Ludruk, Bangkitlah!
Bisri Effendy | 24 - Apr - 2008Salah satu kehebatan ludruk sebelum 1965, seperti yang diungkap James L. Peacock, adalah konsistensinya sebagai pertunjukan proletar, improvisasi-kreatif, suka memainkan simbol untuk menyampaikan pesan-pesan perubahan kehidupan di tengah hiruk-pikuk kota Surabaya dan sekitarnya. Pertunjukan ludruk selalu tampil bukan hanya memikat tetapi juga mampu membangkitkan emosi dan semangat penontonnya yang plural.
Bahkan lebih dari itu, simpul Peacock pula, ludruk adalah pendorong, agen atau mediator perubahan massa rakyat Jawa Timur. Komunitas ludruk sendiri yang semula berada dalam kehidupan kampung yang homogen dan komunal mulai beringsut ke arah ekstra kampung yang heterogen dan rasional-spesifik. Perlu dicatat bahwa ketika modernitas menjadi idaman terpenting saat itu, ludruk dan komunitasnya menjadi modern sekaligus agen yang mengantarkan.
Tentu saja kita tidak berharap ludruk tetap modern ketika modernitas dikritik seperti sekarang ini lantaran ia justru lebih ‘mencelakakan’ kelompok terbanyak umat manusia. Apa yang ingin ditekankan dengan prolog seperti di atas adalah peran-peran ludruk dalam himpitan berbagai persoalan yang justru menimpa bagian terbanyak tadi. Karakter dan semangat proletarian yang melekat dalam setiap pertunjukan ludruk waktu itu, meski acapkali harus disajikan secara simbolik, akan berarti penting dalam kehidupan kini terutama kehidupan massa rakyat yang semakin terjepit dan terpuruk seperti para korban semburan Lumpur panas di Sidoarjo, salah satu kandang ludruk sejak dulu.
Seorang teman, peneliti kebudayaan di Jawa Timur, pernah bilang: “sia-sialah kita berharap ludruk seperti dulu. Ludruk sekarang memang masih digemari banyak warga di beberapa tempat, tetapi seluruhnya murni tontonan yang sesekali memancing gelak-tawa dan kadangkala memuakkan.” Para mantan pemain ludruk 60-an, seperti dilansir liputan ngaji budaya kali ini, hanya termangu sedih, menangis, dan mungkin marah-marah membaca betapa ludruk sekarang mandul tanpa mempunyai peran apapun kecuali menghibur, itupun hanya sebatas ketika pertunjukan berlangsung.
Mungkin tidak bijak mengalamatkan kesalahan itu hanya pada pemain ludruk. Seperti halnya komunitas seni pada umumnya, mereka adalah para warga yang pasca 65 direngkuh, dibina, dan dibangun oleh rezim politik untuk menjadi ‘rakyat yang baik’. Akibatnya, seperti kita ketahui bersama, para seniman dan rakyat pada umumnya pasca 65 menjadi terbelenggu, tidak kreatif-dinamis, dan sepenuhnya dependen, bergantung pada kekuatan-kekuatan di luar diri mereka baik struktural maupun kultural terutama negara.
Wajar jika yang kita saksikan sekarang adalah kemunduran yang begitu jauh dibanding kenyataan sebelum 65. Tetapi, siapakah yang dengan sadar menginginkan kemunduran? Sudah pasti para seniman ludruk tidak menghendakinya. Kemunduran mereka tercipta melalui proses politik yang dibungkus label pembangunan manusia seutuhnya. Persoalannya, di ruang kebebasan yang relatif terbuka ini, mungkinkah karakter proletar ludruk dan kemampuan senimannya menggurat peran seperti dulu dapat dibangkitkan? Hanya para seniman ludruk sendiri yang mampu menjawabnya.Bisri Effendy / Desantara
Tweet
« Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota
Tulisan sesudahnya:
Membaca Pariwisata Seni-Budaya »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Ketika ‘Genk Rese’ Memaknai Syariat Islam(1)
- Hubungan Bapak dengan Kami(0)
- Islam dan Pluralisme Agama(0)
- Politik ‘Pangestu’ dalam Perilaku Elite Modal dan Lestarinya Piramida Sosial Sisa Warisan Kolonial(0)
- Pilkada Jabar, Jangan Lupakan Setumpuk Problem Kerakyatan(0)
- Deklarasi Komunitas Nahdhatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS)(0)
- Sekolah Multikultural Desantara (Angkatan 2008)(0)
- Ritual Bebalai dan Komunitas Yang Terlupakan(0)
- Bahasa dan Peta Kepentingan(0)
- New Literature (Kesusastraan Baru)(0)
- Yang Sesat dan Yang Ngamuk(0)
- Bencana Industri; Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil(1)
- Marginalisasi: Dari Politik Verbal ke Politik Simbolik(0)
- Pluralisme Itu Rancangan Tuhan(0)
- Melepaskan Aliran Dari Jerat Sesat(0)