Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013

R. Yando Zakaria | 20 - Jan - 2014

Tepat tengah hari, Rabu 18 Desember 2013 yang lalu, Undang-Undang Desa disahkan DPR. Pengesahan undang-undang ini merupakan tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Setidaknya begitu menurut Darizal Basir, salah satu anggota Tim Panitia Khusus RUU Desa, politikus Partai Demokrat dari wilayah pemilihan Sumatera Barat. Menurutnya, sejak bangsa ini ada, baru kali ini  ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang desa dan desa adat. Selama ini, pengaturan tentang desa selalu menjadi bagian dari UU tentang Pemerintahan Daerah. “Undang-Undang ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan di Desa atau sebutan dengan nama lain seperti Nagari di Sumbar. Segala potensi di daerah juga dapat lebih diberdayakan untuk kesejahteraan rakyat” lanjutnya.[2]

Pandangan senada datang dari Per­satuan Wali Nagari Lima­puluh Kota (Perwanaliko) dan Persatuan Wali Nagari se-Kabupaten Agam. ”Kami mendukung, me­nyam­but baik, dan mem­beri apresiasi kepada DPR RI yang su­dah mengesahkan RUU De­sa menjadi Undang-Undang,” kata Ketua Perwanaliko Budi Febriandi kepada Padang Ekspres, Kamis (19/12) siang.[3]

Meski begitu, di sisi lain, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat M Sa­yuti Dt Rajo Penghulu berpandangan sebaliknya. Menurutnya UUD Desa tidak boleh di­berlakukan Pemerintah. “Kami terkejut dengan pe­nge­sahan UUD desa tersebut, dan tentu kami sangat menen­tang­nya. Jika UU Desa tersebut di­jalankan, maka Negara tidak lagi menghormati kearifan lokal, Ne­gara telah mencabik-cabik Bhinneka Tunggal Ika, Negara telah mengobrak-abrik NKRI. Kami minta agar pemerintah pusat sadar jika Negara Indonesia bukanlah pulau Jawa saja, namun dari Sabang hingga Merauke,” ujar M Sayuti kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor LKAAM Sumbar, di Padang, sehari setelah UU Desa ditetapkan. Lebih jauh M Sayuti mengklaim, pe­no­lakan ini didukung Bundo Kan­duang, Lembaga Majelis Adat Aceh Sumbar, pemuka adat dari perwakilan daerah di Sumatera Barat, serta DPRD dan Gu­bernur. Padahal, menurut Budi Febriandi, UU Desa itu sudah diperjuangkan bersama sejak 2006. Tidak hanya oleh para kepala desa di pula Jawa, tapi juga oleh wali-wa­li nagari di Sumatera Barat. “Penge­sa­­han UU Desa ini meng­is­ya­rat­kan, adanya pengakuan ne­gara secara utuh terhadap pemerintah desa atau nagari,” kata Budi yang juga Sekretaris Per­satuan Wali Nagari (Per­wana) Sumbar.[4]

Bagaimana duduk-soal yang sebenarnya? Benarkah optimisme ataupun kekuatiran yang disampaikan  Ketua LKAAM Sumatera Barat itu? Perubahan-perubahan pengaturan seperti apa sebenarnya yang telah dibawa oleh Undang-Undang Desa yang baru ini? Lebih dari itu, perubahan-perubahan tingkat lapangan yang tidak diinginkan apa pula yang perlu diantisipasi? Bagaimana memanfaatkan undang-undang ini sendiri untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginakan itu? Berikut beberapa catatan saya terhadap beberapa pertanyaan pokok dimaksud.

Amanat Reformasi

Bagi saya, ketika hendak mengevaluasi apakah pesan reformasi terkait kebijakan Negara atas desa (atau yang disebut dengan nama lain di berbagai daerah di Indonesia), setidaknya ada 3 (tiga) kata kunci yang perlu dicermati. Semangat reformasi baru dapat dikatakan terpenuhi, dan itu berarti kita telah menghindari kesalahan pada masa lalu,[5] adalah jika kebijakan baru tentang desa itu mampu merealisasikan (1) pengakuan atas hak asal-usul, (2) yang bersifat istimewa di hadapan (hak-hak) Negara; di dalam situasi sosial dan budaya yang (3) keberagaman di Nusantara ini. Hemat saya, inilah inti dari pengakuan dan penghormatan konstitusi Indonesia terhadap susunan asli yang juga disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat cq. desa atau disebut dengan nama lain, atau juga masyarakat tradisional dan kebudayaan daerah sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2), dan juga Pasal 28i dan Pasal 32 Undang-undang Dasar 1945.[6]

Ada-tidaknya pengakuan atas hak asal-usul dapat dilihat sejauh mana kebijakan Negara mengakui keberlakukan hak-hak (bawaan) masing-masing susunan asli yang sejatinya meliputi 3 elemen utama. Yakni menyangkut tata organisasi, tata aturan yang digunakan, dan juga pengakuan atas hak-hak yang menjadi basis material kehidupan masyarakat yang beraangkutan yang disebut ulayat atau wilayah adat, sebagaimana telah ditegaskan pengakuannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Desa Indonesia yang beragam

Anekaragam  bahasa dan  budaya yang begitu luar bisa telah menimbulkan kekaguman  para peneliti  asing sejak lama. Pada zaman kolonial  hal  itu melahirkan  sebuah disiplin keilmuan yang disebut taal,  land  en volkenkunde (Marzali, 2010). Sebagaimana dicatat oleh Marzali, sejumlah  sarjana ternama pernah  membangun  klasifikasi  berkaitan dengan masyarakat di Indonesia. Antara lain, klasifikasi-klasifikasi berdasarkan ciri-ciri fisikal  penduduk  (J.J.  Hollander  1861); daerah  hukum  adat  (van Vollenhoven 1918);  golongan etnisnya (van Eerde 1920; Heyne 1927; Kennedy 1943; Jaspan 1955; serta Berzina dan Bruh 1962); bahasa (Esser 1938); sistem ekologinya (Geertz 1963). Dua orang ahli antropologi  Indonesia,  yaitu  Koentjaraningrat (1973) dan Ave  (1970),  membuat pengklasifikasian masyarakat dan  budaya  di Indonesia menurut pendekatan yang berlainan.

Berdasarkan ’tipe-tipe sosial dan budaya’ (Koentjraningrat, ed., 1970 dan 1984) kita pun mengenal desa yang warganya mengadalkan kelangsungan hidupnya sehari-hari melalui kegiatan berburu dan meramu, ditambah sistem berkebun yang amat sederhana, seperti yang banyak dijumpai di Kep. Mentawai; pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua; desa dengan warga petani ladang berputar, sebagimana yang banyak dijumpai di Pedalaman Sumatera, Sulawesi, Kalimantan; desa-desa petani sawah (Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan), dan desa pesisir dengan warga yang dominan menjadi nelayan, sebagaimana umum dijumpai di wilayah pantai/pesisir pada ribuan pulau yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Keragaman masing-masing desa makin diperkaya pula oleh tinggi-rendahnya pengaruh Hindu, Zending dan Missi, Islam, dan ‘Orde Pembangunan’.

Singkat kata, susunan asli di Indonesia sangatlah beragam.  Implementasi UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang dihentikan keberlakuannya siring angin reformasi, telah menambah kerumitan keberagaman desa itu. Tim Peneliti Forum Pembangunan dan Pembaruan Desa/FPPD (2007) pernah membuat klasifikasi berdasar tinggi-rendahnya pengaruh adat pada desa-desa (dalam arti pemerintahan desa) di Indonesia saat ini. Hasil penelitian itu menunjukkan ada desa yang pengaruh adatnya masih sangat kuat, ada pula desa yang pengaruh adatnya sudah pudar, yang tinggal hanya ritual-ritualnya saja seperti kenduri dan selamatan. Ada pula yang sesungguhnya tidak ada desa kecuali kelompok masyarakat adat. Menurut Tim Peneliti FPPD hubungan antara adat dan desa yang saling mempengaruhi itu berkembang hingga menimbulkan 5 (lima) ragam desa.[7]

Keberagam Desa dan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Nasional

Dalam rangka menyusun kebijakan yang mengatur urusan pemerintahan dan pembangunan yang mampu mengakomodasi keberadaan desa yang beragam itu, saya mengusulkan 3 (tiga) alternatif pilihan yang dapat ditempuh sesuai kebutuhan di daerah atau bahkan kebutuhan di tingkat desa masing-masing. Ketiga pilihan itu adalah, (1) penyelenggaraan sistem pengurusan hidup bersama yang berbasis pada sistem organisasi adat yang ada atau yang disebut self governing community; (2) sistem desa administrative (local state government); dan (3) sistem desa otonom (local self government). Pemilihan atas satu tipe tergantung pada keputusan daerah dan masyarakat setempat, berdasarkan kenyataan lapangan yang ada.

Dalam konteks kebijakan yang akan ditetapkan, ketiga model itu terpilah ke dalam 3 bentuk. Masing-masing adalah sistem desa asli atau desa adat; sistem desapraja; dan dan sistem desa administratif.  Penyelenggaraan masing-masing pilihan akan berbeda satu sama lainnya. Terutama yang menyangkut tiga hal penting: (a) nomenklatur atau istilah-istilah desa dan lembaga-lembaga lokal; (b) kewenangan desa, di mana desa-desa di Luar Jawa mempunyai tradisi yang kuat dalam hal kewenangan peradilan adat; dan (c) struktur dan organisasi pemerintahan desa. Semua ini dipengaruhi oleh sejarah, budaya dan adat setempat yang sangat beragam.

desa-gambar2

Pilihan pada model pertama adalah implementasi penuh dari azas rekognisi (pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal-usul desa yang bersangkutan); oleh karenanya desa mempunyai kewenangan yang bersumber dari asal-usul yang menyangkut sistem social dan budaya, system politik dan hukum melalui institusi demokrasi komunitarian (musyawarah); serta pengaturan penguasana sumber-sumber agraria yang menjadi basis material susunan asli ini. Implikasi lain dari pilihan ini adalah desa mengelola urusan-urusan masyarakat yang berskala local; keberadaan relative otonom; memperoleh tugas-tugas administrasi dari Negara yang sangat terbatas sifatnya; meski tidak tertutup kemungkin untuk tetap menerima aliran dana Negara  melalui berbagai mekanisme keuangan yang ada sebagai implikasi keberadaan desa sebagai bagian dari Negara itu sendiri.

Pilihan kedua adalah model desa Administratif, atau sebutan lainnya adalah desa korporatis (local state government). Desa administratif adalah unit birokrasi sebagai kepanjangan tangan negara di tingkat local. Azas yang berlalu dalam model ini adalah delegasi  atau tugas pembantuan. Pada model ini Desa menjalankan tugas-tugas administratif dan pelayanan yang ditugaskan pemerintah. Implikasinya adalah desa tidak mempunyai institusi demokrasi dan tidak ada otonomi. Untuk menyelenggarakan kegiatannya desa administratif menerima dana belanja aparatur dari pemerintah. Model ini dapat diambil pada situasi dimana pemilihan desa adat dan/atau desapraja tidak dapat dilakukan. Misalnya di daerah remote di mana pekembangan masyarakat hukum adatnya belum mencapai sistem pengorganisasian yang bersifat teritorial. Sementara pilihan untuk menjadi desapraja juga rawan dominasi oleh kelompok-kelompok masyarakat dominan lainnya.

Model yang ketiga adalah model desa otonom, atau sering pula disebut sebagai (local self government). Desa otonom adalah unit pemerintahan lokal otonom yang berada dalam subsistem pemerintahan NKRI. Status desa tidak ubahnya seperti daerah otonom.  Dalam model ini pemerintah memberikan desentralisasi (penyerahan) urusan-urusan menjadi kewenangan desa. Sebagai daerah otonom desa juga mempunyai institusi politik  demokrasi modern (elektoral dan perwakilan). Pemerintah wajib mengalokasikan (alokasi) anggaran untuk membiayai pelaksanaan kewenangan/urusan. Sampai tahap tertentu, perangkat desa pun bisa menjadi PNS.

Meskipun undang-undang mengizinkan oparasionalisasi hak-hak desa secara beragam, tetap harus ada standar-standar yang berlaku umum. Undang-undang sebaiknya juga menjunjung standar universal yang harus ada dalam setiap opsi. Dengan demikian, apapun pilihannya nanti, desa harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Nilai-nilai universal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya feodalisme dalam tata pemerintahan desa. Untuk itu, pemerintahan sebaiknya memberikan gambaran yang cukup memadai tentang karakter dan disain kelembagaan masing-masing tipe/pilihan. Jika perlu, memberikan kesempatan transisional yang cukup, misalnya sekitar dua tahun, bagi desa-desa yang terlanjur ada sekarang ini untuk memilih pilihannya yang tepat.[8]

Desa tidak hanya sekedar Pemerintahan Desa

Labih dari itu, yang lebih penting adalah bahwa desa tidaklah sekedar pemerintahan desa. Maka, kebijakan dan regulasi tentang desa ke depan harus lebih dari sekedar ‘pemerintahan desa’ itu. Kebijakan dimaksud haruslah mengarah pada realisasi pengakuan atas hak asal-usul yang melihat desa baik sebagai persekutuan sosial dan budaya; desa sebagai persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan; dan desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya.

Dengan simpul pemikiran yang demikian itu kita ingin merevitalisasi desa sebagai ‘modal sosial’ dalam menyongsong masa depan yang (bakal) tidak mudah itu. Baik karena faktor-faktor lokal, nasional, dan global. Selain itu, kebijakan baru dimaksud dimaksudkan juga untuk mengkonsolidasi kembali sistem tenurial ‘yang kadung amburadul’ dan ‘menyingkarkan hak-hak masyarakat adat’ melalui pengakuan hak-hak asali desa sebagai dasar bagi ‘pembaruan desa’ cq. ‘reforma agraria’, sebagaimana telah diamanatkan dalam TAP MPR IX/2001.

Beberapa Karakter Dasar UU tentang Desa Tahun 2013

Undang-Undang tentang Desa yang baru saja ditetapkan ini adalah undang-undang pertama pasca-pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diamanatkan oleh reformasi. Sebelumnya, melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa hanya diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan Pemerintah.

            Beberapa karakter penting dari Undang-Undang Desa yang diharapkan mampu menjadi pengubah kehidupan di desa menjadi pelaku pembangunan yang penting adalah sebagai berikut.

  • Dari dasar konstitusional, jika sebelumnya desa hanya berdasarkan Pasal 18 ayat (7) (tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah), Undang-Undang Desa yang baru mendasarkan diri pada pengaturan pada Pasal 18B ayat (2) (tentang pengakuan dan penghormatan kepada kesatuan masyarakat hukum adat) yang ‘diwarnai’ oleh Pasal 18 ayat (7), sebagai konsewensi masuknya kesatuan masyarakat hukum adat itu dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Nasional.
  • Terkait azas yang menjadi dasar dalam pengembangan kewenangan desa, semula kewenangan desa menjadi bagian dari politik desentralisasi cq. otonomi daerah, sekarang berubah menjadi azas rekognisi dan subsidiaritas.
  • Perubahan azas ini berimplikasi besar tidak saja pada bentuk dan jenis kewenangan desa (yang sekarang mengakui kewenangan yang bersumber pada hak asal-usul), melainkan juga pada (pembesaran) keuangan desa. Kedudukan desa pun berubah. Semula ‘berada dalam sistem pemerintahan daerah kabupaten/kota’; sekarang menjadi ‘berada dalam wilayah kabupaten/kota’.
  • Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ke depan, berbeda sedikit dengan usulan saya di atas, setidaknya diakui apa yang disebut dengan desa dan desa adat. Defenisi yang digunakan pun jauh ‘lebih maju’ ketimbang kebijakan yang pernah ada, yakni: Desa adalah desa (usul saya untuk menambahkan nama Praja sebagai pembeda tidak diterima, sehingga sering menimbulkan kebingungan dalam penulisan norma) dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyebutan desa dan desa adat dapat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Dalam undang-undang ini desa adat diatur dalam sebuah bab khusus (BAB XIII).
  • Demi untuk memenuhi hak-hak konstitusional desa atau yang disebut dengan nama lain, melalui undang-undang ini, dimungkinkan berbagai perubahan berikut:  Desa dapat menjadi Desa Adat (Pasal 100); Kelurahan dapat menjadi Desa (Pasal 12); Kelurahan dapat menjadi Desa Adat (Pasal 100); Desa dapat menjadi Kelurahan (Pasal 11); dan Desa Adat dapat menjadi Kelurahan (Pasal 100). Yang penting,  Desa/Desa Adat itu dapat Berubah status, Digabung (Pasal 10 & 99), Dimekarkan (Pasal 8 ayat 1), atau Dihapus berdasarkan prakarsa masyarakat dan Ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Propinsi atau Kabupaten/Kota) yang disertai peta wilayah (Pasal 1001).
  • Sebagaimana yang telah disebut, perubahan mendasar lain yang dibawa oleh undang-undang baru ini adalah tentang keuangan desa. Di masa depan, setidaknya ada 7 (tujuh) sumber pendapatan desa. Yakni (1) Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa; (2) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (10% dari dana transfer ke daerah (ini berarti dana transfer ke daerah adalah 110% yang terbagi 100% untuk daerah dan 10% untuk desa); (3) Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota (10% dari Pajak dan Retribusi Daerah); (4) Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota (10% dari DAU + DBH); (5) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; dan (6) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan  (7) Lain-lain pendapatan Desa yang sah.

            Langkah baru untuk perubahan kehidupan dan penghidupan di desa sudah diayunkan. Tentu saja tantangan yang akan dihadapi tidak sedikit. Dua perubahan besar yang dilakukan, terkait ‘perpanjangan masa jabatan’ Kepala Desa menjadi 6 tahun dan bisa dijabat 3 kali secara berturut-turut atau tidak dan ‘konsolidasi’ keuangan pembangunan yang bermuara pada pengelolaan keuangan desa yang relative besar di tingat desa, sebagaimana dikuatirkan banyak pihak, memang perlu mendapat perhatian yang lebih.

            Karena itu, undang-undang ini juga melengkapi kelembagan (pemerintahan) desa dengan partisipasi masyarakat secara luas. Baik melalui Badan Permusyawaratan Desa (Pasal 55 hingga 65) maupun melalui Musyawarah Desa (Pasal 54) yang harus dilakukan untuk hal-hal yang strategis.[9] Kecuali pasal-pasal yang berkenaan dengan partisipasi masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa dan Musyawarah Desa, partisipasi masyarakat itu dijamin pula melalui ‘hak masyarakat desa’ (Pasal 68); Pasal 82 (tentang pemantauan dan pengawasan pembangunan); dan Pasal 86 (tentang sistem informasi pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan).

Penutup

Tentu saja undang-undang ini tidak dapat segera berlaku penuh sejak ditetapkan. Sebagaimana diatur pada Pasal 120 ayat 2, “Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Saya pribadi menyambut baik waktu persiapan yang relatif cukup panjang ini, mengingat undang-undang yang baru ini mengandung perubahan-perubahan radikal. Seperti dimungkinkannya desa-desa yang ada sekarang ini kembali ’ke bentuknya semula’ cq. ’desa adat’ menurut konteks sosial-budaya yang begitu beragam di negeri ini.

Jika dicermati lebih jauh, setidaknya ada 3 (tiga) Peraturan Pemerintah; 1 (satu) Peraturan Menteri; dan 2 (dua) Paraturan Daerah (Propinsi atau Kabupaten) yang diamanatkan oleh undang-undang ini agar peraturan-perundangan ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga Peraturan Pemerintah dimaksud adalah: (1) Peraturan Pemerintah tentang Pelasanaan Undang-Undang Desa, yang relatig bersifat umum, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 120 ayat 2; (2) Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan (a) Tatacara Pemilihan Kepala Desa (Pasal 31 ayat 3); (b) Tatacara Pemberhentian Kepala Desa (Pasal 40 ayat 4); (c) Musyawarah Desa untuk pergantian Kepala Desa (Pasal 47 ayat 6); (d) Perangkat Desa (Pasal 50 ayat 2); (e) Pemberhentian Perangkat Desa (Pasal 53 ayat 4); dan (e) Penghasilan Pemdes (Pasal 66 ayat 5); (3) Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan masalah pengaturan lebih lanjut tentang  (a) Keuangan Desa (Pasal 75 ayat 3); dan (b) Pengelolaan Kekayaan Milik Desa (Pasal 77 ayat 3). Satu-datunya Peraturan Menteri yang diamanatkan oleh undang-undang ini adalah Peraturan Meteri tentang Tatacara Pemilihan Kepala Desa sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 31 ayat 3.

Adapun kedua Peraturan Daerah yang dibutuhkan adalah (1) Peraturan Daerah tantang hal-hal yang berkaitan dengan (a) Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat (Pasal 109); (b) Syarat (tambahan) Kepala Desa (Pasal 33, huruf m.); dan (c) syarat tambahan anggota Badan Permusyawaratan Desa (pasal  65 ayat 2); serta (2) Peraturan Daerah tentang pengaturan lebih lanjut tentang perencanaan & pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 84 ayat 3.

Di samping itu, hal lain yang perlu dicermati adalah amanat yang disampaikan pada BAB XV (Ketentuan Peralihan). Pada Pasal 116 ayat 2 dinyatakan bahwa “Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya”; dan pada ayat 3 dikatakan “Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Ini adalah isu kritis yang perlu segera disikapi oleh berbagai pihak. Terutama bagi warga desa itu sendiri.

Betapapun, proses penyusunan berbagai kebijakan turunan ini perlu dijadikan agenda bersama ke depan agar produk hukum yang akan dihasilkan tidak mengkhianati semangat undang-undang yang sesungghnya. Di daerah-daerah yang potensi ’pulang kampung’-nya relatif besar, umumnya terdapat di daerah-daerah di luar Pulau Jawa, akumulasi pengetahuan tentang keberadaan ’desa adat’ di daerah itu harus segera divalidasi sedemikian rupa. Peluang yang diberikan oleh pasal peralihan ini perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Jika fase peralihan yang diselenggarakan secara massal ini terlewatkan, maka kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang layak menjadi satu ’desa adat’ terpaksa harus berjuang secara sendiri-sendiri.

            Mudah-mudahan niat baik yang terkandung dalam undang-undang baru ini terwujud sebagaimana mestinya, dan tidak membuat kehidupan desa dan/atau desa adat justru menjadi lebih porak-poranda.***

Penulis adalah  Praktisi Antropologi, fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria, Yogyakarta. Mantan anggota Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Contact: r.y.zakaria@gmail.com; Blog: https://independent.academia.edu/YandoZakaria.

 

Bahan Bacaan

Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekarang Kementerian) Dalam Negeri, 2007. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa.

Koentjaraningrat, 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), 2012. Menggagas ‘RUU Desa atau disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia: Pandangan dan Usulan Lingkar untuk PembaruanDesa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang diajukan oleh Pemerintah Tahun 2012. Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum yang diselenggarakan Panitia Khusus (Pansus) RUU Desa DPRRI, Jakarta, tanggal 20 Juni 2012.

Marzali, Amri, (dalam proses penerbitan). “Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia”. Sebuah tulisan yang dipersiapkan untuk sebuah buku yang masih dalam proses penerbitan.

Zakaria, R. Yando, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: ELSAM.

———————, 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Lappera Pustaka Utama.

———————, 2011, “Masih Solusi Kaum Keledai”, sebagaimana yang saya publikasikan melalui beberapa mailinglist yang saya ikut dan laman Facebook saya. Silahkan taut ke http://www.facebook.com/notes/yando-zakaria/masih-solusi-kaum-keledai/10150428963248318

———————–, 2012. “Makna Amandemen Pasal 18 UUD 1945 bagi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan tema “NEGARA HUKUM INDONESIA KE MANA AKAN MELANGKAH?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9-10 Oktober 2012.

Zakaria, R. Yando dan Hedar Laudjeng, 2012, “Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat bisa dengan Undang-Undang tentang Desa. Mari lupakan kulit, bersungguh-sungguhlah dengan substansi”  sebagaimana yang saya publikasikan (kembali) melalui laman Facebook saya. Silahkan taut ke http://www.facebook.com/notes/yando-zakaria/pengakuan-dan-perlindungan-masyarakat-adat-bisa-dengan-undang-undang-tentang-des/10150732219433318

[1]  Bahan bacaan yang dipersiapkan untuk kegiatan sosialisasi UU Desa 2013. Untuk pertama kalinya disampaikan pada kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan QBar (Padang), Perkumpulan HUMA (Jakarta) dan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Di Padang, tanggal 7 Januari 2014.

[2]  Sebagaimana dilaporkan SindoNews.Com. Sila taut ke http://nasional.sindonews.com/read/2013/12/19/12/818607/pengesahan-uu-desa-tonggak-sejarah-indonesia

[3]  Sebagaimana dilaporkan Harian Padang Ekspres. Sila taut ke http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=48990#.UrZI5L2VN9o.facebook

[4]  Ibid.

[5] Tentang hal ini periksalah R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: ELSAM; dan 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Lappera Pustaka Utama.

[6] Lebih jauh tentang ini periksalah R. Yando Zakaria, 2012. “Makna Amandemen Pasal 18 UUD 1945 bagi Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Konferensi dan Dialog Nasional dalam rangka Satu Dasawarsa Amandemen UUD 1945 dengan tema “NEGARA HUKUM INDONESIA KE MANA AKAN MELANGKAH?”. Diselenggarakan di Jakarta, tanggal 9-10 Oktober 2012. Sebagaimana dapat dikases pada https://www.academia.edu/3463487/Makna_Amandemen_Pasal_18_UUD_1945

[7]  Dikutip dari Naskah Akademik ‘Rancangan Undang-Undang Tentang Desa’, 2007, yang diedarkan oleh Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen (sekrang Kementerian) Dalam Negeri.

[8]  Bahasan yang lebih mendalam tentang ketiga model ‘pemerintahan desa’ ini periksalah Zakaria, R. Yando dan Hedar Laudjeng, 2012, “Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat bisa dengan Undang-Undang tentang Desa. Mari lupakan kulit, bersungguh-sungguhlah dengan substansi”, sebagaimana dapat diakses pada http://www.facebook.com/notes/yando-zakaria/pengakuan-dan-perlindungan-masyarakat-adat-bisa-dengan-undang-undang-tentang-des/10150732219433318; lihat juga Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), 2012. Menggagas ‘RUU Desa atau disebut dengan nama lain’ yang Menyembuhkan Indonesia: Pandangan dan Usulan Lingkar untuk PembaruanDesa dan Agraria (KARSA) untuk Penyempurnaan ‘RUU Desa’ yang diajukan oleh Pemerintah Tahun 2012. Disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum yang diselenggarakan Panitia Khusus (Pansus) RUU Desa DPRRI, Jakarta, tanggal 20 Juni 2012, sebagaimana bisa dikses pada https://www.academia.edu/3463510/Menggagas_RUU_Desa_yang_Menyembuhkan_Indonesia

[9]  Naskah lengkap RUU Desa dan Penjelasannya, berikut Laporan Ketua Pansus RUU Desa dan Pendapat Akhir Pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Tanggal 18 Desemeber 2013, dapat diakses pada https://independent.academia.edu/YandoZakaria.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian