“Saminisme” Petani, dan Hasrat Untuk Perubahan

M. Nurkhoiron | 19 - Mar - 2008

(Catatan dari Desa Bombong, Sukolilo Pati Jawa Tengah). Pagi itu saya menyaksikan suatu aksi demonstrasi petani. Tepatnya tanggal 19 Januari 2006 di alun-alun kabupaten Pati, Jawa Tengah. Ribuan petani dari berbagai kecamatan memenuhi lapangan alun-alun tengah kota. Tua, muda, perempuan ibu-ibu terlibat aksi massal dengan muka yang sangat antusias. Tidak ada provokasi “pihak ketiga” disana. Aksi ini digelar sebagai usaha sadar diri petani Pati menyikapi berbagai kondisi yang ada. Di tengah alun-alun itu juga dipasang panggung besar untuk memberi tempat bagi peserta yang ingin melakukan orasi. Suasananya begitu ramai, gaungnya terdengar dimana-mana. Sound system yang disediakan panitia ternyata tidak sekadar ditujukan untuk ajang orasi, tapi juga hiburan. Jauh sebelum acara dimulai panitia dari SPP (Serikat Petani Pati) telah mengontak Cak Nun (Emha Ainun Najib) untuk disertakan tampil menghibur gratis petani peserta aksi. Rupanya Cak Nun menyambut gembira.

Diantara petani peserta aksi itu tentu saja petani Sukolilo terlihat paling besar jumlahnya, dan nampak paling bersemangat. Secara bergelombang mereka memadati alun-alun Pati, merembet dari arah selatan, tidak kurang dari empat puluh truk penuh manusia. Mereka berduyun-duyun ke alun-alun kota sambil meneriakkan yel-yel “hidup petani!”. Ngardi, lurah desa Baturejo kecamatan Sukolilo sehari sebelum acara dimulai bahkan sudah berkeliling ke seluruh desanya. Sambil membawa mobil pribadinya, ia berkeliling melakukan woro-woro agar seluruh warganya terlibat aktif dengan aksi ini.

“Sedulur-sedulur ayo podho bebareng mangkat sesuk ning alun-alun. Nyuarakno petani sing saiki podho urip sengsoro. Pupuk longko, beras murah, petani tambah susah” (Saudara-saudara, mari kita pergi ke alu-alun besok. Menyuarakan nasib petani yang sekarang lagi sengsara. Pupuk langka di pasaran, beras murah, petani bertambah sengsara) . Fenomena ini mungkin terkesan tidak lazim. Di dalam kondisi desa yang semula dianggap “adem ayem”, tiba-tiba menggelegar suara penderitaan, dan ajakan untuk melakukan aksi bersama. Saya tertegun, bukankah yang selama ini selalu menjadi kelompok pasif adalah petani? Sudah habiskah masa kesabaran petani di Pati? Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah saya untuk terus mencari pengetahuan sejauh mungkin mengenai dinamika petani yang kini bergolak.

Perkenalan saya dengan kecamatan Sukolilo sendiri sudah berlangsung agak lama. Sekitar tahun 2002, saya mengunjungi kota ini berkenaan dengan keingintahuan bersua ke sedulur sikep (“Masyarakat Samin”). Tepatnya berkunjung ke rumah Gunretno, salah seorang pemuda sikep yang saya kenal waktu menghadiri acara workshop Desantara di Guyangan Pati. Nyaris selama hampir dua bulan sekali kunjungan saya ke Sukolilo terjadi agak intensif akhir-akhir ini. Percakapan dan perbincangan dengan beberapa orang disana menuai banyak pelajaran. Salah satunya adalah kisah perubahan-perubahan sosial dan politik yang banyak saya dengar dari mereka.

Sukolilo sendiri adalah salah satu kecamatan di Pati. Letaknya berada di arah selatan. Ia berbatasan dengan Purwodadi. Dibandingkan dengan kecamatan lain, Sukolilo dikenal lebih “abangan” – setidaknya jika kategori Geertz masih bisa dipakai untuk kepentingan ini. Di Pati tidak sulit menemukan kategori wong kidul (orang selatan), dengan wong lor (orang utara) untuk menunjuk perbedaan “sosiokultural”. Wong kidul biasanya diidentifikasi sebagai “kelompok abangan”. Sementara wong lor adalah kelompok Islam-santri. Dalam suasana hidup di desa Jawa seperti di Pati hubungan seperti ini bukan menjadi suatu ancaman serius. Ketegangan, saling “mencibir”, meledek adalah hal biasa. Desa-desa di Jawa dalam beberapa hal memiliki mekanisme untuk menjaga “keharmonisan” itu. Pergulatan diantara mereka hidup subur, menjadi bagian dari sejarah rakyat yang masih mereka minati sampai saat ini.

Misalnya di Pati kisah-kisah masa lalu yang kembali dihidupkan dalam kesenian rakyat masih populer sampai saat ini. Syeh Jangkung, legenda rakyat Pati yang hidup dalam masa kerajaan Islam Demak adalah sedikit dari beberapa cerita mengenai kontenstasi dan ketegangan mengenai suatu keyakinan dan keagamaan di wilayah Pati. Syeh Jangkung yang makanmya “dikeramatkan” di sekitar Pati ini konon adalah “anak haram” Sunan Bonang (salah satu tokoh wali sembilan) yang di kemudian hari berseteru dan menjadi tokoh antagonis di mata Sunan Bonang sendiri. Dalam salah satu kisahnya digambarkan mengenai suatu dialog yang panas dan berujung ke dalam perkelahian antara kuasa lokal yang ditokohkan Syeh Jangkung dengan “kuasa kerajaan Islam” yang direpresentasikan oleh Sunan Bonang. Mereka masing-masing menyatakan pendiriannya yang berbeda. Hidup dalam “perbedaan”(difference), yang dipraktikkan Syeh Jangkung ternyata merupakan ancaman sendiri bagi kuasa yang dibentangkan Islam Demak pada masa itu. Jadilah Syeh Jangkung tokoh subversib yang dianggap membahayakan stabilitas kerajaan. Ternyata cerita semacam Syek Jangkung ini tidak sendirian. Cerita-cerita lain dalam beberapa lakon ketoprak di Pati juga banyak menyiratkan suatu gambaran mengenai dialog dan kontestasi antara dua keyakinan, keagamaan yang saling berebut pengaruh.

Orang di Sukolilo yang berdekatan dengan Makam Syeh Jangkung adalah representasi dari seluruh imajinasi mengenai Syeh Jangkung; lokal, Jawa-abangan. Sementara di komunitas santri yang berada di Pati bagian Utara (Margoyoso) mengidentifikasi ketokohan mereka kepada Wali Songo. Tentu saja penggolongan ini agak semena-mena. Dibandingkan dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan, identitas Jawa-abanagn-santri nampak jauh lebih kompleks, cair dan tidak mudah untuk diseragamkan. Dalam suatu keluarga, percampuran abangan-Santri ini bahkan sudah biasa dijumpai dalam kehidupan di kota-kota kecil di Jawa. Pak Sutrisno (bukan nama sebenarnya), adalah salah satu keluarga yang nampak tidak pernah menganggap batas-batas liminal sebagai soal yang begitu merisaukan.

Sutrisno adalah penduduk asli desa Bakaran, desa di kecamatan Juwana Pati, yang konon merupakan desa paling genial di dalam melakukan gerakan kolektif-simbolik melakukan “perlawanan” terhadap kultur santri (Majalah Desantara, edisi 13; 2005). Anak pertama Sutrisno, sekolah di Universitas Muhammadiyah Malang. Baginya tidak ada persoalan serius menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah santri. Tapi, dia tetap saja anak bakaran. Pulang kuliah, ngombe”, katanya polos. Ngombe dalam tradisi desa seperti di Bakaran tentu saja adalah bahasa simbolik untuk merepresentasikan laku komunal, bersenda gurau, main kartu diselingi kehangatan minum beralkohol.

Di seputar perbincangan seperti ini jauh lebih baik kita menengok sejenak beberapa refleksi kritis yang banyak dibicarakan dalam rubrik cultural studies. Misalnya liminalitas merupakan praktik biasa yang dijalankan berbagai kelompok budaya di masyarakat, khususnya di Jawa. Liminal secara konseptual dapat dimaknai sebagai garis ambang batas antara dua wilayah kultural yang berbeda. Garis ambang batas ini sejujurnya adalah garis abu-abu, yang menunjuk kepada suatu kehidupan, atau praktik sosial tertentu yang tidak mudah diidentifikasi sebagai bagian dari satu identitas budaya tertentu. Dalam batas seorang Sutrisno yang abangan, posisi anaknya yang menerima segala kehidupan akademik di kampus Universitas Muhammadiyah jelas merupakan sikap untuk “meloncat” ke dalam ambang batas liminal itu. Di dalam masyarakat Jawa kondisi seperti ini nampaknya bukan sesuatu yang istimewa (Beaty, 1998).

Namun dalam beberapa peristiwa tertentu, fluiditas yang banyak ditampilkan oleh identititas dalam kultur Jawa bisa bergerak menyempit, dan lalu berubah menjadi suatu batas politis yang radikal. Tahun 1965 adalah fase dari kulminasi konflik yang melibatkan “konflik horisontal” itu. Curug, Wotan, Baleadi dan desa-desa sebelahnya pernah merasakan pahitnya konflik politik tersebut. Peristiwa 1965 telah menjadi momentum penting bagi kehidupan desa-desa tersebut. Pada masa-masa lalu, sebelum masa Orde Baru di pati bagian utara, konon partai NU bertengger sebagai partai terbesar, sementara di Pati bagian selatan adalah Partai Komunis Indonesia. Karena konflik politik ini, hubungan dan relasi antar budaya di Pati menjadi sesuatu yang mengancam.

Paska 1965 terjadi peralihan keagamaan secara besar-besaran. Mereka yang semula dituduh sebagai partisan PKI terpaksa memilih Islam sebagai agama mereka. Islamisasi atau dakwah oleh para kiai dan ustadz-ustadz desa berlangsung ramai. Kebanyakan penebar islamisasi ini dari wilayah Pati utara, atau setidaktidaknya alumni dari salah-satu pondok pesatren dari Pati utara. Dalam melakukan dakwahnya, mereka ini merasa mendapatkan amanah menyampaikan “misi suci” untuk menebar pesan-pesan Tuhan. Orang-orang PKI kini perlu disadarkan, giring menuju jalan “keagamaan”. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang “di PKI-kan” lebih memilih jalan damai. Mereka ramai-ramai masuk Islam sebagian karena kesadarannya, tapi tidak sedikit yang merasa tertekan kalau masih harus bertahan dengan sikapnya di masa lalu.

Paska 1965 itulah titik balik dalam kehidupan di Sukolilo. Persaingan mendapatkan pengikut dalam masa-masa pergolakan politik terhenti. Kehidupan berjalan dalam siklus stabilisasi yang dipaksakan. Kondisi seperti ini efektif dapat meredam berbagai gejolak yang ada. “Stabilisasi semu” ini nampaknya berlangsung begitu lama. Di dalam siklus kehidupan seperti inilah berbagai perubahan sosial terjadi di Sukolilo.

Di Sukolilo, pertanian masih bertahan sebagai basis perekonomian terpenting. Kelompok-kelompok usia produktif di Sukolilo memang sudah banyak pula yang mengadu nasib ke kota-kota besar dan negeri lain sebagai TKI, namun kondisi ini tetap belum merubah banyak kehidupan di Sukolilo yang masih mengandalkan basis perekonomiannya di sektor pertanian. Toh memilih sebagai petani tidak selalu menyenangkan. Nasib petani di Sukolilo dan dimanapun di Indonesia masih nampak mencemaskan. Mereka tergantung kepada pupuk dan teknologi sederhana yang sudah mereka gunakan selama puluhan tahun. Revolusi Hijau yang pernah digerakkan pemerintah hanya menyisakan ketergantungan perasaan “rendah diri” di kalangan petani. Nyaris tak ada kebanggaan yang tersisa mengadu nasib sebagai petani. Anak-anak yang mengenyam pendidikan lebih tinggi lebih banyak yang memilih pekerjaan lain daripada harus berbalut lumpur di terik mentari karena mengelola lahan pertanian mereka. Desantara / M. Nurkhoiron



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar