Membincangkan (Kembali) Masyarakat dan Hutan Adat; Catatan Diskusi Desantara

Ari Ujianto | 3 - Sep - 2013

Diskursus  dan gerakan sporadis masyarakat adat di Indonesia sebenarnya sudah mulai pada1980-an, tapi gerakan mulai terorganisasi ketika dimulai Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama pada  Maret 1999.  Empat belas tahun setelah itu, masyarakat adat dan pelbagai isu yang terkait dengannya masih terus nyaring terdengar, setidaknya dalam beberapa tahun ini pelbagai kebijakan atau rencana kebijakan yang diambil oleh aparatus negara terkait masyarakat adat. Misalnya, pada 2012 lalu, tepatnya pada bulan Mei ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi  Undang Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan oleh  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas masyarakat adat, yakni Kesatuan Masyarakat Kukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu.  Melalui putusan itu, telah diakui hutan adat sebagai hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, yang di pasal 1 ayat 6 sebelumnya menyebutkan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.

Selain putusan MK terkait hutan adat tersebut, ditetapkannya RUU Pembalakan Liar menjadi Undang Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) pada tahun 2013 ini juga membuat masyarakat adat kian dibicarakan. Undang undang ini dikhawatirkan akan mengkriminalisasi masyarakat adat yang sehari-harinya memanfaatkan dan bergantung pada hasil hutan secara langsung. Walaupun pemerintah buru-buru membantahnya, karena memang tidak dimaksudkan untuk itu.

Selanjutnya, ada lagi yang sekarang masih digodog di DPR dan belum kelar-kelar yakni RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Untuk RUU Desa, memang tidak secara langsung bicara tentang masyarakat adat, tapi sedikit banyak akan berimbas pada masyarakat adat karena ada pasal yang mengatur tentang desa adat. Dan desa adat tersebut ada dalam sub-ordinasi pemerintah daerah. Sedangkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, ada pelbagai pihak yang mengajukan draft RUU, setidaknya AMAN dan Komnas HAM. Informasi lain menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga berniat juga membuat draft RUU Masyarakat Adat.

Di tengah hiruk pikuk pembicaraan tentang hutan adat dan masyarakat adat, Yayasan Desantara mengundang beberapa narasumber yang selama ini berkecimpung dan berinterkasi dalam persoalan-persoalan terkait hutan adat maupun masyarakat adat dalam diskusi internal pada bulan Ramadhan lalu, agar ada gambaran masalah serta kemungkinan-kemungkinan solusi yang bisa ditawarkan. Narasumber yang diundang yakni, Emil Kleden (mantan sekretaris pelaksana AMAN, sekarang aktif di Forest Peoples Programme), dan Darmanto (Antropolog, penulis buku “Berebut Hutan Siberut”, terbitan KPG tahun 2012). Kami juga mengundang Andi Mutaqqien, S.H.( aktifis ELSAM dan salah satu anggota Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara), untuk memberikan informasi paska keputusan MK terkait hutan adat tersebut.

Dalam diskusi tersebut, Emil Kleden memaparkan begitu banyak problematika yang perlu dijelaskan dalam kaitan putusan MK terkait hutan adat, Undang-Undang P3H, dan juga RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Problematika tersebut menurutnya, sudah disadari sejak tahun 90-an ketika gerakan masyarakat adat mulai menggeliat. Bahkan Emil mengusulkan adanya keputusan politik untuk mengatasinya. Misalnya terkait status hutan adat paska putusan MK, dimana MK menyatakan bahwa tetap ada dua status hutan, yakni hutan negara dan hutan hak (untuk konservasi, lindung, atau produksi), sehingga hutan adat dimasukkan dalam hutan hak. Ini berbeda dengan pandangan AMAN, yang menyatakan bahwa hutan adat statusnya berbeda dengan hutan negara dan hutan hak, jadi ada irisan lagi antara status hutan negara dan hutan hak. Untuk itu menurut Emil, harus ada kesepakatan soal status ini, sekaligus cakupan wilayahnya.

Problematika lainnya, adalah belum jelasnya tentang konsep dan definisi masyarakat adat itu. Jadi, sebelum ada kesepakatan soal hutan adat itu, subyeknya dulu juga harus jelas. Dengan kata lain, yang disebut dengan masyarakat adat harus jelas dan sebaiknya ada keputusan politik mengenai itu. Selama ini masih ada perbedaan dari pelbagai kelompok masyarakat sipil  mengenai definisi masyarakat adat.  AMAN mempunyai definisi sendiri, seperti yang ada dalam draft RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat versi AMAN.  Sepanjang belum ada kesepakatan atau putusan politik soal definisi masyarakat adat, maka hal-hal yang terkait dengan masyarakat adat, hutan adat misalnya, menjadi tidak jelas juga definisi dan wilayahnya.  Jika RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sudah ditetapkan, dan ada kelejasalan soal apa itu masyarakat adat, maka putusan MK soal hutan adat itu bisa dioperasikan dengan baik.

Problematika soal konsepsi masyarakat adat itu terkait juga dengan konsepsi menurut hukum internasional atau kajian akademik mengenai indigeneous people, yang menjelaskan bahwa status sebagai Indigeneous people mensyaratkan dua hal : self-identification dan identification by other. Itu dua yang komplementer dan tidak bisa dipisahkan. Jadi kalau ada klaim tentang masyarakat adat, tentu harus ada yang disebut bukan masyarakat adat. Menurut Emil, klaim soal self identification ini sangat berat, belum lagi klaim bahwa mereka dinamis, yang artinya mengikuti perkembangan jaman. Yang juga berarti dinamis dan sama dengan semua masyarakat yang lain. Lantas, apa yang menjadi keunikan dan membedakan dengan masyarakat dominan? Inilah salah satu konsepsi yang belum clear soal masyarakat adat.

Selanjutnya Emil menawarkan membuat kriteria masyarakat korban yang dipisahkan dengan sejumlah hal. Salah satu faktor waktu itu adalah hubungan dengan tanah. Misalnya kriteria soal livelihood mereka bisa dihitung, misalnya, yakni seberapa besar ketergantungan mereka terhadap tanah. Soal pangan misalnya, di Jakarta ini sudah makan nasi yg melewati banyak rantai. Hal-hal seperti ini bisa diukur dan dikuantifikasi. Jika dikaitkan dengan masyarakat korban, yang secara kultural mereka dibentuk oleh lingkungan alam, yang kita tahu mereka hidup di sekitar hutan atau di sekitar perairan, atau di padang gurun, maka sudah bisa dibedakan dengan kultur kota.

Apa yang disampaikan Emil tersebut tak lepas dari pembelajaran dari gerakan masyarakat adat di Amerika Latin. Menurutnya, yang paling clear soal definisi dan kriteria masyarakat adat atau indigeneous people adalah di Amerika Latin.  Mereka mengkontekstualisasikan indigeneous people menurut pengertian internasional dengan kondisi mereka. Mereka menyebut masyarakat adat itu adalah petani. Ini karena masyarakat petani yang selama ini bersentuhan atau mengelola tanah, air dan hutan secara langsung. Keterkaitan dengan tanah, ini mempengaruhi kultur dan lain-lain dari sebuah masyarakat.

Darmanto juga mengamini tentang definisi masyarakat adat yang memang problematik. Selain itu,  menurutnya artikulasi masyarakat adat juga tidak tunggal, bermacam-macam. Misalnya AMAN sendiri melepas kategori masyarakat adat yang tidak perlu didampingi seperti di Medan dan Sumatera Barat, karena Batak dan Minang itu jauh lebih kuat memposisikan dirinya dengan negara. Di Mentawai, putusan MK ini tidak memberi pengaruh apapun antara sumberdaya dengan masyarakatnya. Karena menjadi masyarakat adat itu tidak menjadi pilihan daripada menjadi warga negara.

Pada 1996 sampai 2001, artikulasi masyarakat adat ini bisa menjadi siasat untuk menegaskan orang Mentawai sebagai warga negara, tetapi ketika otonomi daerah masuk dan sukses, kategori masyarakat adat mulai ditinggalkan. Mereka menganggap dirinya tak lebih dan tak kurang seperti warga negara lainnya. Ini sebabnya AMAN Mentawai selalu mengalami kendala, salah satunya karena pengikutnya semakin berkurang. Ini menjadi problem pengakuan , karena pengakuan terkait dengan pihak lain yang memberikan pengakuan.

Artikulasi yang beragam ini memang menjadi salah satu kekuatan sekaligus sumber kritikan untuk gerakan masyarakat adat, selain sifatnya yang terkesan mengeksklusi kelompok lain. Tetapi di akar rumput, sekelompok masyarakat pintar menyiasatinya sehingga tidak memberi eksklusi terhadap orang di luar adat. Misalnya masyarakat Katu, di Sulawesi Tengah, demikian juga juga di Sulawesi Utara.

Kritikan lain terhadap gerakan adat adalah miskinnya analisis kelas. Hal ini terkait juga kenapa tidak menggunakan istilah rakyat, sehingga elite capture/pembajakan elit terhadap isu ini juga kuat. Misalnya di Kutai, dengan rencana membentuk kerajaan Kutai yang di dalamnya nanti ada kementerian khusus kehutanan, ini . Ini tanttentu tantangan tersendiri bagi gerakan masyarakat adat. Pembajakan elit  ini memang berbahaya, sehingga lembaga-lembaga yang concern terhadap masyarakat adat seperti AMAN harus lebih jelas menentukan kelompok mana yang menjadi fokus. Kalau landasan dan fokusnya masyarakat korban, pasti sangat relevan.

Kembali ke persoalan tentang putusan MK soal hutan adat, menurut Darmanto, putusan MK ini tentu bisa menjadi peluang untuk menjadi subyek tertentu di masyarakat Indonesia. Tapi di level birokrasi, hutan adat itu tidak pernah bisa berdiri sendiri, ia dilekati oleh status hukum yang lain. Ada banyak departemen yang mengurusnya, misalnya selain departemen kehutanan juga departemen pertambangan. Ini problem yang harus dilihat ke depan, karena ada euforia paska putusan MK, yang melihat hutan adat dilepaskan dari hutan negara atau dilepaskan dari yurisdiksi kementerian kehutanan tapi belum tahu pihak mana yang akan mengurus setelah ini. Peluang paling besar di Depdagri. Apalagi sudah banyak contoh bagaiman kerjasama Depdagri dengan masyarakat lokal, sehingga ini akan menajdi pertimbangan.

Masih banyak pekerjaan rumah terkait putusan MK ini, untuk itu, menurut Andi, perlu segera  dilakukan pertemua yang intensif antara AMAN dengan kuasa hukum maupun NGO yang concern soal ini untuk merumuskan implementasi dan tindakan lebih lanjut yang bisa diambil. Karena beberapa pihak, bahkan pemerintah sendiri tanggapan soal putusan MK ini, dalam hal ini UKP4, terkesan sangat baik. Mereka mengundang AMAN dan beberapa NGO lain untuk bicarakan putusan MK ini dan bagaimana implementasinya. Juga ketika pembahasan RUU P3H, beberapa kali ada perdebatan tentang apa yang bisa diambil dari putusan MK 35 dan 45 ini. Walaupun dalam draft akhir RUU P3H yang ada hanya putusan MK 45. Yang perlu dicermati juga menurut Andi adalah RUU Pertanahan yang sekarang sudah ramai, karena pasti akan terkait dengan putusan MK ini juga. Dengan demikian, persoalan hutan adat dan masyarakat adat akan terus menjadi perbincangan dalam dalam beberapa tahun ke depan.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar