Pelatihan Penelitian Sosio-legal di STH Galunggung, Tasikmalaya

Ari Ujianto | 3 - Jul - 2013

Walaupun sudah mulai diperkenalkan di pelbagai kampus besar di Indonesia, tapi studi sosio-legal memang belum populer. Kajian sosio-legal sebenarnya kelanjutan dari para pendahulunya (sosiologi hukum, studi hukum kritis, dll) yang melakukan kritik atas pemikiran hukum liberal atau gerakan pembangunan hukum yang monolitik terbukti gagal dalam menjawab pelbagai persoalan keadilan, khususnya terkait kaum terpinggirkan. Dengan kata lain, selama ini telah terjadi jarak yang lebar antara cita-cita hukum doktrinal dengan realitas.

Dengan melihat kegagalan dalam ranah teroritikal dan praktikal sekaligus , studi sosio-legal menawarkan pendekatan yang multi atau interdisipliner yang bisa menjelaskan secara menyeluruh hukum dalam norma atau doktrinnya sekaligus bekerjanya dalam kenyataan sehari-hari. Dengan demikian studi sosio-legal mencairkan polaritas antara ilmu hukum normatif/dogmatik dengan ilmu hukum empirik atau ilmu-ilmu sosial. Pendekataan seperti ini tentu tidak mudah, tapi jelas penting.

Mengingat pentingnya mempelajari dan menguasai studi ini, khususnya di kampus-kampus, Desantara Foundation bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) Tasikmalaya melakukan pelatihan penelitian sosio-legal ini pada 27-29 Juni 2013 lalu. Pelatihan diikuti 10 dosen atau staf pengajar STHG, dengan fasilitator Rikardo Simarmata, PhD. Rikardo merupakan doktor lulusan Leiden University, Belanda yang selama ini concern dan serius melakukan kajian dengan pendekatan sosio-legal.

Materi pelatihan tiga hari tersebut dibagi dalam dua kerangka besar : (1) Sejarah, Paradigma dan Teori studi sosio-legal; (2) Metode Penelitian Sosio-legal. Untuk bagian pertama, dibagi ke dalam 7 topik bahasan, sedangkan yang kedua dibagi dalam 4 topik bahasan.

Pada hari pertama, pelatihan dibuka oleh sambutan ketua STHG H.Yeng D.S Partawinata, S.H.,M.H. Dalam sambutannya, Partawinata menekankan kembali gagasan dan rencana STHG mendirikan pusat studi dan riset humaniora. Agar upaya ini terealisasi, maka diperlukan tenaga atau staf akademik yang mempunyai kemampuan dalam melakukan riset serta menuliskannya secara ilmiah. Dan pelatihan kali ini adalah langkah awal menuju ke sana. Setelah sambutan Partaninata, acara pelatihan kemudian dimulai.

Materi hari pertama difokuskan pada 3 topik bahasan, yakni Pengantar Studi Sosio-legal, Paradigma studi Sosio-legal, Kritik Studi Sosio-legal terhadap Studi Hukum Doktrinal. Dalam pengantar dijelaskan bahwa ada variasi pemahaman atas istilah sosio-legal, setidaknya ada dua pemahaman. Yang pertama menyebut studi sosio-legal adalah nama lain dari kajian hukum dan masyarakat. Pemahaman kedua menyebut studi sosio-legal berbeda dengan kajian hukum dan masyarakat. Yang pertama dan kedua sama-sama punya alasan dengan pemahaman seperti itu. Tapi dalam pelatihan ini, kita cenderung sepakat dengan pemahaman yang kedua.

Walaupun ada dua variasi pemahaman, tapi semua itu sama-sama mengkritik studi hukum doktrinal. Secara detail kritikan sosio-legal dibahas dalam sessi terakhir di hari pertama pelatihan. Intinya, kritikan tersebut bisa diurai dalam 3 topik : definisi hukum, peranan norma hukum dalam keteraturan berbasis norma, dan cara hukum bekerja. Dalam kritikan di tiga topik tersebut kita tidak bisa lepas dari jasa dari sosiologi dan antropologi hukum.

Hari kedua dimulai dengan review materi hari pertama. Setelah itu disambung dengan materi studi sosio-legal dalam sosiologi dan antropologi hukum. Tak bisa dipungkiri bahwa sosiologi hukum sebagai disiplin ilmu telah memelopori studi hukum dalam gejala empirik. Maka tak heran pembahasan soal law in the book dan law in action mengemuka dalam kajian sosiologi hukum, disamping soal hukum dan perubahan sosial, serta efektifitas dan kepatuhan hukum. Dalam materi studi sosio-legal dalam sosiologi hukum, kita tidak bisa lepas dari sumbangan Roscoe Pound dengan konsep law in action dan Eugen Ehrlich dengan konsep living law. Konsep living law ini kemudian mengilhami munculnya pluralisme hukum dalam antropologi hukum.

Seperti yang telah disinggung di awal, studi sosio-legal menawarkan pendekatan multi atau interdisiplin. Dengan begitu disiplin ilmu yang dipakai harus berkedudukan sejajar. Selama ini masih ada debat apakah studi dogmatik terhadap hukum merupakan ilmu pengetahuan seperti ilmu-ilmu sosial. Untuk itu ada dua hal yang bisa dilakukan agar studi hukum berkarakter ilmiah : menggunakan pendekatan ilmu sosial, atau mengembangkan studi yang dilakukan teoritisi hukum. Artinya, ini sejalan dengan pendekatan sosio-legal. Materi kedudukan hukum doktrinal dalam studi-sosio legal ini menjadi jembatan sebelum masuk ke hal yang praktis yakni penggunaan metode sosio-legal dalam penelitian, yang akan dibahas di hari ketiga.

Di hari ketiga pelatihan, pembahasan dan diskusi difokuskan pada hal yang konkrit, yakni pembuatan proposal penelitian, walaupun tetap diawali dengan review dan paparan singkat tentang metode. Berangkat dari draft rancangan penelitian dari peserta pelatihan, yang sudah diminta untuk dibuat pada awal pelatihan, dipresentasikan satu per satu, kemudian peserta dan fasilitator memberikan masukan terhadap draft tersebut. Ada beragam tema yang dipresentasikan, tapi semua mencoba menggunakan pendekatan sosio-legal. Ada yang mau meneliti problem pemindahan aset dari pemekaran wilayah kota Tasikmalaya, ada juga yang memilih riset tentang prinsip perkawinan menurut Undang-undang No 1 tahun 1974, dan yang menarik juga ada yang akan meneliti tentang SKB tiga menteri dan Implikasinya terhadap Jamaah Ahmadiyah di Tasikmalaya. Setelah diberi masukan oleh fasilitator, peserta diminta memperbaiki berdasarkan masukan, dan proposal yang sudah diperbaiki harus dikirim ke fasilitator lagi dalam kurun waktu dua minggu setelah pelatihan.

Pelatihan ditutup dengan menyusun rencana tindak lanjut, yakni tahap-tahap dari memperbaiki proposal, kemudian penelitian, dan terakhir menuliskan hasil penelitian. Sebelum menuliskan hasil riset, akan dilakukan pelatihan singkat bagaimana menulis ilmiah di jurnal. Dengan demikian pelatihan yang dilakukan benar-benar menghasilkan tulisan ilmiah sekaligus mengaktifkan kembali jurnal yang dimiliki STHG. Selanjutnya, seluruh proses ini diharapkan akan menunjang realisasi pengembangan pusat studi dan riset humaniora di STHG Tasikmalaya.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar