Suara dari Pinggiran Glodok

Futomo | 14 - Jul - 2008

Catatan pengamatan dan refleksi kultural etnis tionghoa di kawasan Pecinan pasar Glodok Jakarta Minggu siang yang cerah, mentari menyengat kulit dengan lengas. Aku tiba di stasiun Jakarta Kota sekitar jam satu siang, berjalan di tengah riuh rendah suara lokomotif dan pedagang asongan. Nampaknya pembangunan terowongan bawah tanah yang menghubungkan stasiun dan jalanan di seberang hampir usai. Selama itu belum rampung, hanya ada satu pintu masuk yang bisa digunakan mengakses stasiun dan loket penjualan tiket kereta, pintu yang lain belum bisa digunakan.

Konsentrasi massa di mulut pintu dan sepanjang jalan keluar stasiun, luar biasa padat. Rasanya hari libur menjadi waktu yang berharga untuk sekadar berjalan-jalan, membuang stres. Pertemuan dua arus perjalanan –orang yang akan masuk dan yang akan keluar stasiun– cukup memperlambat langkahku menuju kawasan pasar Glodok. Belum lagi pedagang kaki lima yang menawarkan dagangan yang terhampar di sela kaki pejalan, rasanya seperti berjalan di tempat. Bau comberan dan keringat bercampur menimbulkan aroma tak sedap. Aku memilih naik angkutan umum yang bergerak ke arah pasar Tanah Abang. Sebelumnya, sederet tukang ojek motor, ojek sepeda, dan bajaj melambaikan tangan menawarkan jasa, “Mangga Dua Bang!” seru mereka.

Selang beberapa menit kemudian, mungkin tak kurang dari 10 menit, angkot yang aku tumpangi berhenti di depan pasar Glodok, menyusul beberapa orang penumpang yang juga ikut turun. Di sebalah utara, pasar Glodok berbatasan dengan Kelurahan Tamansari, bagian selatan dengan Kelurahan Keagungan, bagian barat Kelurahan Tambora dan bagian timur dengan Kelurahan Mangga Besar. Di sepanjang jalan itu ojek motor begitu banyak, diparkir berjajar sampai menutup 1/3 jalan raya yang lebarnya tidak lebih dari 7 meter. Saat masuk ke lokasi pasar, lantai dasar, sejumlah pedagang CD seolah berlomba menawarkan tontonan bioskop yang bisa dinikmati langsung di dalam rumah. Itu pun kalau kita berminat dan bersedia untuk membeli kepingan CD mereka. Tentunya bukan hanya film-film layar lebar dan box office saja yang mereka tawarkan, ada juga film-film berlabel adult only dengan berbagai macam rating yang dijajakan secara terbuka.

Cukup lama kiranya aku berjalan memutari lantai dasar, diam-diam rasa haus mulai merayapi tenggorokan yang mulai terasa kering. Kuhisap rokok dalam-dalam sebelum memutuskan untuk naik ke lantai dua, berjalan menyusuri skywalk menuju bangunan pasar di seberang. Tas kecil berisi kamera yang menggantung di bahuku ternyata menarik perhatian beberapa orang di toko perlatan fotografi dan elektronik. “Boleh Bang, bisa tukar tambah!” ujar salah seorang penjaga toko itu. Karena aku tak berniat servis kamera, maka aku tak terlalu hiraukan tawaran mereka, aku segera melanjutkan langkah mengikuti rasa hausku mencari pedagang minuman segar.

Setelah menuruni anak tangga menuju pintu keluar lantai dasar, aku segera meneruskan perjalanan di sebuah gang yang terhubung langsung dengan jalan raya. Tak sampai 5 menit, kulihat sebuah warung yang nampak lengang, sepi pengunjung. Rasa haus membuatku tak lagi mempedulikan kondisi warung yang lebih mirip markas pemulung itu. Setelah masuk ke dalam, kulihat seorang pria paruh baya tertidur lelap di sebuah bangku panjang.

Tadinya aku hendak pergi, karena kupikir warung ini tidak lagi berjualan. Tak satu pun makanan terlihat terjajar, layaknya warung-warung kopi di tempat lain. Kompor minyak tanah itu juga terlihat usang dan berkarat, sudah lama tidak digunakan. Satu-satunya penanda bahwa tempat ini adalah sebuah warung yaitu sebuah gerobak roda dua, seukuran gerobak penjual nasi goreng, yang tergeletak sesaki ruangan berdinding seng ukuran 3X4 meter. Selain itu sebuah bangku panjang menyisakan kesan bahwa dulu Si empunya pernah melayani beberapa pengunjung yang makan, atau sekadar ngopi –kini menjadi tempat tidur siang pria tua itu. Di belakang gerobak ada sebuah bilik kecil, mirip sebuah tempat tidur, yang berhimpitan dengan sebuah gardu listrik. Ya, warung itu berada di luar lantai dasar pasar Glodok, tepatnya di sebuah lokasi bongkar-muat barang.

Pria tua itu tergegap. Ia beranjak dari tidurnya dan segera bertanya “mau pesan apa?” Awalnya aku ragu untuk memesan sesuatu yang bisa menawarkan dahaga, karena tak kulihat tanda-tanda aktivitas masak-memasak pernah dilakukan di tempat ini. Aku tak mau mengecewakannya lantaran sudah membangunkannya dari istirahat siang, dan menemukan pembeli yang urungkan niat untuk mampir ngopi. Akhirnya kupaksakan untuk memesan sesuatu, “bisa minta es teh?” Tepat seperti dugaanku, ia tidak menuju kompor untuk menyalakan api atau mencari sesuatu dari dalam biliknya, tetapi ia segera bergegas keluar warung setelah mendengar permintaanku, mungkin sedang mencari bahan es teh. Jelas sekali warung miliknya itu tidak lagi digunakan sebagai tempat makan atau pun minum. Dari sikapnya yang tergopoh-gopoh setelah menerimaku sebagai pembeli, warung itu sehari-hari mungkin hanya digunakan untuk tidur saja.

Tak lama kemudian ia datang dengan membawa segelas es teh di tangannya, dan segera memberikannya padaku. Pria tua itu terlihat lelah, kulitnya terlihat gelap, kehitaman karena sering terkena terik mentari. Pikirku, dulu ia adalah salah seorang pedagang tionghoa yang jatuh bangkrut karena kerusuhan Mei 1998, dan kini terpaksa berjualan seadanya, sekadar bertahan di sekitar pasar Glodok. Tapi ternyata pikiranku itu keliru. Saat ini umurnya sudah 57 tahun. Sedari umur 12 tahun, ia sudah tinggal di daerah itu, tak heran jika ia sangat paham seluk beluk pasar Glodok atau daerah lain di Jakarta. “Ya beginilah sudah puluhan tahun saya tinggal di sini, dan sampai sekarang masih menggelandang,” ungkapnya.

Saeran menjadi nama panggilannya setelah ia memilih Islam sebagai agama, berpindah dari keyakinan sebelumnya: Khong Hu Cu. The Kan adalah nama marga pria yang saat ini tinggal di daerah Cipinang, Jakarta Selatan, bersama seorang istri dan anaknya. Ia mempersunting perempuan Sunda dan dikarunia empat orang anak, dua laki-laki, dua perempuan. Salah seorang anaknya baru saja melangsungkan pernikahan tahun ini.

Percakapan kami terjadi mengalir begitu saja, seolah sebelumnya sudah saling mengenal lama, ia pun beranggapan kalau aku juga masih keturunan tionghoa. Dan sebenarnya pertama kali bertemu, aku menduga ia berasal dari Manado. Kebetulan aku memiliki banyak kenalan orang Manado yang kerap merasa jengkel karena sering dikira orang Cina –padahal asli Manado– lantaran kulit yang terlalu kuning, tak bisa hitam meski setiap hari terkena sengatan cahaya matahari. Kemudian ia meneruskan ceritanya tentang orang-orang yang bermukim di kampung sekitar Glodok itu.

Menurutnya, di daerah itu kebanyakan dihuni oleh etnis tionghoa Hokkian dan Keh. Berdagang, menjual hasil bumi, membuat furnitur, adalah keahlian orang-orang Tionghoa. Mereka juga bergerak di bidang industri rumah, restoran, pedagang kelontong, rumah kost sampai pedagang sayur. Sebelum krisis, nilai transaksi di Pasar Glodok mencapai 50 Milyar rupiah tiap harinya, nilai transaksi itu tercatat yang paling tinggi di Indonesia. Glodok yang ada sekarang adalah Glodok Plaza, Harco, Glodok Jaya, Pasar Pagi, Pasar Glodok, City Hotel, Hayam Wuruk Indah, dan Toko Tiga yang berusia tua. “Tapi tidak ada yang sepandai Cina Medan dalam berdagang,” celetuk Saeran. Disamping pandai, orang Cina Medan terkenal nekat dan berani, dan tak jarang mereka menipu rekan bisnisnya. Aku bertanya pada Pak Saeran, apakah ia pernah ditipu oleh orang Cina Medan. Ternyata ia sering mendengar cerita-cerita tentang orang Cina Medan dari rekan-rekannya yang pernah berurusan bisnis dengan mereka.

Saat kutanyakan perihal kehidupan masyarakat sekitar perkampungan pasar Glodok, Pak Saeran terlihat tak banyak merespon. Ia hanya mengatakan jika penduduk di sini memang kebanyakan beretnis tionghoa, mulai dari keluarga yang rata-rata berdagang sampai pengurus RT. “Kalau mau tahu kehidupan keluarga-keluarga Cina yang mayoritas pedagang bisa langsung pergi ke Petak Sembilan,” tambahnya. Etnis Tionghoa di Petak Sembilan terdiri dari beberapa etnis antara lain, Kwang Tung, Hokkian, dan Kanton. Ketiganya memiliki ciri khas dalam berdagang.

Etnis Kwang Tung biasanya berdagang furniture, etnis Hokkian umumnya berdagang garmen atau tekstil, sementara etnis Kanton biasanya berjualan makanan atau sayur-mayur. Mulanya aku ragu untuk mengaitkan kondisinya yang sekarang dengan peristiwa Mei 1998 yang menggerus sebagian besar etnis tionghoa di Jakarta, khususnya pasar Glodok, dalam pembicaraan kami. Namun, Pak Saeran mengubah keraguanku menjadi kejelasan, ketika ia mulai menceritakan bahwa sedari dulu hidupnya memang pas-pas-an, miskin. “Tapi jangan heran kalau orang-orang di sini agak tertutup, apalagi kalau ngomong masalah kehidupan dan perekonomian, meski miskin kan masih punya dagangan, kalau Cina Benteng di Tangerang mungkin lebih terbuka karena mereka dari dulu memang sudah miskin,” tutur Saeran.

Sejarah mencatat Glodok sebagai pecinan, kampung orang-orang Cina, berawal dari politik kolonial mengenai pembatasan jumlah imigran asal tiongkok, sebagai upaya menghambat akulturasi masyarakat tionghoa di Batavia. Tidak cukup menghambat, pemerintah kolonial pun berkenan untuk mendeportasi, mengirim kaum pekerja tionghoa ke Srilangka, lantaran populasi mereka yang semakin meningkat dan sampai pada taraf mengganggu eksistensi kompeni dalam hal perdagangan.

Keulatan dalam bekerja, jiwa dagang, serta kemampuan untuk beradaptasi dengan budaya setempat, membuat etnis cina di Banten dan di Batavia muncul sebagai saingan orang kulit putih. Sikap represif VOC waktu itu mendatangkan perlawanan bagi kaum tionghoa, puncaknya pada tahun 1740. Orang-orang Cina itu memberontak! Sikap berontak para pekerja asal tiongkok itu membuat berang VOC, dan melegitimasi kompeni untuk menumpas dan membinasakan mereka. Tercatat sekitar 10.000 orang tionghoa menjadi korban, mereka yang sempat meloloskan diri menyebar ke daerah Tangerang, atau kerap di sebut “Cina Benteng,” sebagian lagi yang tidak dieksekusi direlokasi kompeni ke daerah yang sekarang dikenal sebagai Pondok Kacang, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sekitar Serpong.

Pasca penumpasan pemberontakan, orang-orang tionghoa itu tidak diperkenankan tinggal di dalam tembok kota, mereka terpaksa mendiami tempat yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial sebagai pecinan baru. Glodok sekarang yang saat ini didiami sekitar 11.428 jiwa, dengan tingkat kepadatan hunian 304 kepala keluarga dari lahan seluas 37, 6 hektar, merupakan buah pengelolaan keragaman pemerintah kolonial yang menyisakan potret kemiskinan struktural dari sebuah area isolasi etnis menjadi pusat perdagangan dan salah sau denyut nadi perekonomian di Indonesia. Desantara / Futomo



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar