Ahmad Tohari Menjaga Rasa Malu

Hamzah Sahal | 27 - Jan - 2014

“Makan, Min?”

“Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”

“Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”

 

Petikan dialog di atas saya cuplik dari cerita pendek Ahmad Tohari berjudul Senyuman Karyamin. Saidah, si penjual pecel keliling, melihat Karyamin, si tukang batu, yang tubuhnya gemetar, mukanya pucat, dan dari perutnya terdengar suara kruyukan. Karyamin lapar sangat. Tapi Karyamin tak mau menerima tawaran pecel Saidah, karena utangnya sudah banyak. Karyamin kasihan kepada Saidah.

 

Tapi Saidah juga kasihan melihat Karyamin. Maka dia terus membujuk agar Karyamin tak perlu dulu memikirkan utang. Makan dulu yang penting.

 

“Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”

Saidah membujuk dengan keras agar Karyamin bersedia makan. Tapi Karyamin tidak bersedia makan karena malu, utangnya pada Saidah menumpuk. Ketika Saidah meyakinkan tawarannya, Karyamin menjawab dengan tegas:

“Tidak. Kalau kamu tidak tahan melihat aku lapar, aku pun tidak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”

Hari ini, di saat kita banyak diperlihatkan pemandangan, oleh elit, bahwa sepertinya rasa malu telah dibuang jauh-jauh, Ahmad Tohari memperlihatkan kepada kita sikap orang-orang desa yang begitu kuat menjaga rasa malu, meskipun bangkrut taruhannya, meskipun mati akhirnya.

Di dalam kisah lainnya, Jasa-jasa Buat Sanwirya, Tohari juga memunculkan kisah orang desa yang menjaga rasa malu. Kali ini, rasa malu diteriakkan oleh tokoh perempuan, seorang istri yang sedang menunggui suaminya menjemput malaikat maut. Sanwirya sekarat karena jatuh saat menderes nila kelapa. Waras, Sampir dan Ranti, mimikirkan nasib temannya, Sanwirya. Jika seorang penderes jatuh, bukan saja rasa sakit yang akan ditanggung, tapi juga lapar, karena otomatis penghasilan akan hilang. Bahkan penduduk desa memikirkan bagaimana nasib jandanya, ketika penderes itu mati.

Tapi, Nyai Sanwirya menolak semua opsi yang ditawarkan Waras, Sampir, dan Ranti. Kepada mereka, Nyai Sanwirya berkata dengan tegas:

“Itukah sebabnya kalian mencarikan pinjaman ke lumbung-lumbung desa dan tengkulak? Oalah pangeran… jangan lakukan itu. Wanti-wanti jangan. Kami takkan lebih senang dengan pinjaman-pinjaman itu. Kami tak pernah punya persoalan yang namanya lapar!”

Istri Sanwirya ambil sikap, menolak pinjaman-pinjaman. Dia tegar, meski mungkin tidak masuk akal. Cuma satu yang diinginkannya, meminta tolong dipangilkan modin untuk menemani suaminya menemui malaikat maut.

Dua contoh di atas sepertinya menjadi oase di tengah elit kita yang suka menumpuk kekayaan, melanggengkan jabatan, hingga melenyapkan hak-hak orang banyak demi gelimang kesenangan dirinya, keluarganya, temannya dan kelompoknya.

Kunci kerakusan, apapun jenisnya, adalah hilangnya rasa malu. Korupsi, karena tidak malu pada rakyat. Narsis karena tidak malu pada dirinya sendiri. Pembohong, karena tidak malu pada kebenaran. Pengkhianat, karena tidak malu pada amanat. Poligami, karena tidak malu pada kesetiaan. Pengepul dan pengumpul seabrek jabatan, karena tidak malu pada cucunya. Perusak alam, karena tak malu sama monyet. Dobal, karena tidak malu pada lapar. Saya suka bangun kesiangan, karena tak malu sama mertua. Dan sebagainya dan sebagainya.

Dua cerita pendek menjadi cermin pada kita semua agar kembali mengingat, menemukan dan menjaga rasa malu. Benar atau tidak hadits “malu sebagian dari iman”, itu tidak penting.  Yang penting, ia telah mengingatkan bahwa malu wajib kita miliki, agar hidup dan kehidupan kita seimbang, tetap waras.

Rasanya pas sekali jika buku ini saya jadikan cermin menghadapi tahun yang “genting” ini. Tahun ini, kita akan dipertontonkan rasa malu yang dijual murah, bahkan diberikan dengan cuma-cuma demi sejumput isi perut.

Tahun ini, kita akan menyaksikan wajah-wajah yang dipoles. Yang tak biasa mingkem akan mingkem, yang tak biasa senyum akan senyum, yang tak biasa mengepalkan tangan akan mengepalkan tangan, yang tak biasa berkopyah akan berkopyah, yang tak biasa berjas akan berjas lengkap dengan dasinya. Semua itu akan dilakukan dengan sekuat tenaga, diada-adakan, direkayasa, agar mukanya terlihat pantas saat ditempelkan di tembok, kendaraan umum, pepohonan, atau dibentangkan di atas jembatan.

Dan tahun ini, transaksi utang-piutang akan melonjak tajam, serta apapun, termasuk rasa malu, akan digadaikan. Untuk apa? Untuk berjudi pada pemilu nanti.

Saya belum membaca secara keseluruhan cerita-cerita Ahmad Tohari yang terbit pertama kali tahun 1989 itu. Tapi secara sekilas saya tangkap, semua kisahnya berlatar desa dan seisinya: sawah, kerbau batu, pepohonan, kali, rumah reot, dan lain-lain. Tokoh-tokoh di dalam adalah penduduk desa yang bermacam-macam, orang miskin, tengkulak, tukang pecel, pamong, mandor, modin  dan lain sebagainya. Ada desir suara angin, kemrucuk air, cericit burung, embek kambing, hingga senandung sholawat.

Tohari memang juru bicara desa yang setia. Hampir semua karyanya bicara desa. Dia lihai betul menysiarkan sikap-sikap orang-orang pelosok desa yang lugu, jujur, sederhana, setia, ulet, penolong, guyub. Tapi pada saat yang bersamaan, Tohari tak segan mengungkap orang desa yang telah berubah, berkhianat, penjilat, jadi bajingan, menghamili orang, hingga orang-orang yang menjadi kaki tangan tengkulak atau mandor-mandor perkebunan.

Tak percuma saya baca buku kumpulan cerita pendek yang juga berjudul Senyuman Karyamin. Dan tepat sekali buku tersebut menjadi buku pertama yang kubeli di tahun 2014 ini. Meski ini karya lama, terbit pertama kali tahun 1989, tapi ini buku yang hidup. Hidup karena kisahnya lancar dan dinamis. Hidup karena menyuarakan realitas di masyarakat, dan makin hidup jika dihadapkan dengan perilaku elit.

Tak itu saja, kumpulan cerpen ini juga masih hidup karena masih dicari pembacanya. Buku yang kubeli ini cetakan kesembilan, Juli 2013. Cetakan sebelumnya, tertera dalam buku itu, September 2005, dan Juli 2002. Dalam penilaian saya, ini buku hidup secara meyakinkan. Secara meyakinkan dicetak ulang. Bukan karya yang lama tidak muncul di tengah khalayak ramai, lalu dihidupkan kembali.

Tidak berhenti sampai di situ, tiga hari lalu, saya dapat kabar dari Romo Purhastanto bahwa semua karya Ahmad Tohari menjadi bacaan wajib sebuah sekolah Katolik di Semarang, termasuk Senyuman Karyamin. Empat tahunan yang lalu, kata Romo Purhastanto, ketika Kolese (SMP dan SMA) Kanisius di Jakarta mengadakan lomba apresiasi sastra, buku yang dilombakan adalah karya-karya Ahmad Tohari, termasuk Senyuman Karyamin.

Akhirul kalam, saya ingin mengatakan, karya-karya orang Banyumas-Jawa Tengah ini, termasuk kumpulan cerpen Senyuman Karyamin yang dikumpulkan dan dipengantari oleh Maman S Mahayana ini, adalah karya sastra yang berpengaruh, meski saya tidak tahu sejauh mana pengaruhnya. Tapi yang jelas, saya tidak berani mengatakan Tohari merupakan sastrawan dan tokoh sastra yang paling berpengaruh dalam seratus tahun terakhir ini, apalagi seratus tahun ke depan. Saya tidak punya ilmu yang dimiliki tim delapan, saya masih ingin punya rasa malu



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

One Response to “Ahmad Tohari Menjaga Rasa Malu”

  1. saifurroyya says:

    Sebuah Cerpen yang menarik…

Isi Komentar