Politik ‘Pangestu’ dalam Perilaku Elite Modal dan Lestarinya Piramida Sosial Sisa Warisan Kolonial

Akbar Yumni | 17 - Jun - 2008

(Refleksi Pendampingan Masyarakat Sedulur Sikep terhadap Ancaman Pembangunan Pabrik Semen I). Oleh Desantara / Akbar Yumni. Nalar modal (ekonomi) pada dasarnya tidak akan pernah seiring dengan nalar entitas manusia (masyarakat). Problemnya adalah bagaimana konsepsi manusia itu sendiri juga masih mengundang banyak prespektif yang masih layak didiskusikan, sehingga ketika ada kebijakan tentang ekonomi tidak serta merta mengorbankan cara pandang masyarakat yang berasal dari wilayah-wilayah yang dimarginalkan (baca:minoritas). Problem inilah yang kemudian jargon atas nama ‘pembangunan’ yang dilayangkan pada masa Orde Baru, ‘masyarakat yang beradab’ pada masa kolonial, sampai atas nama ‘objektifitas’ dalam ilmu pengetahuan.

Pada masa kolonial, pihak pemerintah Hindia Belanda menyikapi adanya keanekaragaman entitas masyarakat komunal (tradisi) di Nusantara, diperlukan suatu usaha identifikasi masyarakat komunal untuk merumuskan strata sosial masyarakat di Nusantara yang dapat mendukung jalannya mobilisasi modal beserta pengeksploitasiannya. Karena wilayah-wilayah modernisasi ekonomi di awal abad XX oleh pihak Hindia Belanda, berada pada wilayah geo sosial masyarakat komunal tersebut. Untuk itulah dilakukan normalisasi masyarakat komunal di Nusantara dengan mengidentifikasi mereka dengan istilah masyarakat ‘adat’. Salah seorang penasehat jajahan Vollenhoven merumuskan masyarakat di pedalaman secara geografis tersebut sebagai istilah ‘adat’. Kebutuhan untuk meng ‘adat’ kan masyarakat lokal atau komunal tersebut adalah untuk melokalisir masyarakat tersebut dalam wilayah teritorinya sendiri, sehingga dapat mendukung tertib (rest and orde) hukum sebagai pijakan terhadap berlangsungnya praktek kolonial Hindia Belanda. Peng ‘adat’ an sebagai bentuk lokalisasi masyarakat yang melahirkan istilah ‘hukum adat’, yang kemudian menjadikan dinamika ‘hukum adat’ yang berasal dari masyarakat komunal tersebut tidak memiliki dinamikanya terhadap entitas dilingkungannya atau di sosial sekitarnya. Kondisi ini seakan-akan bahwa ‘hukum adat’ menjadi tidak berkorelasi dengan persoalan-persoalan kebangsaaan secara nasional. Fase kolonial modern inilah yang kemudian menciptakan piramida sosial masyarakat Nusantara yang semakin menguat dengan praktek meng-komprador-kan para elite masyarakat, khususnya para elite lokal masyarakat.

Warisan piramida sosial dari kolonial Hindia Belanda masih terasa sejak hari ini. Fase ini pulalah yang pernah kita lalui dari perjalanan kebangsaan sejak kemerdekaan yang menghasilkan konflik horisontal di tahun 65. Di masa orde baru pun, piramida sosial Indonesia kita semakin mengkrucut kembali dengan politik massa mengambang dengan mengkooptasi setiap elit entitas masyarakat, serta perilaku birokratisasi aparat politiknya. Intensitas piramida masyarakat inilah yang kemudian kadang kita keliru menaksir, khususnya dalam masyarakat Jawa dalam budaya ‘sungkan’, ‘menghormati sesepuh’, sampai pepatah ‘padi yang berisi akan menunduk’ sebagai entitas budaya masyarakat.

Studis kasus belakangan ini yang sedang terjadi salah satunya adalah rencana pendirian pabrik Semen Gresik di wilayah Sukolilo Pati. Secara sosiologis, wilayah Sukolilo merupakan geo sosial dari salah satu sejarah pesebaran Sedulur Sikep sebagai basis kehidupan. Beberapa praktek yang dilakukan oleh elite modal pabrik semen Gresik adalah dengan menemui beberapa masyarakat Sedulur Sikep serta sesepuh Sedulur Sikep Mbah Tarno. Dialog pihak perusahaan dengan masyarakat Sedulur Sikep memalalui pihak Sekretaris perusahaan dan para CSR (Cooperate Sosial Responsibilty) nya, mereka memaparkan peran perusahaan dalam kepeduliannya membangun masyarakat baik di bidang ekonomi, budaya dan sosial. Tidak lupa mereka juga memaparkan sejarah Pabrik Semen Gresik dengan legitimasi eksisten Presiden Soekarno sebagai yang meresmikan pabrik tersebut, serta mengatasnamakan sebagai perusahaan negara dengan saham negara 51 % dan sisanya milik asing.

Rencana proyek pembangunan semen tersebut mendapatkan penolakan dari pihak masyarakat Sedulur Sikep (Kompas Jateng/5 Juni 2008), karena memperhitungkan dampak lingkungan dari penambangan semen terhadap mata pencaharian mereka sebagai petani. Sebagai catatan, pertanian adalah bagian dari keyakinan masyarakat Sedulur Sikep, yang memiliki sejarah komunalnya dalam memposisikan diri sebagai pengemban pertanian sebagai keyakinan sosial serta respon terhadap identifikasi alam yang identik dengan dinamika sosialnya. Dalam kasus penambangan atau eksploitasi alam adalah bukan persoalan teritori dan batas tanah yang akan menjadi lahan penambangan, lebih ekologis lagi adalah bagaimana dampak lingkungan dan relasi sosial yang terjadi dari adanya penambangan semen tersebut.

Yang tersisa dari dialog yang dilakukan oleh pihak Semen Gresik ini adalah usaha praktek legitimasi melalui pendekatan terhadap para sesepuh masyarakat Sedulur Sikep. Tafsir sepihak pun tak terhindarkan, dialog yang berlangsung hanya sebatas persuasif tanpa menjangkau akar permasalahan sesungguhnya yang berlangsung selama terjadinya proses pendirian pabrik Semen Gresik di Sukolilo Pati. Bahwa pihak pabrik Semen Gresik tidak akan memaksa masyarakat Sedulur Sikep untuk menjual tanahnya kepada pihak pabrik, tetapi akan menerima pihak yang akan rela menjual tanpa intimidasi, masih menyisakan adanya niat Pabrik Semen Gresik untuk tetap mendirikan Pabrik Semen di wilayah Sukolilo Pati. Artinya adalah bahwa dalam dialog antara pihak Pabrik Semen dengan masyarakat Sedulur Sikep dimaknai oleh pihak Semen Gresik sebagai proses etika semata, tanpa mengubah sikap dari pihak Semen Gresik dengan melihat kedaulatan masyarakat.

Paska Orde Baru, merupakan era kapitalisme telah menuju pada titik globalnya yang ditandai dengan runtuhnya blok komunis. Sehingga praktek modal dan penjagaa modalnya pun kini tidak lagi melalui pendekatan militer karena ancaman terhadap komunisme. Era kapitalisme paska Orde Baru menandai era dimana peran negara hampir di hapuskan, berikut dengan para aparatus represifnya yang berdampak pada kasus-kasus kemanusiannya (HAM). Dari legitimasi kemanusiaan itu pulalah, kapitalisme kini berpraktek humanis dengan segala kebijakannya yang bersifat kompensasi, yang ternyata lebih murah dibandingkan dengan pengawalan secara militeristik. Kondisi ini pulalah yang kemudian dalam undang-undang kita mewajibkan ada lembaga CSR sebagai bagian dari perusahaan dalam usahanya terhadap keamanan sosial (social security).

Perjumpaan dengan kapitalisme yang humanis sangat terasa dalam pengalaman berkomunikasi dengan pihak pabrik Semen Gresik. Sebelum diadakan dialog resmi antara pihak Sedulur Sikep dengan Pabrik Semen Gresik, mereka sudah melakukan komunikasi dan pergaulan secara personal (CSR) Pabrik Semen Gresik dengan pihak masyarakat Sedulur Sikep. Perilaku komunikatif para CSR ini juga masih menyisakan nuansa warisan piramida sosial masyarakat, dengan hanya berdialog dengan pihak elite lokal masyarakat sebagai alat legitimasi. Praktek komunikasinya pun masih menyisakan suasana ‘sopan’ dan tidak sistematis dalam menjangkau kebutuhan dialog yang sesungguhnya, dimana ada cara pandang berbeda antara kuasa modal dengan dinamika budaya masyarakat yang berkorelasi terhadap mata pencahariannya.

Acara dialog dan pertemuan denga sesepuh Sedulur Sikep itu sendiri, masih dimaknai oleh pihak Semen Gresik sebagai alat legitimasi, tanpa melihat keberadaan sesepuh sebagai alat representasi dari keanekaragaman masyarakat lokal. Dalam proses dialog tersebut, pihak Semen Gresik hanya berdialog dengan pihak sesepuh dan elite lokal semata, tanpa melihat adanya suara-suara dari basis masyarakat yang juga memiliki hak untuk berkomunikasi. Padahal dalam semangat masyarakat lokal itu sendiri, para sesepuh tersebut dimaknai sebagai mediasi dan forum dialog bagi banyak warga. Eksistensi Sesepuh dalam masyarakat lokal Sedulur Sikep pada dasarnya merupakan alat mediasi komunikasi dan konsolidasi diantara sesama warga Sedulur Sikep. Semangat inilah yang bisa dianggap berbeda pada pengertian sesepuh dalam entitas lain yang mungkin bisa di baca sebagai bentuk ‘feodalisme Jawa’. Pengalaman masyarakat Sedulur Sikep dalam menyikapi penolakan terhadap keberadaan pabrik Semen Gresik itu sendiri, justru banyak lahir dan dipelopori bukan oleh pihak kaum sepuh masyarakatnya. Sehingga dapat diasumsikan pengertian sesepuh dalam masyarakat Sedulur Sikep bukan dalam pengertian piramida sosial beserta otoritas mekaniknya (tradisional), dalam konsepsi masyarakat Sedulur Sikep yang memiliki sejarah berdasarkan ajaran dan bukan keturuanan, pengertian sesepuh bisa dimaknai sebagai bentuk hirarki yang organis, dimana permasalahan otoritas tetap ditangan musyawarah (rembuk). Hal ini juga diperkuat dari adanya paham Sedulur Sikep yang tidak mengenal ratu adil (mesiah), yang kemudian ajaran paham Sedulur Sikep sendiri tidak diartikulasi dalam praktek otoritas pemegang ajaran tunggal, selain paham Sedulur Sikep sendiri yang disebut ajaran itu sendiri adalah laku dan tindakan sehari-hari sebagai teks itu sendiri (lakon).

Refleksi di beberapa individu masyarakat Sedulur Sikep itu sendiri memuat pemahaman bahwa kondisi di dalam keluarga serta masyarakat komunalnya tidak berbeda dengan situasi yang ada di luarnya (kahanan jero iku ora ono bedane ambe kahanan jobo). Hal ini memungkinkan adanya sebuah paham Sedulur Sikep yang lepas dari persepsi adat yang ada selama ini, dimana kontek hukum adat biasanya hanya memuat persoalan-persoalan disekitar lingkungan lokalnya. Vollenhoven sendiri merumuskan hukum positif pada masa praktek kolonial Belanda dengan mengandaikan hukum tersebut berasal dari hukum-hukum adat yang dibentuknya. Kebijakan ini pulalah yang kemudiaan seakan-aakan hukum masyarakat lokal yang telah di-‘adat’-kan lebih inferior dibandingkan hukum positif itu sendiri.

Pada dasarnya pengandaian piramida sosial masih menjadi strata sosial masyarakat Indonesia masih kental dalam struktur sosial masyarakat. Pengandaian inilah yang kemudiaan sangat dimanfaatkan bahkan dipelihara oleh beberapa kelompok kepentingan (stake holder) untuk melanggengkan hegemony nya di masyarakat, khususnya di masyarakat komunal. Sebagai ‘Jawa Besar’ mungkin ini yang kita kenal sebagai bentuk feodalisme yang mengalami intensitas yang cukup kuat dan lama, yang menjadikan kita kemudian sudah sulit mengenali praktek warisan kolonial dan penjajahan karena berbaur dengan kebudayaan dan alam bawah sadar kita. Mental-mental itu kita rasakan kita sampai hari ini, tidak dalam mereka yang ditradisionalkan saja, jangan-jangan penyakit akut itu juga mengidap kita. Hidup anti-vertikal! Desantara



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar