Komunitas Karampuang: Bertahan Mengawal Tradisi

admin | 24 - May - 2008

Dianugrahi kesuburan tanah pertanian dan kesegaran alam dengan hijaunya pepohonan tidak lantas membuat masyarakat adat Karampuang hidup tentram loh jinawi, ada riak kontestasi yang tengah bergulir seiring dengan upaya pemerintah daerah yang berencana mengembangkan proyek pemberdayaan dengan orientasi pariwisata, belum lagi tekanan agama resmi yang ingin memberi warna pada ragam adat tradisi yang selama ini dipegang teguh dan menjadi pedoman hidup mereka.

Komunitas adat yang berdiam di desa Tompobulu kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai, seperti komunitas lainnya di Sulawesi Selatan memiliki kekayaan tradisi dan keunikan serta keragaman interpretasi yang memukau dalam mencitrakan dirinya, relasi antar manusia, dengan tuhan dan semesta. Dalam hal sejarah asal usulnya misalnya, dijelaskan oleh Tumatoa (Arung) Puang Tola, kata Karampuang sebenarnya muncul dari kata Karampulu yang berarti “bulu-bulu meremang”. Maksudnya pada saat itu ketika To Manurung pertama yang kebetulan seorang perempuan turun di Karampuang, makhluk yang ada disekitar daerah itu merasakan bulu-bulunya meremang, ini menunjukkan bahwa muncul makhluk luar biasa disekitar daerah tersebut.

Dalam mengatur pemerintahannya mereka memiliki Ade eppa (Adat empat)) yaitu Arung atau To Matoa (Raja atau yang dituakan), Gella (Pelaksana tugas raja), Sanro (Dianggap sebagai orang pintar dan ahli spritual yg berasal dari kalangan perempuan). Disamping itu mereka masih tetap konsisten melakukan berbagai tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka dahulu misalnya Mappatinro Henne (Menidurkan benih;acara adat sebelum memanam padi) , mabbissa lempu(Mencuci Lumpur; acara adat ketika proses menanam padi telah selesai) ataupun Attudang Sipulung Pallaoromae.(Berdatangan untuk duduk bersama; acara adat setelah panen padi selesai bisa pula disebut dengan Ammanre ase lolo).

Intervensi Pemerintah

Kesetiaan mereka mempertahankan tradisi dan budaya membentur tembok besar yang bernama pemerintah daerah dan nilai-nilai agama “resmi” (dalam hal ini agama Islam) yang cukup mempengaruhi keberlangsungan komunitas ini. Hal itu terlihat dari upaya keras pemerintah yang mengemas beberapa dari tradisi Karampuang ini dalam bingkai parawisata, memperkenalkan tradisi Maddui Aju (Menarik pohon), dan rumah adat Karampuang sebagai rumah purba yang eksotik dalam brosur parawisata yang mereka buat. Lebih jauh pemerintah juga merencanakan untuk melakukan perubahan tata ruang di daerah Karampuang dengan mendirikan beberapa penginapan dan pasar rakyat. Meski belum terealisir, pemda sudah mempersiapkannya sedemikian rupa dengan menggelar pelatihan oleh Dinas Tata Ruang dari provinsi dengan Tema “Rencana Revitalisasi Daerah Pemungkiman yang Bersejarah dan Strategis”.

Disatu sisi, proyek pemberdayaan dari pemerintah ini mungkin menguntungkan masyarakat lokal yang ada disana, namun bukan hal yang arif membiarkan budaya terreduksi oleh kebijakan yang datang kemudian dan membentuk budaya baru yang dikehendaki pemerintah. Bukankah mereka telah memiliki konsepsi dan pemahaman tersendiri dalam mensiasati lingkungannya? Seperti yang diungkapkan oleh Sanro Puang Jenne bahwa mereka (kalangan perempuan di Karampuang) selama ini telah memiliki pemahaman tersendiri tentang bagaimana kaum perempuan harus berperan , dan menurutnya peran yang dilakukan kaumnya di Karampuang sangat berharga sekalipun lebih banyak perannya dapur, karena berkaitan dengan persoalan spritual dan ritual adat.

Dengan demikan boleh jadi campur tangan pemerintah yang berlebihan terhadap komunitas adat karampuang ini justru dirasakan pemaksaan bagi mereka untuk berubah menjadi modern, yang mana justru hal itu membuat mereka tercerabut dari kebiasaan komunal yang telah mereka jalani selama ini.

Intervensi dan Purifikasi agama “resmi”

Kedatangan Islam ke tanah Karampuang membawa banyak perubahan yang cukup signifikan bagi kelangsungan adat dan tradisi mereka. Berangsur-angsur kamunitas Karampuang secara resmi harus memeluk agama Islam (sekarang dari 422 jumlah penduduknya semuanya menganut agama Islam), implikasinya adalah beberapa dari tradisi mereka harus bernegosiasi dengan ajaran yang baru datang tersebut. Dalam struktur adat misalnya yang tadinya hanya tiga yaitu Arung, gella dan sanro, kini berubah menjadi empat dengan dimasukkannya guru ke dalam empat unsur adat. Guru ini baru dikenali setelah Islam datang dan tugasnya memang diseputar urusan yang berkaitan dengan agama Islam. Tapi karena sebelumnya sudah ada yang menangani persoalan spritual yaitu Sanro maka dalam beberapa hal ada kemiripan peran antara Guru dengan Sanro ini misalnya saja diungkapkan dalam ajaran tradisi mereka :”Mappigau Hanuai Arungnge, Mabbissa Lempui Gallae,Makkaharui Sanroe, Mattola Balawi Gurue” (Mengadakan acara adat Raja, Mencuci Lumpur /acara adat setelah menanam padi Gella, SanroGuru memimpin acara “menolak segala bala”). Tugas guru dan sanro disini sebenarnya sama yaitu memimpin acara tolak bala. Bukan hanya itu, jelas Guru Puang Kacong bin Ruma, struktur rumah adat yang mereka miliki juga telah melambangkan Islam itu sendiri. Misalnya saja jumlah tiangnya ada 30 ini melambangkan Al-qur’an yang 30 juz, enam berderet kebelakang melambangkan enam rukun Iman, lima berderet kesamping melambangkan rukun Islam. menagadakan acara “mencegah datangnya masaalah” dan

Sekalipun pengaruh dari konstruksi Islam terhadap tradisi ini nampak dalam beberapa hal, namun dalam hal-hal yang mendasar mereka masih berpegang teguh pada ajaran dari nenek moyang mereka, khususnya dalam hal menyelesaikan dan memutuskan satu perkara. Dalam persoalan ini mereka berpodoman kepada Lontara Nurung, Lontara Kajaolalidong, dan Lontara La Bada. Selain ketiga kitab itu mereka juga memiliki Kitta’ Lukmanul Hakim, jelas kitab terakhir ini banyak memuat hal yang berkaitan dengan ajaran Islam namun karena isinya hanya merupakan kisah-kisah tauladan maka kitab ini tidak menjadi pedoman hukum.

Negosiasi dan adaptasi komunitas lokal di Karampuang terhadap ajaran Islam nampaknya berjalan dengan baik pada masa dulu. Keduanya nampaknya bisa saling menerima dengan baik. Namun sayangnya proses ini tidak berlangsung mulus. Karena pada masa DI/TII komunitas Karampuang kembali mendapatkan tekanan. Pada saat itu bukan lagi sekedar bagaimana budaya Islam mempengaruhi tradisi masyarakat Karampuang tetapi pemeluk Islam saat itu yang tergabung dalam laskar DI/TII berusaha menghacurkan tradisi di Karampuang yang dianggapnya sesat, khurafat dan bid’ah. Beberapa dari kitab anutan komunitas ini dibakar dan dihancurkan. Yang ada sampai saat ini adalah kitab yang berhasil diselamatkan, karena pada saat itu ditanam ditanah. Sayangnya kondisi dari kitab itu saat ini karena terbuat dari daun dan ditanam ditanah mulai lapuk.

Setelah masa DI/TII, stigma terhadap komunitas ini terus-menerus dilakukan oleh beberapa organisasi tertentu dari agama Islam. Bahkan tradisi mereka yang selama ini hanya melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Ad’ha di Rumah adat kini harus pindah pelaksanaannya di mesjid. Sekalipun, karena tentunya masyarakat Karampuang tidak mau meninggalkan tradisinya tadi, maka akhirnya disiasati tetap Shalat Idul Fitri dan Idul ad’ha di mesjid tapi sebelumnya perayaan itu dilaksanakan dulu di Rumah adat mereka. Terakhir ini pada tahun 2001 kemarin, sekolompok umat Islam yang tergabung dalam FORBES Sinjai kembali ingin mengulang proses yang dilakukan oleh DI/TII, mereka berniat menghancurkan tradisi local yang dianggap berbau kemusyrikan, salah satu target sasaran mereka adalah komunitas Karampuang ini. Hanya saja sebelum rencana ini kesampaian di Karampuang, keburu forum ini dibubarkan. Semua masyarakat tradisi di Sinjai melakukan perlawanan. Massa FORBES saat itu yang telah mulai turun dibeberapa tempat melakukan pengrusakan terhadap beberapa simbol-simbol adat dilawan dengan turunnya ribuan masyarakat yang tetap konsisten mempertahankan adat.

Saat ini walaupun tekanan itu sudah mulai berkurang, namun stigma terhadap mereka masih terus dilakukan oleh beberapa kalangan. Disinilah seharusnya pemerintah dapat memerankan diri menjadi fasilitator untuk membukakan ruang bagi komunitas ini agar tetap bisa mengekspresikan keyakinan dan tradisi budaya mereka. Hanya saja intervensi terlalu berlebihan apalagi merencanakan mengubah komunitas adat Karampuang ini menjadi daerah parawisata apakah tidak sama dengan cara-cara beberapa kalangan dari agama resmi untuk merubah tradisi masyarakat Karampuang menjadi murni tradisi Islam ala timur tengah?. Jangan-jangan intervensi berlebihan dari pemerintah hanya membuat masyarakat adat (komunitas lokal) Karampuang merasa (ter)asing dari daerahnya sendiri. Desantara



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian