemukan bahwa Islam itu artinya adalah memasrahkan dan menyerahkan diri kepada Tuhan, jadi kalau ada orang yang menyerahkan diri pada Tuhan, menurut Alquran, dia adalah Islam. Kita mengartikan din sebagai ketundukan dan ketaatan. Kalau ayat itu kita terjemahkan dalam bahasa kita –bukan dalam bahasa terjemahan Depag– artinya adalah siapa yang mencari ketundukan dan ketaatan selain model memasrahkan diri kepada-Nya pasti ditolak. Tidak ada satu pun ayat Alquran yang membatalkan agama-agama sebelumnya, bahkan dijelaskan dalam Alquran bahwa ada hudan dan nur dalam kitab-kitab sebelumnya. Ini yang harus dijelaskan pada semua orang dan menjadi kurikulum pendidikan di pesantren.

Trinitas ada sejak tiga ratus tahun sebelum Nabi lahir. Di antara para konsili gereja waktu itu timbul kegamangan, apakah orang yang dibunuh itu benar-benar Kristus. Tema pembahasan di konsili waktu itu adalah apakah Kristus memiliki unsur ketuhanan. Ada yang mengatakan ya; ada yang mengatakan 70% memiliki unsur ketuhanan; ada yang mengatakan bahwa 100% memiliki unsur ketuhanan, dan ada pendapat minoritas yang mengatakan bahwa Isa tidak memiliki unsur ketuhanan, dan sampai sekarang masih ada yang meyakini hal ini. Dr. Sumartono (alm) dari Yogya yang tidak menerima trinitas mengatakan, “sayangnya saya tidak punya gereja. Berbeda dengan Zakariah (rektor STT Timtim) yang punya gereja. Jadi dia tidak bisa bilang seperti saya”. Beginilah yang dialami oleh para kiai. Ayat-ayat yang inklusif tidak disampaikan oleh kiai karena takut kehilangan jamaah. Kiai-kiai tahu itu. Diskusi-diskusi seperti ini pasti tidak selesai.

Saya menerima draft RUU-KUB kira-kira pada masa awal bocornya draft itu. Lantas saya diundang ke STT untuk mendiskusikan hal itu. Saya ingat konsep itu sangat mentah. Dia menyebutkan bahwa kebebasan beragama dijamin, tetapi di pasal lain terdapat hambatan untuk adopsi anak angkat. Anak angkat itu nanti harus menganut agama sesuai dengan agama penduduk mayoritas di situ. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama karena agama anak tersebut kemudian ditentukan oleh negara. Jika negara mengatakan bahwa di situ penduduknya Kristen, anak yang diangkat ini pun harus beragama Kristen, dan seterusnya. Di ayat sebelumnya juga dikatakan bahwa anak angkat hanya bisa diasuh oleh orang tua yang seagama. Hal ini mengindikasikan bahwa orang yang membuat konsep ini hanya melihat bahwa persoalannya adalah persoalan agama bukan persoalan sosial, padahal anak angkat adalah persoalan sosial. Misalnya, ada anak terbengkalai di tengah masyarakat dan tidak terurus. Kalau anak-anak tersebut dipandang sebagai masalah sosial, orang lain agama juga silakan angkat karena kita ingin anak ini masa depannya baik. Menurut saya salah kalau anak hanya bisa diangkat oleh orang yang seagama. Kalau di kampung itu mayoritas penduduknya adalah orang Islam, tetapi mereka miskin-miskin dan anak-anak terlantar, apakah kita akan membiarkan anak itu terlantar. Tentu tidak. Menurut saya RUU KUB itu tidak perlu. Karena menurut saya yang perlu diatur adalah bagaimana agar orang yang kaya raya mensubsidi orang yang kurang mampu.

Saya sebenarnya takut bahwa keputusan agama akan menjadi keputusan politik. Lebih baik kita memikirkan bagaimana keluar dari krisis ekonomi. Saya mau bertanya, “apa yang mendasari hubungan kita dengan agama lain atau etnis lain yang berbeda dengan kita?” Kalau saya ditanya, saya akan menjawab bahwa dasar hubungan kita adalah trauma masa lalu, yaitu kecurigaan. Kecurigaan bisa bermacam-macam bentuknya. Misalnya, menganggap yang di sana itu melakukan ekspansi. Dalam agama dikatakan sebagai kristenisasi bagi orang Islam, dan islamisasi bagi orang Kristen, dan tuduhan yang mungkin tidak ada dasar serupa itu. Hal inilah yang menjadi pijakan hubungan antar-agama dan antar-etnis. Karena itu saya sering membaca Alquran berulang kali. Saya menggarisbawahi bahwa trauma masa lampau milik umat di masa lalu menjadi dasar hubungan umat di masa lampau juga, dan tidak boleh menjadi dasar hubungan kita sekarang ini dengan agama lain. Waktu itu trauma itu mungkin menjadi dasar karena geografi batasnya jelas. Sekarang tidak seperti itu. Amerika punya batas dan Indonesia punya batas pula, tapi itu hanya kesepakatan politis. Karena sudah banyak warga negara Amerika tapi dia bekerja sampai mati di Indonesia, demikian juga sebaliknya. KTP Indonesia, tapi hidup di Amerika, bekerja, beranak cucu sampai meninggal di sana.

Kecurigaan sudah bukan zamannya lagi. Di masa depan kita harus terbuka dan didasari oleh rahmat. Mungkin di kitab suci yang lain dikatakan didasari oleh damai atau kasih sayang. Bisakah hal itu kita wujudkan? Saya mengatakan: bisa. Kalau saya lihat Alquran, hal itu sangat mungkin untuk dilakukan. Peradaban di masa depan harus didasari oleh hal ini, dan kita sebenarnya bisa menjadi pionernya. [] Desantara



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian