Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas

Naladwipa Institute Samarinda | 20 - Aug - 2013

Riwayat ruang

Salah satu yang membedakan kampung-kampung yang terletak di ujung selatan Bontang, seperti Nyerakat dengan kampung yang ada di Utara adalah pada akses jalan masuk. Untuk mencapai Nyerakat, ada tiga jalan yang dapat dilalui. Dua jalan darat dan terakhir lewat laut. Jalan pertama di Km. 10 Bontang belok masuk jalan perusaahaan batubara milik PT. Indominco Mandiri.

Jalan yang satu ini terkesan mengerikan bagi para pengendara, karena dilalui oleh mobil-mobil raksasa pemuat batubara yang setiap saat bisa mengancam keselamatan bagi setiap orang yang melintasinya. Sudah menjadi keharusan bagi semua pengendara yang melewati jalan ini untuk menyalakan lampu walau di siang hari. Di depan pos jaga ada beberapa orang terlihat berjaga-jaga untuk mengawasi orang lalu lalang dari jalan perusahaan yang juga sering dimanfaatkan sebagai jalan alternatif oleh masyarakat Nyerakat dan sekitarnya.  Namun demikian masyarakat Nyerakat terkadang menggunakan mobil bus-bus perusahaan seperti PAMA (sub kontraktor perusahaan PT. Indominco).

Kedua, jalan Flores. Masuk ke jalur poros jalan besar yang menjadi mega proyeknya pemkot Bontang. Jalan yang dulu milik perusahaan HPH CV. Rangga Jati dan CV. GST (sudah tidak beroperasi) ini sedang dalam pengerasan dan perluasan untuk konstruksi jalan jalur dua. Maklum ini adalah jalan yang akan menghubungkan kawasan kota Bontang dengan Sekambing (Bontang Lestari)  yang sedang digenjot pembangunannya oleh pemkot Bontang.

Lewat laut adalah jalur yang sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Nyerakat. Dari kampung Nyerakat hingga kawasan pelabuhan Tanjung Laut terdapat kawasan perusahaan raksasa PT. Badak yang mengeksploitasi gas bumi Bontang dan Kutai Kartanegara. Di sana ada kawasan pantai yang dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan. Kapal-kapal nelayan dilarang memasuki kawasan itu. Di pantai tersebut terdapat  papan pengumuman, ”Dilarang menambatkan perahu di kawasan pantai Marina”. Seorang warga kampung, Rudi mengatakan, mendekat sedikit saja ke kawasan pantai PT. Badak pasti ditegur oleh securitinya. Apalagi jika sudah sampai menambatkan perahu dipantai yang dulunya menjadi milik umum sebelum PT. Badak beroperasi pada tahun 1978, sudah pasti diusir oleh sang pemilik pantai.

Kawasan yang kini manyandang nama baru, kelurahan Bontang Lestari ini terbilang penting dan strategis. Betapa tidak stadion utama yang akan digunakan pada PON ke-17 dan gedung DPRD baru, sedang dibangun di sini. Menurut pak Anas Taneng yang juga staf kelurahan Bontang Lestari, alokasi pembangunan di kawasan Bontang Lestari sekitar 75 % dari seluruh anggaran pemkot Bontang tahun 2007.

Apa mau dikata, kampung Nyerakat kini tengah dikepung oleh tiga kekuatan raksasa : PT. Badak, PT. Indominco, dan mega proyek pengembangan kawasan kota Bontang Lestari oleh pemkot Bontang. Hal ini menjadikan warga Nyerakat semakin terdesak.

Ironi yang menyedihkan amat terasa di saat kita menyaksikan bagaimana perusahaan besar beroperasi di sekitar Nyerakat. Tetapi berbading terbalik dengan kondisi masyarakatnya dalam berbagai bidang. Sebutlah misalnya di Nyerakat, penerangan desa masih menggunakan pembangkit listrik tenaga surya yang dipasang di setiap rumah warga. Listrik tenaga matahari ini sama sekali tidak mamadai karena hanya mampu menarik maksimal 2 balon lampu. Olehnya itu mereka juga menyiapkan listrik tenaga diesel. Namun listrik yang satu ini terasa sangat membebani karena biayanya justru lebih mahal, dengan harga solar yang bisa mencapai Rp 6.000 / liter. Dalam penuturan pak Masdar, dia harus menyiapkan rata-rata 5 liter / malam untuk mesin dieselnya.

Di Nyerakat hampir setiap rumah menggunakan listrik diesel, hanya ada empat rumah yang tidak menjadi pelangganggannya. Ada 18 mesin listrik diesel yang digunakan oleh masyarakat Nyerakat. Rata-rata setiap satu mesin beranggotakan 4-5 rumah. Pola listrik ini juga berkaitan dengan pola formasi keluarga. Bagi masyarakat Nyerakat listrik ini menjadi penting untuk mengangkat air dengan menggunakan alkon dari dataran rendah untuk keperluan MCK. Di Nyerakat sumber-sumber air yang agak keruh berupa sumur-sumur kecil yang  terletak di belakang pemukiman.

 

Dari perubahan nama ke penertiban pembangunan

  

Nyerakat adalah salah satu dusun di desa Sekambing. Sejak diubah menjadi kelurahaan pada tahun 2004, konsep dusun berubah menjadi RT. 7 dan 8 (berdasarkan sisi kiri dan kanan yang dibelah oleh jalan kampung). Perubahan ini bukan tanpa riwayat. Konon dikaitkan dengan program pemerintah yang tertuang dalam semboyan 4 (empat) pilar pembangunan kota Bontang. Salah satunya apa yang dikenal dengan Bontang Lestari. Sekambing menjadi korban penggusuran nama. Namun di masyarakat Nyerakat yang berpenduduk sekitar 310 orang ini ada bisik-bisik mengenai mengapa disebut lestari.

            Pak Anas menjelaskan bahwa lestari dikaitkan dengan angan-angan pemkot Bontang untuk memastikan agar lingkungan tetap lestari dan asri. Namun logika pemkot Bontang ini berbanding terbalik dengan realitas yang sesungguhnya, ketika puluhan mobil traktor mengaduk-aduk kawasan Nyerakat yang membuatnya malah tidak lestari. Benar kata kawan saya, pak Anto yang juga salah seorang generasi muda Nyerakat, bahwa lestari sesungguhnya adalah nama yang menyimpan penanda yang bukan realitasnya. ”Lestari itu hanya sekedar retorika pemerintah saja, buktinya pohon-pohon dan lingkungan di sini malah diporak-porandakan oleh pemerintah sendiri. Jadi pemerintah memang belum bisa menjadi contoh bagi masyarakatnya.”, ujarnya.

Lalu mengapa aparat birokrasi tiba-tiba punya rasa tidak enak menyebut nama Sekambing. Bukankah sejak dulu orang-orang di Sekambing dan di Bontang telah memakai dan tetap setia dengan penyebutan nama Sekambing tersebut.

 Ini tentu bertalian dengan ditetapkannya desa ini sebagai pusat pengembangan kota. Sekambing diubah oleh pemerintah kota menjadi Bontang Lestari untuk tetap memastikan bahwa pembangunan itu tetap lestari. “Sekambing kurang enak didengar”, ujar pak Wali seperti yang ditirukan Thamrin, salah seorang warga Nyerakat yang juga ketua RT. 8. Sayang boro-boro mau lestari, alamnya yang dulu rindang kini dibabat habis tak tersisa di sekitar pengembangan kawasan itu. Boleh jadi penamaan ini menjadi awal dari model penundukan persuasif dan sistematik untuk tetap memastikan mega proyek berjalan dengan mulus.

Sebenarnya janji akan mensejahterakan rakyat sudah terdengar dalam kampanye pemilihan Walikota Bontang pada tahun 2005. “Pak Sofyan (Walikota Bontang saat ini) waktu kampaye dulu menjanjikan akan membangun Nyerakat ini, nah ternyata betul beliau memenuhinya dengan adanya pembangunan ini”, kata mak Kumala mengenang masa kampanye.

Tetapi benarkah kehadiran pembangunan ini untuk kepentingan mensejahterakan rakyatnya?. Salah seorang generasi muda Nyerakat, Sahrul menyangsikan akan hal ini. Ia mengatakan bahwa jika mengamati agak lebih dalam tentang pembangunan ini, rupanya tidak akan menyediakan apa-apa bagi orang-orang di kampung. Ini bisa dilihat ketika basis pembangunan Bontang Lestari merusak banyak sistem ekologi dan kultural dalam masyarakat di sana.

Demikian pula mereka tidak pernah dilibatkan dalam membincang bagaimana konsep pembagunan yang akan dihadirkan kepada mereka. Pak Midin misalnya mengaku tidak pernah diikutkan dalam pembahasan secara tuntas bagaimana pandangan masyarakat tentang kehadiran pembangunan di Nyerakat ini sebelum dilaksanakan. Memberi tahu sebelumnya bahwa akan ada proyek ini saja tidak pernah ada. “Pantas ada yang membeli tanah-tanah masyarakat di sini lebih dulu, ternyata untuk dibanguni stadion”, kata Midin.

Entah dari mana penamaan Sekambing itu. Tetapi banyak orang desa menyebut mungkin berkaitan dengan kambing yang dulu banyak dipelihara di desa ini. Dan yang pasti desa Sekambing punya riwayatnya sendiri. Ia tetap eksis dengan identitas sosial dan kulturalnya yang merupakan pergulatan dan penghayatan panjang masyarakat di sana dalam berdialektika dengan lingkungan sekitarnya. Misalnya saja di setiap kampung-kampung di desa ini tetap eksis dengan tradisinya, seperti di Nyerakat dengan ritual bebalainya.

Meski aparat pemerintah enggan menyebut nama Sekambing, orang-orang kampung masih tetap setia dengan penyebutan nama itu. “Ya mau bagaimana lagi penyebutan Sekambing sudah sejak lama”, kata Thamrin.

Kawasan yang saat ini disebut Botang Lestari dulunya dihuni oleh beberapa komunitas, seperti Nyerakat, Segendis, Nyerakat Kiri, Teluk Kadere, Santan, Pagung, Baltim, dan Sekangat. Konsep Bontang Lestari ini melebur berbagai komunitas itu menjadi satu kelurahan yang disebut sebagai Bontang Lestari.

Dalam ingatan warga, Nyerakat mulai dihuni sejak tahun 1942. Ketika itu Jepang mulai mendarat di tanah Bontang. Ada 4 (empat) rumah yang mula-mula membuka hunian baru ini. Konon motifnya adalah bersembunyi dari kejaran tentara Jepang yang mulai menyisir daerah Pantai. Nyerakat menjadi salah satu tempat yang dipilih karena tempatnya agak tersembunyi oleh bakau yang menyelimuti di bagian pantainya. Hutan bakau ini mencapai 1 km dari bibir pelabuhan kampung ke Muara. Rombongan berikutnya datang dari Bontang Kuala dan Sekangat sekitar tahun 1969, ketika sedang ramai-ramainya orang kerja banjirkap. Atau apa yang dikenal sebagai masa batang pendek.

            Kegiatan orang-orang yang pertama membuka hunian ini dimulai dengan membuka ladang-ladang baru untuk pertanian. Di antara mereka adalah pak Nuhung. Kampung ini diberi nama Nyerakat, konon sesuai dengan nama kayu yang banyak tumbuh di tempat ini. Kayu jenis Nyerakat terkenal kuat untuk keperluan bahan membuat perahu. Selain itu Nyerakat dikaitkan dengan keinginan masyarakatnya untuk tetap rekat dan rukun.

            Sejak awal warga Nyerakat rupanya terdiri dari masyarakat campuran berbagai suku, hingga membentuk satu identitas “suku” baru yang mereka sebut sebagai Melayu Bontang. Orang-orang Bontang Kuala dan Nyerakat lebih senang dengan sebutan Melayu Bontang dibanding Kutai. Untuk melihat lebih jelas terletak pada bahasa yang mereka gunakan.

            Bahasa yang mereka gunakan terdapat kosa kata yang mirip bahasa Bugis, seperti mengapa kau gadoi (kenapa kamu campuri). Ada juga bahasa yang mirip Melayu Malaysia, seperti ini bukanlah urusan budak-budak (ini bukan urusan anak-anak), dan ada juga tak hendakku atau biasa disingkat tekendakku (saya tidak mau). Ada juga istilah-istilah yang mirip-mirip bahasa Makassar, semisal sandro (dukun). Penggunaan bahasa di masyarakat Nyerakat ini semakin menegaskan hibriditas komunitas ini.

            Tetapi diksi yang paling dominan mereka gunakan rupanya bahasa Kutai. Seperti kata yang sering saya dengar dalam akhiran maaha. Misalnya berdua maaha (berdua saja). Namun ucapan maaha dalam bahasa orang Nyerakat berbeda bunyi dengan kosa kata maha Kutai Tenggarong. Orang Nyerakat lebih panjang pada vokal a pada kata maaha.

            Di Bontang Kuala, terutama generasi tuanya rata-rata dapat berbahasa Bugis, Mandar, dan Bajo. Pak Kasim misalnya dapat berkomunikasi dalam berbagai bahasa seperti Bugis, Bajo, dan Melayu. Multilingual ini menjadi tanda bagaimana mereka bergaul secara intim dengan berbagai komunitas suku lain.

            Selain tampak dari bahasa mereka, juga ada cerita yang menyebut bahwa sejak awal tempat-tempat awal di Bontang seperti Senganakan, Bontang Kuala, dan pulau Selangan menjadi tempat-tempat awal campur-baurnya suku Bontang Kuala. Menurut mereka, dulu tempat-tempat itu adalah tempat berkumpulnya orang-orang Bugis, Kutai, Bajo, bahkan juga ada beberapa orang Cina.

            Bukti yang menguatkan hal ini, sejak dulu di Bontang Kuala dan Sekangat ada festival kesenian rakyat yang di dalamnya ada mamanda (sandiwara khas Kutai yang biasa berisi peran tentang riwayat kesultanan), jepenan, terbangan, kuntaw (pencak silat). Sementara untuk laku ritualnya terdapat bebalai, ance (membuang pisang), mandi bunga (pernikahan adat), nurungkan pisang (mappeno salo’), lepas ayam (untuk menenangkan orang halus), dan mandi buyu (mandi untuk anak bayi yang terkena penyakit khusus balita).

            Kesenian dan ritual yang menjadi ciri dari berbagai suku ini tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Nyerakat hingga saat ini. Pertunjukan sandiwara mamanda dan kesenian lainnya dilakukan di sela-sela ritual bebalai yang dulu dilakukan seminggu atau sebelas hari. Namun belakangan kesenian rakyat seperti mamanda dan jepenan agak redup dibanding dengan ritual bebalai dan yang lainnya yang tetap berlangsung.

Ritual bebalai yang juga dikenal ritual pengobatan masih tetap eksis di masyarakat Nyerakat. Ritual yang sudah turun-temurun ini, biasanya dilaksanakan di akhir tahun. Ritual ini diawali dengan mengundang dan menghadirkan para arwah leluhur, penunggu atau penguasa laut, karang, sungai, kampung, dan hutan yang mereka sebut sebagai sahabat, untuk hadir di tempat ritual. Di samping itu, juga mengundang semua komunitasnya untuk hadir mengobati diri, agar tetap sehat tubuh dan jiwa (roh). Tarian diiringi musik khas (gong, kelintangan, dan dua buah gendang) selalu mengiringi ritual ini.

Langkah dan hentakan kaki Kumala yang menyerupai tarian diikuti keluarga dan warga yang lain, hingga membentuk putaran yang tidak terputus. Mereka mengelilingi balai yang terbuat dari bambu persegi empat (1 x 1 m, tinggi 2,5 m) yang penuh dengan sesajen. Sambil larut dalam suara musik dan tarian bebalai. Mereka yang ikut dalam pusaran mengelilingi balai beberapa kali dianggap sudah bisa dipolesi pinang mayang (pucuk kelapa) untuk diobati.

Bunyi musik bebalai ini memecahkan kesunyian malam, dan menjadi pemicu bagi semua komunitas Nyerakat untuk segera hadir di tempat ritual. Jika Kumala sudah mulai menari dan mengelilingi balai, satu persatu warga kampung Nyerakat hadir di tempat  ritual. Ritual ini berlangsung di malam hari selama tiga-empat malam. Kehadiran penduduk kominitas ini, penunggu laut, darat, sungai, karang, dan hutan lalu menyatu dalam ritual yang mereka sebut bebalai.

Bukan hanya penduduk Nyerakat, tapi komunitas Bontang Kuala, pulau Selangan dan Melahing yang juga masih dalam satu komunitas suku Bontang Kuala, turut hadir dalam ritual ini. Kampung Nyerakat menjadi sebuah tempat penuh pesona. Upacara bebalai menjadi wahana tempat berkumpulnya para arwah leluhur dan penguasa alam, serta penduduk kampung. Pesta pesona ini akan lebih lengkap di saat para warga ikut menari sambil mengelilingi balai disertai tubuh yang trance sebagai tanda keakraban di antara mereka.

Sebetulnya ritual bebalai masih menjadi perdebatan dalam keluarga. Ada yang mengatakan bahwa ritual bebalai adalah ritual pengobatan warisan dari suku Kutai. Tetapi juga ada yang mengatakan bahwa bebalai adalah ritual dari Makassar yang dibawa oleh kakek mak Kumala yang kemudian dilanjutkan oleh pak Abad. Tepatnya di pulau yang sekarang ada di depan Kota Makassar. Dalam ingatan mak Beda, ritual ini konon berasal dari Makassar, “saya pernah diceritakan oleh ayah saya bahwa katanya dulu waktu masih di Makassar kalau sudah dilarung itu balai semua orang yang turun di laut tidak basah”, ujar mak Beda.

            Tetapi pak Midin yang juga menantu mak Malak, mengaku ada beberapa kesamaan antara bebalai dan ritual belian pada masyarakat Tunjung Benuaq. Salah satu buktinya tempat bebalainya dan cara berputarnya. Kesamaan juga nampak pada warna yang dominan yang digunakan seperti baju dan beras kuning.

            Kebiasaan ini juga mirip yang biasa dilakukan oleh masyarakat Kutai. Bagi masyarakat Kutai, beras kuning juga sering digunakan dalam laku budaya dan ritus mereka. Bagi masyarakat penganutnya, seperti mak Kumala, mak Beda dan yang lainnya, bebalai ini nampaknya lebih tepat disebut sebagai ritual yang memang saling mengambil. Contohnya saja mantra-mantra yang digunakan juga dari berbagai bahasa. ”Ada bahasa Kutai, ada Bugis, dan ada juga yang kayak biasa ini”, ujar mak Kumala. Mak Beda memastikan ritual yang didapatkan secara turun-temurun itu asalnya dari Makassar tetapi sudah bercampur dengan ritual yang lainnya.

Kehancuran berawal dari banjirkap

            “Setelah naiknya presiden Soeharto, kita masyarakat semacam ada perintah dari presiden Soeharto untuk menebangi kayu yang dipotong sepanjang 4 meter”, ujar Kadir.

            Menurut kesaksian penduduk kampung, tidak lama setelah naiknya Soeharto ke pucuk pimpinan nasional, kapal-kapal berbendera Jepang mulai mendarat di Bontang. Mereka siap membeli kayu dari penduduk. Orang Jepang membeli kayu yang berukuran 4 meter dengan diameter mulai 60 cm.

            Kedatangan kapal ini membuat orang-orang Bontang Kuala, Sekangat, dan Nyerakat ikut melayani permintaan Jepang itu. Mereka lalu mulai menebangi kayu di kawasan Bontang dan sekitarnya. Peristiwa ini dikenal sebagai istilah banjirkap.

            Disebut banjirkap karena menunggu air pasang di saat kayu-kayu mudah diseret ke laut untuk selanjutnya diangkat naik ke kapal milik Jepang. Dengan menggunakan teknologi seadanya seperti gergaji, penduduk kampung mulai menebangi kayunya sendiri. Kayu-kayu itu dibeli oleh orang Jepang dengan harga Rp. 150,- – Rp. 200,- / kubik. “Ya kita ini orang kecil yang butuh makan, paksalah kita ikut nebangi kayu”, ujar Kasim (62).

            Peristiwa banjirkap ini juga memicu migran besar-besaran dari pulau Sulawesi untuk bekerja sebagai pekerja kayu. Banjirkap mulai meredup di saat kapal berbendera Jepang menolak batang pendek dengan mengganti batang panjang dan tidak menerima langsung lagi dari masyarakat umum. Mereka jugalah yang mengajari masyarkat untuk menggunakan mesin penebang pohon (sengso) yang dimulai pada tahun 1970.

            Tahun 1969, orang-orang Bontang Kuala mulai berdatangan di Nyerakat, setelah sebelumnya mereka mendiami Sekangat. Karena alasan tidak cocok lagi untuk pertanian, mereka lalu meninggalkan hunian itu dan hijrah ke daerah hunian baru yang  bernama Nyerakat.

            Awalnya penduduk mulai mengerjakan ladang di sisi barat dan utara kampung. Mereka bekerja menurut kelompok keluarga. Ladang-ladang yang mereka garap itu semakin jauh dan mulai tidak subur lagi. Sawah yang digarap juga tidak terlalu luas, sekitar 20 hektar. Di tahun 1996 ada pembentukan kelompok tani. Pak Masdar sendiri punya kelompok tani yang beranggotakan 30 orang. Mereka biasanya menghasilkan 100 – 200 kaleng padi / hektar.

Selain PT. Badak yang mulai menginjakkan kakinya di Bontang yang dulu bernama Satimpo. Tahun 1995 giliran perusahaan batubara PT. Indominco Mandiri memulai menggarap emas hitam (batubara) di Nyerakat dalam. Kampung Nyerakat sendiri menjadi basecamp-nya para pekerja tambang Indominco untuk mengeksploitasi batubara yang dimulai dengan pembuatan jalan.

            Orang-orang Nyerakat mulai ada yang bergabung bekerja di perusahaan Indominco dan PAMA (sub kontraktor Indominco), tanpa ada persyaratan Ijazah. “Dulu orang-orang kerja tak perlu ijazah, yang mau kerja pasti masuk, sekarang harus ada ijazah minimal SMA, itupun harus melalui tes kiri-kanan”, ujar Kumala.

            Meski kebanyakan anak-anak muda kampung Nyerakat bekerja di perusahaan Indominco, persawahan yang mereka garap juga jalan. Tahun 1998 sawah mereka mengalami puso, akibat serangan tikus dan keong. Tahun 1999 menjadi tahun kenangan manis penduduk kampung karena menjadi panen terakhir.

            Menurut pak Dulla, yang juga mantan kepala dusun Nyerakat, warga kampung sudah tidak sanggup lagi menggarap sawahnya karena tinggal orang-orang tua. Sementara anak muda sudah mulai enggang menggarap sawahnya. “Anak-anak muda lebih suka antri untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan di banding dengan menggarap sawah. Karena lebih jelas. Habis bulan terima gaji. Tidak kayak sawah, kerja belum tentu ada hasilnya”, ujar pak Dulla.

Berebut tanah

Jalan Flores yang menghubungkan kawasan pengembangan Bontang Lestari dengan kota Bontang nampaknya menyimpan riwayat tersendiri bagi orang-orang Nyerakat. Panjang jalan yang akan direnovasi (diperlebar untuk dijadikan jalur dua) ini 22 km, lebar 22 meter. Tak satu meterpun tanah rakyat sepanjang itu dibayar oleh pemerintah. Mereka yang menuntut haknya cepat-cepat dicap sebagai pembangkang.

Menurut warga, mereka hanya mendapat Rp. 3.000.000,- bagi yang kena gusur rumah. Itu juga bukan dari pemerintah, tetapi konon atas kebaikan hati H. Arbain yang kebetulan menjadi kontraktor jalan ini. Warga saat ini memilih menyewakan sebagian rumah yang dipakai oleh perusahaan yang mengerjakan proyek jalan. Misalnya apa yang dilakukan oleh mak Bian yang menyewakan ruang tamu rumahnya untuk dijadikan kantor oleh pekerja jalan.

Lain lagi di kawasan GOR Bontang. Tanah milik rakyat itu jauh sebelum pembangunan stadion, terlebih dahulu dibeli oleh H. Arbain dengan harga yag murah. Lalu pemerintah membeli lagi dari H. Arbain dengan harga yang tentu lebih mahal. “Ya, maklum kita ini masyarakat kecil tidak tahu apa-apa”, kata mak Bian. Konon H. Arbain dikenal dekat dengan pak Walikota Bontang. Ia beli dari warga Rp. 3.000,- – Rp. 5.000,- / meter. Sementara ia jual lagi ke pemerintah kota Bontang Rp. 25.000 / meter. Hamparan tanah yang dulu milik para petani yang segera akan menjadi stadion utama Bontang luasnya mencapai sekitar 50 hektar.

Kondisi kampung yang seperti ini memicu banyaknya terjadi kasus tanah. Sengketa tanah lebih banyak karena tidak memiliki surat. Tanah-tanah rakyat yang tidak punya surat rentang dicaplok negara (pemerintah kota Bontang). Soal tumpang tindih kepemilikan tanah juga banyak yang terjadi. Terdapat dua kepemilikan tanah, masing-masing punya riwayat kepemilikan (pernah mengelolah) pada tanah yang sama.

Dan juga soal batas-batas tanah yang tidak jelas ukurannya. Batas yang tidak jelas ini terjadi ketika pembuatan surat keterangan yang tidak diukur dengan baik. “Pembuatan surat-surat tanah di awal-awal hanya diperkirakan saja. Misalnya ditulis 1 hektar padahal setelah diukur bisa kurang bisa juga lebih”, ujar Thamrin yang juga ketua RT. 8.

Ada juga sengketa soal hibah atau wakaf. Misalnya tanah yang ditempati mesjid Nyerakat diminta untuk dibayarkan oleh pemiliknya yang dikenal tuan tanah, nenek Kaili. Padahal menurut warga kampung, tanah itu sudah dihibahkan (diwaqafkan) oleh suaminya. Tetapi tidak ada hitam di atas putih (surat keterangan). “Mungkin suaminya tidak memberi tahu kepada istrinya sebelum meninggal, akibatnya istrinya (nenek Kaili) menuntut kembali”, papar mak Kumala.

Yang paling menyedihkan, kampung Nyerakat saat ini tidak memiliki tanah pekuburan. Pemilik tanah sudah tidak membolehkan lagi untuk ditempati. “Padahal itu sangat penting, kalau soal tanah pekuburan ini sudah jelas, kami sudah merasa lega”, ujar Thamrin.

Tanah-tanah di sekitar kampung Nyerakat menjadi rebutan para pialang. Di sebelah utara kampung terdapat empang yang luasnya sekitar 7 hektar. Tambak (empang) H. Ambo memiliki tujuh petak yang luasnya sekitar 4 hektar. Menurut pekerjanya, Ian, dulunya empang ini milik orang-orang Nyerakat. Tetapi dijual sama orang Bontang sana bernama H. Ambo. Sementara di sebelahnya ada juga 3 petak empang yang luasnya 3 hektar milik pak Aziz, yang juga pemilik hotel Sanrego di kota Bontang.

Tidak jauh dari kawasan pembangunan stadion, juga ada areal yang sedang dibangun di atasnya gedung baru para wakil rakyat yang luasnya mencapai 40 hektar. Dan yang tidak kalah luasnya perumahan KORPRI di sisi selatan kampung Nyerakat, sekitar 68 hektar. Di dekatnya ada SD dan SMP baru yang mencapai 38 hektar. Di utara ada 32 hektar yang akan dibangun di atasnya STITEK (Sekolah Tinggi Ilmu Teknologi). Di samping STITEK terdapat tanah yang juga baru dibebaskan pemkot Bontang. “Itu saya tidak tahu untuk apa, pokoknya di sini lagi ramai-ramainya pemerintah membebaskan lahan”, kata seorang warga Nyerakat.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan pesan-pesan yang selalu disampaikan pak Walikota dalam berbagai kesempatan agar masyarakat tidak menjual semua tanah-tanah di Nyerakat. “Masyarakat seperti di Nyerakat ini jangan menjual semua tanahnya”, kata pak Wali seperti yang ditirukan pak Dulla.

Yang terakhir, tepatnya di ujung desa Sekambing ada hamparan tanah seluas 65 hektar yang baru saja dibebaskan oleh pemkot Bontang. Kelihatannya pemkot Bontang ingin membebaskan semua tanah yang ada di Sekambing. Pada sisi lain, ada usaha mempersulit warga untuk mengurus surat-surat tanah, dibuktikan dengan keharusan membayar biaya administrasi yang konon memberatkan warganya sendiri.

Tanah-tanah rakyat yang masih tersisa dan terancam saat ini adalah tanah yang sedang dipakai berkebun. Kebun-kebun rakyat yang ada di Nyerakat kebanyakan berisi sayur-sayuran dan lombok. Setiap hari seorang pengumpul (tengkulak), pak Salam namanya mengumpulkan hasil kebun warga, lalu membawanya ke kota Bontang untuk dijual di pasar-pasar yang ada di Bontang.

Rata-rata mereka menggarap tanah perkebunan yang luasnya sekitar setengah hektar. Kebun orang Nyerakat berisi kacang panjang, lombok, dan sayur-sayuran. Seorang petani lombok, Ahmidin misalnya, rata-rata panen lomboknya mencapai 3 kg. setiap hari dengan harga Rp. 8.000,- / kg. Ia jual sama pak Salam.

Hasil dari berkebun inilah yang sementara ini masih membuat mereka bisa tetap bertahan dalam himpitan hidup yang kian berat. Meski kebun yang saat ini punya tiga ribu pohon lombok masih menggarap tanah pinjaman. Bagi Ahmidin lebih senang memilih berkebun ketimbang kerja di proyek-proyek yang kerja tidak tetap. “Dulu saya kerja di perusahaan-perusahaan dekat kampung ini, tetapi kerja kontrak 2 – 3 bulan berhenti lagi, tetapi kalau kerja kebun ya terus-terus ada kegaitan, meskipun saya hanya cukup makan sehari-hari saja”, kata Ahmidin.

 

Harapan dan masalah baru

Riwayat pembangunan di Nyerakat memunculkan harapan baru. Pada satu sisi mereka ingin mempertahankan tanah-tanah meraka, namun sisi lain mereka dihadapkan pada himpitan ekonomi. Kehadiran mega proyek yang di sebut Bontang Lestari membuka harapan baru bagi sebagian warga. Meskipun sebagian yang lain, merasa tidak punya pengaruh apa-apa. Sahrul misalnya, mengakui kehadiran pembangunan yang baru tidak puya pengaruh apa-apa baginya. “Kehadiran gedung-gedung pemerintah rasanya tidak berpengaruh apa-apa sama kita orang kecil ini”, kata Sahrul.

Lebih lanjut Sahrul mengatakan bahwa jika saja masih ada orang kampung yang tidak punya kerja dan pemerintah tidak memfasilitasinya, berarti mereka itu sudah menyalahi apa yang dijanjikan di saat pawai (kampanye). Hal senada juga dikatakan oleh pak Ali bahwa berkebun adalah pertahanan yang paling terakhir. “Kalau kami tidak berkebun ya mati, mau masuk perusahaan sudah tua begini. Apalagi saya tidak pernah sekolah”, lanjut Ali, yang saat ini punya kebun kacang panjang seluas 2 x lapangan volly.

Warga lain memilih menaruh harapan besar. Pak Dulla  mengatakan dulu misalnya  anak-anak harus jauh-jauh sekolah ke Bontang. Sekarang ini sudah ada dibangun SMP dan sebentar lagi akan berfungsi. Jika pak Dulla berharap anak-anaknya bisa sekolah, Rudi mengaku ingin bekerja di gedung-gedung pemerintahan yang sedang dibangun itu. “Saya mungkin hanya bisa jadi tukang sapu di stadion dan di gedung DPRD baru”, papar Rudi. Warga lainnya berharap kehadiran gedung DPRD baru, bisa menjadikan para wakil rakyat semakin dekat melihat realitas masyarakatnya.

Hadirnya proyek gedung-gedung pemerintahan baru bukan tanpa masalah, malah menambah deret persoalan. Di desa yang dulu bernama Sekambing ini, ada kesibukan baru warganya yakni banyak menerima penawaran pembelian tanah dari orang-orang kota. Tak urung membuat warga desa, khususnya Nyerakat sibuk mengukur tanah-tanah mereka. Dalam pengamatan saya, di rumah pak Masdar paling tidak selama seminggu ada tiga orang yang datang menawar tanah milik pak Masdar.

“Saya sering didatangi orang kota untuk membeli tanah, atau sekedar bertanya tentang keberadaan tanah yang ada di kampung ini, tetapi saya sudah berhati-hati karena di samping sekarang orang-orang kota mau menguasasi tanah-tanah yang ada di kampung ini mereka juga sering menipu, seperti tanah saya sampai saat ini belum dibayar-bayar sama pak Haji Iwan”, katanya bernada kesal.                          

            Kondisi ini membuat formasi keluarga juga semakin menegang. Di belakang kampung Nyerakat di sebelah barat terdapat tanah setengah hektar yang pernah menjadi sengketa antara keluarga Hatta dengan Ali, yang masih satu rumpung keluarga. Istri Ali masih sepupu sekali dengan Hatta. Perseteruannya kian memuncak ketika semakin mahalnya harga-harga tanah di Nyerakat. Pak Ali mengaku pemilik sah tanah tersebut, karena ialah yang pernah menggarap tanah itu. Namun pernah di tinggal selama dua tahun ketika ia memilih melaut di pulau Selangan. “Tapi sekarang kami sudah berbagi. Sebagian saya berikan sama pak Hatta”, ujar Ali.

 

Selamat tinggal pertanian

 

            Riwayat pertanian di dataran rendah Nyerakat tinggal menjadi kenangan. Tahun 1999 adalah masa di mana masyarakat Nyerakat tidak lagi menggarap sawah-sawahnya. Menurut mak Bian yang dulu pernah menggarap persawahan, masyarakat mulai kesulitan menggarap tanah karena banyaknya keong, tikus, dan burung pipit yang ganas menyerang padi-padi mereka. “Bagaimana kita tidak berhenti, kita menanam padi sekaleng yang kembali haya sekaleng”, ujar Sahrul.

            Selain serangan tikus yang ganas, kehadiran perusahan seperti PAMA dan Indominco Mandiri menjadi penyebab macetnya pertanian rakyat. Konon sawah-sawah yang ada di dataran rendah Nyerakat pernah tercemar limbah dari perusahaan Indominco Mandiri, karena aktifitas pencucian alat-alat berat dari dataran tinggi, mengalir ke sawah-sawah milik rakyat. “Saya mencium air di persawahan, kok bau gas (minyak), wah rupanya air bekas cucian mobil perusahaan”, ujar Masdar. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebetulnya penyebab macetnya pertanian sawah di kampung Nyerakat salah satunya limbah perusahaan.

             Bukan hanya pengaruh limbah, tetapi aktifitas perusahaan Indominco Mandiri yang sudah ada sejak tahun 1996 itu mengundang minat baru para pemuda untuk bekerja di sana. Akibatnya para pemuda sudah enggan lagi untuk menggarap sawah-sawahnya. Sejak kehadiran perusahaan mengubah minat dan (juga) defenisi tentang kerja. Banyak warga memilih bekerja di perusahaan ketimbang menggarap pertaniannya. Meski saat ini warga Nyerakat hanya lima orang yang masih bekerja di perusahaan batubara.

            Selain pengaruh kuat perusahaan, kepulan asap dari obor PT. Badak yang kemudian membentuk awan juga punya riwayat tersendiri. Dalam pengalaman warga Nyerakat dan Bontang Kuala, bagi mereka jika kemarau lama dan kemudian hujan turun tidak bisa langsung di ambil airnya, karena biasanya warnanya hitam seperti tinta. “Jika hujan biasanya bening, di Bontang Kuala saya pernah melihat hujan warnanya hitam, itu akibat asap dari PT. Badak”, ujar salah seorang warga Bontang Kuala. Konon asap ini berpengaruh pada tanaman pisang dan sawah tadah hujan mereka. Dan salah satu penyakit yang jamak diderita masyarakat Bontang, khususnya balita adalah ispah, yang juga disinyalir kuat akibat dari asap perusahaan.

Di tahun 2000-an ketika perusahaan ketat menerima karyawannya, warga Nyerakat mulai kembali melirik tanah perkebunannya. Di saat sudah dalam kepungan pembangunanisme yang dengan gencar menbombardir perkampungan mereka.

Sahrul mengaku bahwa warga kampung saat ini yang bertani dan berkebun belum tentu dapat menikmati hasilnya, mengingat terlalu banyaknya hama dan sulitnya mengembangkan usaha perkebunan. Umumnya mereka bekerja yang cepat mendapatkan uang. Mereka sambil bertani juga sambil melaut. “Yang mana cepat mendapatkan uang itu yang kami kerjakan”, ujar Sahrul.  

            Di saat  masyarakat Nyerakat sudah sulit lagi untuk diterima bekerja di perusahaan, lahan-lahan pertanian sudah tidak lagi mamadai untuk mengembangkan kawasan pertanian. Mengingat kepemilikan lahan-lahan rakyat sudah hampir sepenuhya dalam genggaman orang-orang kota. Padahal menurut pengakuan pak Anas, kawasan Bontang Lestari adalah kawasan yang cocok untuk pengembangan pertanian.

 

Pantai bukan untuk umum

Sejatinya masyarakat seperti di Nyerakat, pulau Selangan, dan Tanjung Laut memiliki ruang yang tak terbatas di saat beraktifitas mencari ikan di laut. Tetapi semenjak perusahaan masuk, ruang gerak para nelayan semakin sempit. Orang-orang Nyerakat dan pulau Selangan harus mematuhi areal yang tidak bisa dimasuki.

Di bagian timur pantai, terdapat pelabuhan akhir milik PT. Indominco Mandiri. Di utara terdapat kawasan PT. Badak yang lengkap dengan pelabuhan dan pantai Marina-nya. Di laut lepas harus bersikap hati-hati dengan kapal-kapal raksasa yang memuat minyak PT. Badak. “Mendekat sedikit saja ke pantai PT. Badak ditegur sama securitinya, bergerak ke arah timur ada Indominco. Wah kita ini semakin terjepit”, ujar Rudi yang sering mencari ikan di dekat PT. Badak. Seorang warga Nyerakat mengaku pernah dipukul petugas security PT. Badak, lantaran ia pernah menyalip di depan tengker pembawa minyak. “Saya memang salah, karena menyalip, tetapi yang tidak saya setuju karena terus main pukul”, kisah Ian.

“Belum lagi speed boat milik perusahaan seringkali berperilaku  kurang ajar yang menyambar rengge (jaring) yang dipasang di sekitar pulau ini (Selangan)”, kata salah seorang warga pulau Selangan.

Rudi, Ian, dan warga Nyerakat lainnya kini merasa betapa sulitnya untuk bertahan hidup. Untuk menjadi nelayan saja paling tidak harus punya uang Rp. 7.000.000,- (tujuh juta rupiah) untuk dapat membeli perahu dan mesinnya. Ditambah lagi dengan harga minyak yang selangit. BBM jenis solar di Nyerakat dapat mencapai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah).

Begitu juga untuk memiliki kebun yang terpelihara dari hama harus menyediakan pupuk yang beragam bentuknya. Pak Midin sampai mengoleksi pupuk buah lima macam dalam berbagai merek yang juga tidak murah. Pupuk buahnya yang bermerek grentonik saja misalnya mencapai Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah).

Pak Midin tidak tahu lagi jika nanti tanah-tanah yang digarapnya diambil oleh pemiliknya. Yang pasti ia sekarang sedang dalam himpitan hidup yang kian hari kian menjadi. Kisah sedih pak Rudi, Ian yang sekarang memancing ikan seadanya dan Pak Midin menjadi potret buram para petani dan nelayan di Nyerakat.          

 

Agama dan ritual

“Kadang juga ada yang bilang, acara apa itu memanggil setan, padahal mereka tidak tahu kalau tidak dilakukan banyak orang yang sakit”. (Masniah, salah seorang warga Nyerakat).

            Amatan pertama saya di saat masuk kampung ini adalah sebuah mesjid yang berada di ujung timur kampung. Awalnya saya menduga pasti sama dengan kampung lain yang berpenduduk muslim yang ramai dengan kegiatan shalat jamaahnya. Namun segera dugaan saya itu meleset, saat waktu maghrib tiba. Masyarakat kampung tidak seramai yang saya duga dengan memenuhi shalat jamaah setiap waktu shalat. Suatu ketika saya mengamati jamaah magrib yang ada hanya tujuh jamaah. Empat warga setempat; tiga anak-anak dan satu orang dewasa. Yang lainnya ada dua orang pekerja jalan.

            Shalat Jum’at berbeda dengan shalat lima waktu lainnya. Sekitar 40-an orang terlihat memenuhi mesjid Nurul Hidayah Nyerakat yang seluas 8 x 8 m itu. Mungkin ini untuk memenuhi aturan fiqh Islam, bahwa shalat Jum’at tidak sah kalau tidak mencukupi jumlah 40 orang. Seorang pendakwah dari kota Bontang yang tergabung dalam Badan Koordinasi Dakwah Islamiyah Bontang (BKDIB), menyampaikan ajakan dan nasehat-nasehatnya. Salah satunya mengajak seluruh jamaah mesjid yang sudah ada sejak tahun 1977 itu untuk berbuat baik dengan tidak mensyarikatkan Tuhan.

Bagi Masdar, apa yang disampaikan oleh pengkhotbah itu, tidak bisa dikatakan salah. Menurutnya itu pandangan dia dalam memahami agama. Meskipun juga pak Masdar punya cara sendiri dalam memahami agama. Yang paling penting menurutnya adalah awwaluddin ma’rifatullah, dari awal sampai akhir. Artinya manusia harus sempurna mengenal Tuhan dan sesama manusia. Mengenal orang lain juga tidak dengan kira-kira. Soal penilaian Tuhan jugalah yang paling tahu, siapa diri kita dan siapa diri orang lain.

Selain shalat Ju’mat yang khusus bagi kaum laki-laki, tak ketinggalan juga kaum ibu-ibu melaksanakan kegiatan religinya dengan melakukan yasinan mingguan yang juga dirangkai dengan arisan. Sejak tahun 2001, kegiatan arisan dan yasinan yang penuh dengan pujian kepada kanjeng Nabi ini mulai dilaksanakan di Nyerakat atas usulan mak Kumala. Menurutnya, kegiatan yang diikuti oleh 36 orang itu dilaksanakan supaya ada kegiatan, dan orang-orang kampung tidak berkelahi. “Supaya sadar semua, jangan berkelahi”, ujar Kumala sambil tertawa kecil. Hal itu juga dibenarkan oleh ketua kelompok yasinan, Siti Rokaseh bahwa bukan arisannya yang dipentingkan tetapi kumpul-kumpulnya.

            Tapi bagi mak Ipin punya cerita sendiri. Yasinan baginya hanya supaya ada kegiatan saja. Sekedar mengisi waktu luang untuk ibu-ibu di kampung. “Yasinan ini supaya ada kegiatan saja. Karena di kampung kita ini tidak ada kegiatan, maka diadakanlah yasinan”, ujar mak Ipin.

Selepas ritual baru yang bernama yasinan ini, muncul beraneka ragam cerita di antara mereka. Ada yang berkisah tentang soal tanah yang belakangan marak diperbincangan di lingkungan Nyerakat. Terdapat juga cerita tentang tafsir agama. Salah satunya mengenai ritus haji, yang menurut mereka tidak usah terlalu sibuk bernafsu naik haji karena di dalam tubuh sendiri sudah terdapat makna dan simbol haji. “Kalau orang tahu ka’bah itu sudah ada dalam diri manusia. Jadi ngapain pergi haji, itu kata orang yang tahu”, kata Beda, salah seorang peserta yasinan.

            Lain mak Beda, lain pula mak Kumala. Menurut Kumala yang mengaku jika tanahnya dibayarkan akan menunaikan haji ke tanah suci, berhaji itu penting untuk menyempurnakan peribadatan seseorang dalam pengabdiannya kepada Tuhan. Selain itu, haji bagi mak Kumala penting supaya menguatkan bahwa ritual bebalai tidak lagi dianggap sebagai praktek syirik.

Boleh jadi bagi orang kampung, yasinan ini adalah sarana untuk menyatukan penduduk. Tetapi boleh juga menjadi semacam tameng untuk menangkal stigmatisasi yang selama ini menimpa komunitas ini. Hal itu bisa dilihat bahwa yasinan ini bersamaan dengan seringnya mak Kumala diundang dalam acara pesta laut yang dikemas oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Bontang di Bontang Kuala.

Stigma atas ritual yang dilakoni oleh komunitas ini ramai berdatangan dari luar komunitas mereka. Misalnya dari MUI Bontang yang terjadi pada 2003 silam. Dalam salah satu item fatwanya, MUI menegaskan bahwa praktek ritual semisal bebalai, ance, dan yang lainnya dianggap sebagai lakon syirik yang melanggar ketentuan agama. Hal ini diamini oleh H. Umar, ketua MUI Bontang ketika dikonfirmasi. ”Kalau ritual itu diyakini membawa kebaikan atau untuk menolak bala atau bencana, maka itu telah menyeret pelakunya kepada pengaburan dan pendangkalan aqidah, bahkan bisa terjerumus kepada kemusyrikan”, kata H. Umar.

Juga pernah suatu ketika ibu Kumala sedang mengobati seorang pasiennya di daerah Melahing, tiba-tiba ada seorang ustadz yang ia sebut seperti orang Arab, memakai jubah dan sering tinggal dari satu mesjid ke mesjid yang lain memperingatkannya bahwa apa yang ia lakukan telah menyalahi syari’at Islam. Bahkan ia berusaha menghalang-halangi Kumala untuk mengobati pasiennya.

Pandangan bernada miring itu dibantah oleh komunitas Bontang Kuala maupun warga Nyerakat. Menurut mereka ritual yang menggunakan orang halus tidak bisa dianggap sebagai musyrik, karena bagi mereka meminta sesuatu tetap ditujukan kepada yang Maha Kuasa.

“Ada orang mengatakan bahwa perbuatan orang Bontang itu musyrik. Kita ini tidak meminta kepada si Bambo, kepada daun-daun. Mereka tidak tahu, sebab adat seperti ini di mana-mana ada, di Jawa, Sulawesi”, kata seorang pria asal Sulawesi yang menikah dengan orang Bontang Kuala.

 Hal yang sama juga dikatakan pak Masdar yang juga suami Kumala, bahwa dalam mengobati, permintaan ditujukan kepada Tuhan untuk menunjukkan kekuasaannya dengan menyembuhkan orang ini lewat mantra-mantra, bukan meminta kepada syaithan dan bukan juga kepada patung.

Bahkan HAAT. M. Nasir Makkaraka (HAAT singkatan dari Haji Andi Aji Tan yang melambangkan percampuran tiga etnis: Bugis, Kutai, dan Cina), salah seorang tokoh komunitas Bontang Kuala, malah mencurigai orang-orang yang mengatakan bahwa praktek kebudayaan seperti bebalai ini sebagai musyrik itu malah yang tidak memahami agama dengan baik. ”Saya sebagai pelaku budaya di Bontang Kuala sini tidak pernah melarang orang lain untuk shalat, sebaliknya malah menganjurkannya. Bahkan yang ironis, ada orang yang rutin shalatnya tetapi tidak baik hubungan sosialnya dengan sesamanya, korupsi di kantornya, dan segala perbuatan tak terpuji lainnya. Jadi ibadah itu hanya sebagai kedok yan tidak berpengaruh sama sekali pada perilaku hidupnya. Mestinya ini yang mendapatkan perhatian oleh MUI, bukan mengurusi kebudayaan kami”, demikian H. Nasir.

”Termasuk kalau kita mau jujur sebenarnya, kemusyrikan itu berbarengan hadirnya dengan modernitas. Dengan masuknya proses modernisasi, nelayan mulai pintar mem-bom ikan, karang, yang sesungguhnya itu merusak lingkungan. Sebenarnya itulah yang menyalahi ajaran agama. Jadi kita juga dituntut untuk menafsirkan agama kita sesuai dengan konteks kehidupan kita. Jadi menurut saya, kemusyrikan itu tidak semata persoalan teologis, tetapi juga sosial”, tegas pak Nasir.

Beliau juga menegaskan bahwa fungsi kebudayaan itu pada dasarnya meneguhkan agama. Bagi orang Nyerakat dan Bontang Kuala, bebalai diyakini sebagai ritus untuk mendekatkan atau bahkan menyatukan manusia dan alam sekitarnya. Dan ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip utama agama Islam yang sangat menekankan pentingnya penghargaan terhadap alam. Dengan bebalai diharapkan laut akan bermurah hati memberikan ikannya bagi para pelaut, bumi menjadi subur sehingga padi dan tanaman lainnya bisa menghasilkan dengan baik.

Dan diyakini jika tidak dilakukan, akan mendapat petaka bagi orang yang tinggal di kampung. Bahkan Masdar mengatakan bahwa apabila lalai, apalagi tidak melaksanakannya pasti ada saja anak-cucu kami yang terkena ”kelainan” yang tidak bisa disembuhkan oleh siapa pun. ”Di bawah keluar masuk rumah sakit, tidak apa-apa kata dokter. Tetapi kalau sudah dilaksanakan bebalai, hanya sekedar dipercikkan air putih pasti sembuh” ujar Masdar lagi. Hal inilah yang sering dijadikan pembenar bagi orang luar, bahwa syaithan dan roh-roh jahat sering mengganggu kampung mereka agar terus menerus meyakini ritual ini.

Di Nyerakat dan Bontang Kuala ada beberapa ritual yang masih bertahan. Di antaranya bebalai, ance, dan samper yang biasanya dilaksanakan setiap tahun. Selain itu, ada juga ritual yang dapat dilakukan setiap saat, misalnya buang pisang (larung pisang), mandi buyu (mandi penyakit untuk anak bayi), dan mandi pesili (mandi tolak bala bagi pengantin baru). Sering juga disebut sebagai mandi bunga yang konon ritual ini berasal dari orang-orang Bugis.

Mandi ini diyakini sebagai tradisi perkawinan sebelum datangnya Islam. Bagi warga Nyerakat, mandi bunga menjadi sebuah keharusan bagi setiap pasangan pengantin baru. Jika tidak akan memunculkan banyak keburukan semisal bercerai, dan sakit keras seperti gila.

Cerita tentang mandi bunga ini bagi saya punya kesan tersendiri. Suatu hari di saat saya dan mak Kumala menunggu orang dari Tanjung Laut (orang-orang kota) untuk melaksanakan mandi pesili yang sakral itu, terpaksa harus dibatalkan lantaran mereka mendapat musibah. Mobil yang rencananya akan dipakai ke Nyerakat ditabrak orang. Jadilah mereka mengurungkan niatnya untuk mandi pesili di hari Ahad tersebut.

Konon, mereka tidak ziarah kubur sebelum berangkat mandi pesili. Makanya mereka urungkan niat untuk sementara dan belum ada hari yang pasti untuk mandi bunga bagi pasangan yang sudah masing-masing pernah kawin sebelumnya ini.

Mereka ingin dimandi pesili. Pasalnya punya pengalaman buruk seputar tidak dilakukannya mandi yang sarat dengan bunga ini. Riwayat perkawinan Masriah yang masih keponakan mak Kumala dengan suami pertama dan keduanya berakhir dengan perceraian. Diyakini, tidak rukunnya keluarga Masriah ini lantaran tidak melakukan mandi pesili pada saat perkawinannya.

Kini ia sadar akan kelalaiannya. Meski agak terlambat di saat ia akan bersuami untuk yang ketiga kalinya dengan pria asal Mandar, Masriah ingin dimandi pesili dengan suami barunya yang bergelar Doktorandus –yang menjadi olok-olokan orang di kampung–. Ini dikarenakan di saat memperkenalkan dirinya kepada orang-orang di kampung untuk pertama kalinya, sang Doktorandus memperkenalkan dirinya yang dimulai dengan gelarnya itu. “Kalau saya pak, Drs. salam”, ujar suami Masriah. Rupanya orang-orang di Nyerakat sensitif dengan istilah macam itu. Ini terkait soal stigmatisasi bahwa orang kota punya pendidikan, sementara desa tempat menempa kehidupan dipandang sebaliknya.

Ritual samper terakhir hanya sekali muncul dalam pesta adat pada Desember 2005 lalu. Setelah itu oleh beberapa tokoh masyarakat Bontang Kuala, samper tidak diperkenankan lagi untuk tampil, karena itu bukan ritual yang sejak awal ada dalam rumpung suku Bontang Kuala.

Persoalannya yang semakin menarik dan kompleks karena konon samper juga dilakukan oleh mereka yang mengaku suku Kutai. Tetapi bagi orang luar komunitas yang masih menjalankan ritual samper di kampung Guntung itu, dikabarkan memakai jin kafir dalam laku ritualnya. Kabar itu pula yang membuat tokoh masyarakat Bontang Kuala untuk tidak mengikutkan samper lagi dalam kegiatan pesta laut yang dikemas oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Bontang.

Belakangan tokoh masyarakat Bontang Kuala, seperti H. Nasir yang juga pegawai di Kesbang Linmas Bontang, tidak mau kegiatan yang sudah ada semenjak tahun 2000-an itu disebut pesta, lantaran dianggap istilah pesta terkesan poya-poya.

Pernyataan bahwa orang-orang Guntung yang melakonkan ritual samper dengan memakai jasa jin kafir ingin menguatkan bahwa orang-orang Nyerakat dan Bontang Kuala masih setia dengan apa yang mereka sebut sebagai sahabat (jin Islam). Argumen macam ini digunakan untuk menyatakan bahwa ritual bebalai dan ance tidak mencemari apalagi mendangkalkan agama. Bahkan boleh jadi, menjalani agama pada tingkatan yang lebih tinggi seperti apa yang dikatakan pak Masdar sebagai ma’rifatullah.

Boleh jadi, stigmatisasi dari luar terhadap komunitas Nyerakat dan Bontang Kuala terletak pada interpretasi mereka terhadap apa yang disebut agama. Agama bagi mereka adalah praktik bagaimana manusia berbuat baik. Bukan bagaimana manusia mempraktekkan simbol-simbol peribadatan secara kaku. Sembahyang bukan untuk dipamerkan bagi manusia. “Sembahyang itu kan untuk bukti saja, dan kegiatan saja”, ujar Kumala.

Ketika ditanya adakah orang luar seperti penceramah agama yang sering menyinggung soal ritual bebalai. Mak Bian yang juga pelaku utama ritual menjelaskan bahwa selama ini belum ada yang dia ingat. Malahan kebanyakan menganjurkan supaya adat terus dipertahankan. Seperti anjuran seorang ustadz pada bulan puasa, bahwa agama dan adat berjalan bersama. “Biar juga mengerjakan adat, tetap juga sembahyang”, ujar sang ustadz seperti yang ditirukan mak Bian. Meski demikian, ada saja yang menganggap bahwa ritual mereka adalah praktek iblis. “Kayak mereka lihat iblis saja, ini karena mereka tidak paham saja”, lanjutnya.

Tak mengenal lebih jauh tentang ritual orang-orang Nyerakat jelas menjadi faktor utama tudingan yang bernada minor itu. Seperti yang dikisahkan Kumala. Ia mengaku menggunakan patung manusia yang menjadi syarat untuk pengobatan. “Penyakit jin kafir diganti (disimbolkan) dengan patung, baru kita bisa obati sambil dikatakan kesembuhan ini diganti dengan patung”, kata Kumala menyindir penceramah yang di radio kebetulan sedang membahas patung. Baginya sulit menjelaskan kepada ustadz-uztadz itu karena kebanyakan dari mereka tidak mempercayai pengobatan ala bebalai ini. “Kebanyakan yang tidak percaya orang Muhammadiyah”, ujarnya.

Begitu juga pandangan mak Bian terhadap para ulama atau ustadz yang sering menyindir ritual mereka sebagai penyakit TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat). Tetapi mak Bian mengaku tidak satu orangpun ulama yang pernah mengatakan bahwa laku ritual mereka mencemari ajaran agama Islam. “Ulama yang benar-benar ulama tidak pernah menyinggung soal adat ini, malahan menganjurkan supaya mempertahankan adat, ya kecualilah ulama-ulamaan dan ustadz-ustadzan yang sering mereka anggap sebagai praktik memanggil syaithan”, kata mak Bian disambut tawa.

Bantahan yang sama juga datang dari mak Kumala, yang mengatakan bahwa adat itu bukan hanya milik manusia biasa, tetapi Tuhan dan Nabi sekalipun memiliki apa yang disebut adat. “Mana bisa dilarang, sedangkan Tuhan dan Nabi saja punya adat. Mana ada kita (manusia) jika Tuhan tidak memiliki adat”, kata mak Kumala, yang orang-orang kampung menyebutnya mak Malak.

Bagi komunitas yang sudah campuran ini mengaku bahwa kampung mereka penuh dengan pesona keghaiban. Mereka meyakini kampung ini juga dihuni oleh orang-orang halus dan orang gelap. Tugas orang-orang kampung bagaimana memberi tahu (bersahabat) dengan mereka lewat ritual. Seperti kejadian yang menimpa mobil bouldoser pekerja jalan batubara yang macet tanpa akibat yang jelas. Setelah ditaburi beras kuning dan melepas satu ekor ayam baru alat pendorong tanah itu bisa beroperasi kembali.

Lain bebalai, lain pula nurungkan (larung) pisang. Bebalai adalah ritual tahunan yang diperuntukkan bagi semua suku Bontang Kuala, yang saat ini terpencar-pencar di berbagai tempat, seperti di Nyerakat, pulau Selangan, dan di kota Bontang sendiri. Sementara nurungkan pisang menjadi ritual yang khusus buat keluarga yang mau membayar niat mereka yang pernah diobati secara adat, lalu diniatkan untuk melarung pisang ke sungai atau ke laut untuk persembahan kepada leluhur yang telah dijanjikan di saat pengobatan. Melarung pisang  dilaksanakan setelah pasien dinyatakan sembuh.

Hubungan kuat antara roh leluhur sangat jelas terasa dalam benak komunitas suku Bontang Kuala ini. Saya menyaksikan bagaimana mak Bian terlihat sedih ketika ia menceritakan bagaimana masa lalu orang tuanya dalam melaksanakan ritual. Terutama di saat bapaknya masih hidup yang mengobati orang dengan menggunakan tarian serta mayang dan mantra. “Saya kalau cerita seperti ini tidak tahan, saya rasanya sedih ingat bapak saya”, ujarnya.

Jelas terasa juga bahwa ritual ini kebanyakan berhubungan dengan roh-roh leluhur. Dan hampir semua yang saya ajak ngobrol tentang ritual mereka, selalu ada ungkapan yang mengatakan bahwa jika mereka tidak memelihara adat ini, pasti ada salah satunya yang tertimpa sakit keras. Itu sebagai balasan jika mengabaikan apa yang dulu pernah dipraktekkan oleh para leluhur mereka.

Kepercayaan atas leluhur ini menjadi ciri tersendiri bagi masyarakat Nyerakat di tengah gempuran modernitas yang menafikan nalar seperti ini. Konon mereka punya keturunan dan punya leluhur seperti buaya. Entah seperti apa riwayatnya. Tetapi menurut mereka manusia punya hubungan dengan buaya.

Hal itu dapat dikenali di saat upacara berlangsung. Orang-orang yang terlibat dan punya hubungan dengan roh leluhur biasanya ia lalu trance, sambil menari-nari. Keturunan mereka dikenali dengan gaya masing-masing. Jika ia menari seperti buaya, maka akan disebut punya hubungan leluhur dengan buaya. Dalam keadaan trance seperti itu, orang-orang dapat berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh leluhur mereka.

 

Pertemuan tafsir                                          

Kebanyakan penduduk Nyerakat berasal dari suku Bontang Kuala. Tidak sedikit dari mereka lalu kawin-mawin dengan suku yang bukan dari kalangan mereka. Pertemuan ini membuat ragam interpretasi tentang agama. Perlakuan terhadap anjing misalnya. Seorang perempuan muda bersuku Banjar mengaku selalu memperingati suaminya yang asli Nyerakat, agar menjauhi anjing karena mahluk seperti itu adalah najis.

“Bagi saya, anjing selain karena banyak virus penyakitnya, ia juga dinyatakan najis oleh agama”, ujar Janar yang beranak dua. Tetapi apakah pandangan dia sama dengan yang lainnya. Bagi sebagian warga, anjing dijadikan binatang piaraan untuk dijadikan sebagai penjaga kebun.

Selain tafsir agama tentang keseharian seperti anjing, tafsir mengenai ritual juga dikelolah dengan apik oleh koumintas ini. Bebalai dan ritual lainnya semisal membuang pisang selalu diakhiri dengan membaca doa-doa ala Islam. Suatu saat saya menyaksikan ritual membuang pisang diakhiri dengan membaca doa-doa Islam. Ritual ini dilakukan untuk membayar niat setelah sembuh dari penyakit yang diderita.

Jika Kumala bermantrakan bahasa yang selain Arab, pak Masdar mengakhiri dengan do’a yang dimulai dengan pembacaan Al-Fatihah lengkap dengan do’a selamat dunia dan akhirat. Doa juga sebagai penyempurna dari rangkaian ritual. ”Mana bisa kalau tidak ada do’anya, kalau membuang pisang tanpa do’a, ya sama saja membuang sandal begini tanpa makna apa-apa”, ujar mak Malak sambil menunjuk sandal yang dimaksud.

Entah sejak kapan do’a-do’a ala Islam ini dilakukan. Yang jelas sudah lama. Menurut pemimpin utama bebalai ini, sudah sejak dulu do’a untuk menyudahi berbagai ritual yang ada di kampung ini dilakukan. Riwayat tentang berdo’a juga menarik dilihat karena di sana ada semacam ragam do’a yang dipanjatkan. Salah satunya memohon kepada Tuhan agar acara ini diberikan pahala dan diberi berkah serta keselamatan bagi semua yang hadir dalam ritual.

     

Komodifikasi kebudayaan dan negosiasi

                                                                                               

Salah satu pilar pembangunan yang dicanangkan pemerintah kota Bontang adalah pengembangan kawasan yang disebut sebagai Bontang Lestari. Dalam memenuhi ambisi tersebut, maka kawasan yang memiliki 18 RT. yang dulu dikenal sebagai desa Sekambing dijadikan sasaran pembangunan.

Seiring dengan pengembangan kawasan Bontang Lestari yang ditandai dengan dibangunnya sarana infrastruktur semisal gedung DPRD, dan stadion utama kota Bontang, serta perumahan KORPRI di sekitar Nyerakat, pemeritah daerah juga punya keinginan untuk memberdayakan masyarakat lewat pengembangan kebudayaan tradisi.

Desa-desa yang sejak tahun 2000-an diubah menjadi kelurahan ini, mulai dilirik dan diinstruksikan untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang dulu pernah ada. Bahkan kalau bisa menciptakan kesenian baru yang dapat menjadi tontonan yang menarik.

Pada pertengahan Februari 2007 lalu, pemkot Bontang melalui pak Anas, salah seorang staf kelurahan mendatangi rumah Kumala. Ia meminta untuk meningkatkan kembali acara adat dan menghidupkan lagi tarian jepen, kuntaw (pencak silat), terbangan, hadrah, dan qasidahan. Bahkan ia juga menawarkan renovasi rumah ibu Kumala, agar kegiatan ritualnya lebih ditingkatkan lagi.

“Kegiatan apa saja mau disuruh semua”, ujar Kumala. Tetapi bagi Kumala dan keluarga tidak menjadi soal. “Biasa aja, kalau dibantu pemerintah ya syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa juga”, kata Kumala. Namun baginya dibantu atau tidak, acara adatnya tetap harus berjalan. Bagi Kumala, komunitasnya bukannya tak mengerti apa yang diinginkan oleh pak Lurah itu. Kumala malah menyebut mungkin saja pak Lurah dapat penghargaan juga kalau adat jaman bahari di putar ulang lagi.

 

Mencari gong

 

”Gong pemberian pariwisata jelas tidak dapat digunakan dalam upacara ritual bebalai. Pasalnya bunyi gongnya tidak sesuai yang selama ini dipakai. Sementara peralatan seperti gong dan kelintangan sudah tidak layak pakai lagi”, demikian ujar Masdar.

Olehnya itu, untuk memenuhi kesempurnaan upacara, pada pertengahan Februari 2007 silam, pak Masdar bertandang ke tanah hulu, demi mencari alat-alat upacara bebalai yang sudah mulai rusak. Ia tidak ingin lagi orang lain yang mencarikan peralatan upacaranya, karena sudah pasti salah. “Kita tidak ingin lagi seperti pemberian pariwisata yang tidak rasuk (trance)”, ujar Kumala.

 Dan di Bongan, Kutai Barat, ia mendapati seperangkat alat upacara yang sudah tidak dipakai oleh pemiliknya yang tak lain masih keluarga pak Masdar sendiri. Alat-alat itu bernada dan berbunyi sama yang selama ini mereka gunakan. “Saya ambil alat-alat itu, seperti gong, kelintangan, dan gendang karena tidak ada lagi penerus buyut saya itu. Tetapi saya tetap harus memberikan mereka uang, karena saudara mama saya ada sepuluh bersaudara, makanya saya butuh Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Jadi tiap orang dapat satu juta”, ujar pak Masdar, seorang pria asal tanah hulu yang dulu pernah menjadi salah satu anemer (bos) waktu banjirkap (1966-1969). Ia juga mengaku meski alat-alat upacara yang dulu digunakan hampir sama dengan bebalai, ia tetap juga masih meneruskan tradisi yang sudah dilakukan sejak lama, walau tempatnya sudah di Bontang, tepatnya di Nyerakat.

Ibu Kumala tidak terlalu mau ambil peduli dengan janji pemerintah lewat kelurahan, yang katanya akan membantu pembelian peralatan upacara. “Saya sudah punya niatan untuk membeli alat-alat itu, meski saya harus cari sendiri uangnya”, kata Kumala, yang mengaku menjual tanahnya khusus untuk membeli alat-alat ini. Soal pembelian alat-alat upacara bebalai, belakangan pemerintah kota lewat kelurahan Bontang Lestari rencananya akan memberi bantuan Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), atau setengahnya dari harga total untuk pembelian alat-alat bebalai.

Suatu hari di akhir Maret 2007, saya menemani pak Masdar dan mak Kumala menemui pak Anas di rumahnya di Nyerakat Kiri. Dalam pertemuan itu, pak Anas menjanjikan bantuan untuk membeli perlengkapan bebalai. “Jika sudah mau berangkat ke tanah hulu, beri tahu sebelumnya supaya bisa disiapkan juga dananya yang dari pemerintah”, janji Anas kepada mak Kumala. Di saat itu juga, staf lurah yang bersuku Bugis itu mengaku akan membina budaya yang muncul dalam lingkungan kelurahan Bontang Lestari. “Siapa yang muncul itu yang akan kita bina, kesenian apa saja, misalnya jepenan, hadrah, dan lainnya kita akan selalu memperhatikan, seperti adat bebalai punya mama ini benar-benar ada dan saya menyaksikan sendiri”, ujar pak Anas.

Untuk saat ini, di Nyerakat belum terdapat rancangan yang jelas untuk kesenian dan ritual bebalai. Pak Anas hanya ingin membina dan mengangkat budaya yang sudah muncul. Jika pak Anas mengenal apa yang disebut ritual adat bebalai, pak Lurah malah sebaliknya. Terbukti ketika ditanyai tentang ritual bebalai, ia mengaku tidak mengenal. “Oh, ada ya yang kayak begitu (ritual bebalai red.) di Nyerakat”, kata pak Lurah, yang tidak berani memberi data-data kepada saya karena tidak mengantongi surat izin dari pemkot Bontang.

Ritual untuk menyenangkan orang halus dan negara

            Ritual bebalai yang sudah dilakukan sejak lama diyakini sebagai penyeimbang dalam pandangan kosmologi orang-orang rumpung Bontang Kuala. Karenanya masyarakat seperti di Nyerakat dan sekitarnya akan berbuat apa saja untuk tetap memastikan ritual ini tetap eksis dan berlangsung. Seperti harus menjual sebagian tanah mereka untuk keperluan mengganti alat yang sudah tak layak pakai.

Ada juga cara lain yang mereka tempuh. Salah satunya adalah mengikuti ajakan pemerintah untuk ikut dalam apa yang disebut sebagai pesta laut Bontang yang diadakan semenjak tahun 1996, dan lebih marak lagi ketika masa otonomi daerah. Padahal ritual yang ditujukan buat roh-roh leluhur dan para sahabat itu tidak semestinya dipamerkan dalam ruang pertunjukan semisal pesta laut Bontang Kuala yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Bontang.

Tetapi mak Bian misalnya mengaku mengikuti ajakan itu supaya negara tidak mengganggu ritual yang mereka lakukan. Jadilah pesta adat yang dilakukan oleh pemerintah yang di dalamnya ritual bebalai hanya main-main saja. “Yang sebenar-benarnya ritual, ya seperti yang diadakan di Nyerakat setiap tahunnya ini”, ujarnya.

Meski demikian, mak Bian mengaku sepulang dari bebalai yang “main-main” itu harus meminta maaf kepada roh-roh leluhur dan sahabat (mahluk halus). “Ya kita ikuti saja ajakan pemerinyah supaya mereka jangan melarang acara kita, apalagi ada pitisnya (uang)”, kata mak Bian sambil tertawa geli.

Main-main yang dimaksud mak Bian tentu bukan sepenuhnya main-main, yang sama sekali tidak membawa makna ritus apa-apa. Main-main yang juga dilakukan secara serius itu, untuk meyakinkan pihak negara bahwa mereka punya ritual yang sudah eksis sejak lama yang tentu mengharap juga diakui perannya sebagai bagian dari cara menghayati hidup, dan tak perlu dianggap sebagai praktik yang menyalahi ketentuan apapun.

 Jika di Nyerakat mereka melakukan praktik memperlakukan orang halus supaya jangan mengganggu  manusia, di Bontang Kuala yang bertema pesta laut juga diyakini untuk mengusir roh-rohnya para aparatus negara jangan sampai menghalangi kegiatan adat.

Bagaimana praktik bebalai dalam kemasan pesta laut yang diselenggarakan di Bontang Kuala dengan bebalai yang ada di Nyerakat ?. Dua-duanya dilakukan untuk mengobati pasien bagi siapa saja yang berkeinginan untuk berobat. Selain berobat untuk kesembuhan tubuh manusia, juga diyakini dapat menjaga ekosistem alam. Apalagi Bontang Kuala dan sekitarnya dipenuhi oleh hutan mangrove yang tetap harus dipastikan lestari yang salah satunya melalui ritual bebalai meski itu terkesan dipesan oleh pihak pemerintah kota Bontang.

Yang menarik lagi, tahun ini rencananya bebalai tidak lagi sendiri, tetapi akan ditemani tari-tarian seperti tari gantar dari Tenggarong. Selain gantar yang direncanakan oleh pak Masdar, terdapat juga  tari jepen dari pak Kasim, salah seorang tetua kampung Nyerakat yang juga masih kerabat mak Kumala. “Saya sudah bilangi pak Kasim supaya nanti kita ramai-ramai acara tahun ini”, ujar Masdar.

Boleh jadi hal ini menjadi salah satu strategi untuk tetap memastikan bahwa ini menarik, ramai, dan diminati. Tapi meski demikian, yang utama dalam ritual ini tetap menjaga fungsinya untuk menenangkan orang halus agar tidak lagi membuat manusia sakit.

 

Medis dan tradisi

“Secara pribadi saya tidak sepakat dengan model pengobatan seperti dukun, namun saya juga tidak bisa melarang orang untuk pergi berobat ke dukun. Orang-orang di kampung pun tahu bahwa saya ini hanya jam kerja saja ada di puskesmas. Sementara dukun, dia bisa 24 (dua puluh empat jam)”. (dr. Endang, dokter pukesmas pembantu Nyerakat).

Sejak tahun 1993, puskesmas pembantu mulai hadir di tengah masyarakat Nyerakat. Namun baru 7 (tujuh) tahun terakhir beroperasi secara aktif, seiring dengan perbaikan akses jalan masuk ke Nyerakat. Dan sudah sejak lama pula orang-orang kampung, bahkan seluruh kampung-kampung yang ada di sekitar Nyerakat memakai jasa pengobatan mama Kumala dan suaminya. Bukan saja satu macam penyakit, tetapi mak Kumala juga dikenal sebagai dukun beranak.

Kehadiran puskesmas pembantu di Nyerakat tidak membuat peran mama Kumala ditinggal orang. Bahkan suatu ketika pukul 04.00 Wita subuh, pintu rumah diketuk kencang oleh orang yang meminta jasa Kumala untuk persalinan. Seingat saya, selama seminggu rata-rata ada 4 (empat) orang yang datang mengetuk pintu di tengah malam untuk meminta batuan mama. Ada yang beranak, sakit panas, ada juga yang muntah-muntah. Semua dilayaninya dengan penuh kesabaran dan keteguhan.

Harus diakui bahwa peran mama bukan hanya sebagai dukun yang datang untuk mengobati. Tetapi ia juga sekalian menjadi simbol pengharapan atas penyembuhan segala penyakit. Bukan hanya penyakit jasmani, tetapi juga penyakit kejiwaan. Sepertinya ia bak seorang psikolog yang dapat menenangkan jiwa.

Bagi masyarakat Nyerakat, kehadiran puskesmas pembantu tidak menjadi soal. Malahan bagus. Tetapi mereka tidak sepakat jika kemudian laku ritual pengobatan yang sudah ada sejak dulu, dianggap tidak memiliki peran apa-apa. Apalagi jika sampai ada program yang ingin menghapus praktik pengobatan ala orang-orang Nyerakat ini. “Dua-duanya tidak bisa dihilangkan, kalau tidak bisa di dokter ya di dukun”, kata mak Bian yang mengaku memakai dua-duanya, jasa pengobatan tradisi dan medis. Bahkan menurutnya, dukun lebih berperan banyak daripada dokter. Dukun bisa dipanggil ke mana-mana, sementara dokter tidak memiliki kebiasaan mengunjungi pasiennya.

Seringkali praktik pengobatan yang diyakini oleh masyarakat suku Bontang Kuala, dituding tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Tetapi bagi masyarakatnya malah sangat masuk akal. Mak Bian dapat membuktikannya. Pernah saudaranya, namanya Beda hampir satu tahun mengidap penyakit sakit kepala. Sudah berkali-kali dibawa ke puskesmas, diberi obat segala macam tidak juga sembuh. Seterusnya dibawa ke dokter di kota Bontang juga mengalami hal yang sama.

Dalam diagnosa dokter, Beda dinyatakan tidak mengidap penyakit apapun. Di puskesmas ia juga pernah diberi obat, tetapi  selama ia mengkonsumsi obat itu malah berefek pada penglihatannya yang kabur. Ia mengaku hampir 1 (satu) kilo makan obat dari puskesmas, tidak juga kunjung sembuh. “Tetapi entah bagaimana setelah diobati lewat bebalai sampai hari ini ia tidak lagi sakit”, ujar mak Bian.

Bukan hanya itu, sudah sangat banyak bahkan tak terhitung pasien yang sembuh lewat praktik ritualnya mama Kumala. Lalu bagaimana bisa disebut tidak masuk akal jika sudah terbukti seperti itu?.

Menanggapi soal program pemerintah lewat Bontang Sehat atau yang dikenal dengan program dokter keluarga, masyarakat di Nyerakat merasa oke-oke saja. Jika ada penyuluhan tentang bagaimana hidup sehat ya itu malah dianggap bagus. “Bagus jika ada program seperti itu, jadi masyarakat tahu apa itu kesehatan, disesuaikan dengan bagaimana kami memahami tentang kesehatan”, kata Edi.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh mak Bian, bahwa itu pandangan dokter, meski kita juga punya konsep tentang bagaimana cara hidup bersih dan sehat itu. “Ya itu menurut dokter, bagaimana cara hidup yang sehat, tetapi kan kami juga punya bentuk-bentuk bagaimana berobat, bersih diri dan juga kampung”, jelasnya.

Ada juga pandangan lain dari warga. Menurutnya program sehat keluarga itu sepatutnya bukan hanya ditujukan kepada masyarakat. Dokter dan bidan, bahkan lingkungan puskesmas sepatutnya menjadi contoh bagi masyarakatnya. Jika perlu mereka juga harus belajar cara bagaimana belajar sehat dari masyarakatnya.

”Saya pernah mengusulkan kepada mbak Suster yang bertugas di puskesmas pembantu agar jangan membuang sampah terlalu dekat dengan ruangan puskesmas, apalagi mereka membuang bekas suntikan secara sembarangan di belakang puskesmas, itu kan tidak sehat. Apalagi saya pernah melihat anak-anak bermain-main bekas suntikan itu”, ungkap salah seorang warga yang tinggal di dekat puskesmas. Menurutnya, puskesmas itu tidak berlingkungan sehat. Buktinya pengelolaan sampah dan seringnya anjing keluar masuk dalam puskesmas.

Konsepsi tentang apa yang disebut sehat jelas berbeda antara orang-orang Nyerakat dengan konsep para medis. Mak Bian yang juga salah seorang warga Nyerakat mengaku punya cara sehat tersendiri. Misalnya saja, bagaimana kita menghargai orang-orang halus (mahluk halus). Jika menebang pohon diharuskan melakukan ritual hambur beras kuning, supaya penghuni pohon tidak marah dan mengganggu manusia. “Ya cara sehat yang baik pertama-tama memelihara adat”, ujar mak Bian.

Bagi mak Bian dan warga lain, penyakit bisa saja akibat tubuh manusia yang tidak seimbang akhirnya menjadi sakit. Tetapi juga pengaruh dari luar seperti orang-orang halus. Bisa juga dari leluhur yang menegur dan menagih mereka karena mulai tidak melaksanakan ritualnya. “Jika ritual adat lama tidak dilakukan, ada saja di antara keluarga kami yang sakit”, kata mak Beda. Keseimbangan kehidupan alam, termasuk tubuh manusia dapat dicapai melalui pelaksanaan ritual bebalai dan yang lainnya.

Pandangan kosmologi orang-orang Nyerakat menyebut bahwa ritual dapat menyeimbangkan segalanya. Penghuni sungai, karang, laut, hutan, bisa ditenangkan dengan ritual bebalai dan memberi makan kampung. Menghambur beras kuning menjadi salah satu cara untuk menenangkan orang-orang halus supaya tidak menggangu manusia. Hal itu pula yang menjadikan komunitas ini menjadikan warna kuning menjadi tanda pertemanan dengan mahluk halus. Jangan heran, di Nyerakat terdapat di setiap sudut rumah bendera warna kuning berukuran kecil, tinggi sejengkal sebagai tanda persahabatan bahwa rumah itu tidak diganggu oleh mahluk halus.

Kenyataan ini membuktikan bahwa negara seringkali keliru dalam memandang masyarakatnya. Salah satunya dilihat dari rencana program dokter keluarga di Bontang. Bagi pemerintah, posisi masyarakat adalah sebagai kelompok yang mesti diajari dan diberi pemahaman tentang bagaimana konsep bersih dan sehat. Padahal mereka juga punya konsep bersih dan sehat yang berbeda sama sekali dengan konsep pemerintah.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian