Lagu Banyuwangen: Antara Komodifikasi dan Pergulatan Identitas

Hasan Basri | 12 - Jan - 2009

Lagu Banyuwangi awalnya digunakan sebagai penanda identitas daerah.  Sesuatu yang dianggap ideal dan umum di era tahun 1970an.  Namun sejak awal perkembangan musik daerah,  sudah tercium bau komodifikasi dan kepentingan modal.  Tercatat,  rekaman lagu daerah Banyuwangi atau lagu Banyuwangen untuk pertama kalinya difasilitasi oleh Pemda Banyuwangi yang bekerja sama dengan  studio Sarinande dan Ria.  Proses produksi dan rekaman untuk pertama kalinya dilakukan di pendopo kabupaten Banywangi oleh kedua studio yang dijadikan rekanan Pemda Banyuwangi tadi.  Pada saat itu, rekanan tidak hanya menyediakan alat rekam namun juga mengadakan dan memasarkan produksi lagu Banyuwangen.  Pengarang lagu bahkan awalnya tidak dibayar. Kondisi waktu itu memungkinkan hal tersebut. “Pokoke lagu direkam, girang wis,” kata Andang CY , salah seorang pengarang senior lagu Banyuwanen. Namun ketika persebaran kaset telah mencapai ribuan dan sampai di daerah luar Banyuwangi, pengarang memperoleh kepopuleran, produser memperoleh keuntungan, maka hukum pasar yang berlaku.

Relasi antar seniman dan produser serta Pemda di lain pihak, berpusar antara logika pasar dan idealisme. Produser sudah merasa membutuhkan pengarang, pengarang lagu juga merasakan hal yang sama. Maka sedikit demi sedikit persaingan antar pengarang muncul, demikian juga persaingan antar produser, walaupun diakui oleh mereka persaingan waktu itu tidak sengit. Yang jelas bagi para pengarang semacam Andang CY, Basir dan Mahfud idialisme awal yang penting syairnya dikenal masyarakat dan pesannya moral sosialnya sampai, telah luntur. “Serta ana dolare, ana picise, bida pena. Mulai napsi-napsi. Dhewek-dhewekan.” Kata Andang CY. Pada waktu itu Andang CY sampai menciptakan syair sebagai self critic (betulkan istilahnya, mas) sessama pengarang yang telah memburu uang. Syairnya berjudul picis (uang): picis rasane keliwat manis, tapi picis iku angkuh, iman kukuh ditendhang rubuh, wong kang mata picisen tega nyawang kanca lempiriten.

Karena itu posisi seniman menjadi lemah di hadapan produser. Untuk mengikat pengarang lagu, produser tidak segan memberi barang berharga, dengan akibat lagu tidak memiliki harga tawar. Lemahnya posisi seniman itu bisa dilihat dari kondisi ekonomi beberapa seniman. Basir Nurdian, pencipta lagu Umbul-umbul Blambangan yang terkenal dan lebih dari 200 lagu lainnya, hidup dalam kesederhanaan. Bahkan ia sering menerima uang setelah lagu-lagunya direkam ulang tanpa ijinnya. Tapi ia tidak mampu memasang harga. Karena biasanya lagunya tiba-tiba direkam begitu saja. Dan ia tidak bisa mengontrol dan mengetahui berapa keping CD atau kaset telah direkam lagunya. Oleh karena itu ketika ditanya bagaimana siasatnya untuk menghadapi produser, ia hanya pasrah dan menerima saja. “Rumangsaa baen munggone. Kadhung nyang umah wong-wong iku sun kongkon nggawa sabun lan anduk, makene weruh kadhung umahisun bocor kabeh,” kata Basir di rumahnya yang sederhana.

Dengan semakin mudahnya proses rekaman dan pembuatan master album, puluhan studio rekaman muncul di Banyuwangi. Istilahnya ada studio yang punya bendera semacam Sandi Record, Safari Record, Indra Record, Scorpio Record, Fista Jaya record, Gemini Record dan puluhan studio home industri atau studio rumahan. Kalau dekade sebelumnya seniman Banyuwangi merekam lagu di Surabaya semacam Golden Hand, sekarang sudah bisa secara mandiri di Banyuwangi. Dengan sekian banyak studio rekaman, rata-rata dalam satu bulan bisa lima sampai tujuh album dilemparkan ke pasar. Penyanyi dan pencipta lagu juga tumbuh bagai jamur. Seakan-akan semua orang bisa menjadi pecipta lagu. Memang tidak semuanya berhasil. Penyanyi dan pencipta lagu Adistya Mayasari misalnya, albumnya yang bertajuk “Kangen” hasil kolaborasi dengan grup Rolas (Rogojampi Orkestra Lare Asli) yang berisi 10 tembang menurut pengakuan Mas Sandi (produser Sandi Record) telah terjual 100 ribu keping lebih. Ketika masuk dunia kapital yang sangat menguntungkan inilah konflik-konflik muncul baik anatara pencipta dengan musisi, pencipta dengan produser dan seterusnya. Konflik itu muncul karena kurang kuatnya perjanjian awalnya. Perjanjian pembagian hasil yang kurang tegas, dan keinginan yang bersifat pribadi dan lain-lain. Karena sebelumnya mereka tidak menduga album akan laku demikian keras. Pada saat beginilah rentannya posisi seniman. Maka kapital yang mengendalikan. Kasus Rolas, misalnya. Saat albumnya laku diatas angka 65 ribu, maka ada konflik di dalam. Penyelesaiannya akhirnya master album tersebut di jual ke produser. Dan senimannya pasti kemudian tidak akan mendapatkan hasil dari sekian puluh ribu keping yang terjual kemudian.

Bagaimana posisi seniman? Pasar yang menentukan. Ketika penyanyi banyak bermunculan, maka daya tawarnyapun murah. Bahkan bagi penyanyi yang baru muncul tak dibayarpun tak mengapa. Atau dibayar ketika albumnya sudah laku. Ketika banyak pencipta lagu bermunculan, pasarpun menghargainya dengan murah. Untuk mengurangi daya tawar penyanyi produser bersiasat dengan sebanyak mungkin memunculkan penyanyi baru yang potensial. Biasanya diikutkan pada album artis yang sudah punya nama. Dengan semakin banyaknya penyanyi yang berkualitas, dan pilihan yang beragam artis papan atas akan pikir dua kali pasang tarip mahal.

Hasil dari pergumulan pasar itulah kemudian melahirkan dan menyaring mana pengarang lagu yang berkualitas, mana penyanyi yang disukai masyarakat. Pada deretas atas pencipta lagu bisa disebut misalnya Catur Arum, Yon DD, Adistya, Miswan dan beberapa nama yang lain satu lagunya bisa berharga di atas dua juta. Demikian pengakuan Mas Sandi. Satu juta apabila reliase. Di deretan penyanyi bisa disebut yaitu, Catur Arum, Dian Ratih, Lisa, Adistya dan nama-nama yang lain, rekaman satu lagu sudah berharga di atas 2 juta. Para artis papan atas Banyuwangi ini sudah merasakan berkah marakanya industri rekaman dengan peningkatan kesejahteraan meraka.

Namun tidak semua pencipta dan penyanyi merasakan hal yang sama. Kadang-kadang pembagian itu, karena tidak adanya saling kontrol, sangat tidak imbang. Pernah penyanyinya, karena dia penyanyi yang sedang top, memperoleh imbalan dalam satu album sejumlah 25 juta, tapi pengarang lagunya hanya memperoleh 2 jutaan. Barangkali dalam hal seperti inilah perlu dibangun kesepakatan dan regulasi untuk adilnya pembagian rizki. 

Sistem royalti di Banyuwangi belum ada. Yang berkembang adalah sistem beli lepas. Maksudnya produser membeli hak cipta pertama, membayar penyanyinya, musisinya, penari latarnya, dan lain-lain selesai. Kemudian dibikin master, digandakan dan dipasarkan. Kalau album itu laku keras, baru produser memberikan bonus kepada senimannya, itupun tidak mengikat. Ketika ditanya apakah produser tidak menerapkan sistem royalti, Mas Sandi mepertanyakan komitmen produser yang lain. Apakah produser lain juga mau menerapkan sistem royalti. Selama ini produser ngikuti saja hukum pasar. Honor artis, ngelihat kelasnya. Sistemnya bisa perlagu atau peralbum. Artis ada yang pasang harga ada yang tidak. Bagi yang sudah populer semacam Catur Arum, ia sudah pasang harga. Siapapun yang ngajak, tarifnya sekian. Sedangkan yang lain punya kiat sendiri-sendiri. Adistya misalnya, ia tidak selalu mau untuk diajak rekaman. Ia akan pilih momen dan kualitas lagu. Ia tidak ingin selalu muncul. Inipun dalam rangka mempertahankan pasar. Agar masyarakat tidak jenuh.

Namun demikian bukan berarti tidak ada resikonya bisnis di bidang rekaman ini. Menurut Mas Sandi, dari sekitar 35 album yang dikeluarkan, 15 album diantaranya gagal. Ketika memproduksi album POB “Janur Melengkung” ia invest lebih dari 100 juta. Karena rekaman harus di Jakarta, biaya audio dan vidio sekitar 80 juta, ditambah akomodasi di Jakarta kemudian penggandaan. Sampai saat ini modal album tersebut belum kembali. Padahal materi lagu bagus, penyanyi bagus. Tapi pasar mengalami kejenuhan lagu baru. Terlalu banyak lagu baru yang keluar. Masyarakat belum menikmati lagu yang baru, sudah muncul lagu baru berikutnya.

Produser harus pandai membaca selera pasar. Harus pandai melakukan terobosan dan butuh keberanian berspekulasi. Yang dikira orang tidak laku, ternyata asalkan menawarkan hal yang baru, maka akanditerima pasar. Misalnya sekarang ia mengeluarkan album host, disco. Sebelumnya banyak yang menyangsikan jenis musik ini. Tapi ternyata dengan keberanian berspekulasi ia produksi dan ternyata diterima. Dan ternyata pasar juga menghendaki keunikan. Ketika vokal disco itu vokal gandrung yatiu Mbok Temu, gandrung senior, justru sangat diterima oleh masyarakat.

Musik disco diterima pasar, karena telah terjadi kejenuhan jenis musik. Tanda-tanda kejenuhan pasar adalah album-album yang dikeluarkan dengan warna musik patrol cenderung stagnan. Padahal materinya bagus, baik penyanyi maupun musiknya. Maka harus ditangkap bahwa pasar menghendaki jenis musik lain.Sekarang hampir semua produser mengeluarkan album disco etnik. Mengeluarkan album host atau disco, kata Mas Sandi lebih cepat produksinya. Pengambilan gambar tidak memerlukan banyak tempat, cukup permainan lampu. Yang penting materi lagu dan penyanyinya serta visualnya. Selain itu kecocogan karakter suara penyanyi dengan materi lagu harus dipertimbangkan secara matang.

Untuk menjajagi pasar, biasanya produser mencetak dalam bentuk kotak dulu (cassete). Kalau dapat respon bagus, maka selanjutnya dicetak dalam bentuk CD. Indikator respon pasar antara lain, volume kemunculan lagu tersebut di radio-radio. Kalau pemirsa banyak meminta lagu tersebut itu sudah indikator yang baik. Maka sebelum dicetak dalam bentuk CD, produser memanfaatkan media radio untuk publikasi dan promosi. Bahkan menjalin keakraban dengan penyiar radio tersebut. Keakraban dengan penyiar akan membatu volume tampilnya lagu di radio. Semakinsering lagu baru tayang di radio, masyarakat mejadi dekat dan akrab. Maka merekapunmencarinya di bedak-bedak penjualan CD.

Jumlah penggandaan album, melihat jenis albumnya. Kalau semacam album disco yang lagi laris, maka bisa langsung digandakan 20 ribu keping. Tapi kalau semacam CD kesenian yang tak populer semacam jaranan, angklung caruk, digandakan tidaklebih dari 5 ribu keping. Lebih dari jumlah tersebut resikonya tinggi.

Pemasaran kaset dan CD Banyuwangi mencapai seluruh Jatimdan sebagian Bali. Secara perorangan ada juga yang menjual di Kalimantan, Sematra dan Silawesi. Sistem dan jaringan pemasaran sudah terbentuk. Dari produser turun ke distributor. Distributor bisa lembaga, perorangan atau toko. Produser juga biasanya sekaligus sebagai distributor. Dari distributor turun ke sales di masing-masing kecamatan atau temapt. Sales biasanya perorangan. Sales inilah yang mengedarkan CD samapi ke bedak-bedak. Dari bedak pembayaran ada yang case ada yang laku bayar. Ngelihat albumnya. Kalau albuk tersebut diminati pasar, bedak berani case. Sales beli ke distributor perkeping Rp 8000. bedak menual Rp 10.000 sampai Rp 12.500. 

Antar produser nggak ada persaingan menjatuhkan. Termasuk produser di luar Banyuwangi. Karena sebenarnya rugi kalau saling menjatuhkan. Yang sering muncul problem justru dengan pencipta lagu. Kadang produser telah membeli lagu dan bikin master dan belum diedarkan, tapi lagu tersebut oleh penciptanya sudah dijual ke produser lain dalam versi yang sama. Di sinilah ketergantunagan produser kepada pencipta lagu membuat mereka tidak mampu komplain kepada pengarang lagu. Karena ia butuh lagunya untuk produksi selanjutnya. Apalagi dengan pengarang lagu tersebut telah terjalin pertemanan yang akrab. Dalam kondisi seperti ini kerugian yang pasti. Belum kembali modal sudah keluar lagi pada versi yang hampir sama. 

Agar terjalin kerjasama yang saling menguntungkan, semua pihak yang dihubungi belum bisa memberikan solusi yang tepat. Ada yang menawarkan kerjasama antar produser. Misalnya dibangun kesepakan untuk tidak merekam lagu yang masih milik produser lain. Tapi kreteria lagu masih milik orang lain masih belum jelas di Banyuwangi. Berapa la telah beredar di pasar. Atau apakah lagu itu haknya pengarang lagu. Kode etik bagi pengarang lagu untuk tidak menjual lagu yang sama ke beberapa produserpun tidak ada. Sedangkanlagu yang dijual itu sangat marketable. Namun hal ini nampaknya tidak mugkin, karena masing-masning produser punya kepentingan sendiri-sendiri. 

Bagaimana dengan regulasi? Apakah perda atau Sk bupati misalnya. Ada yang mengharapkan tapi banyak juga yang skeptis. Sandi misalnya, karena ia merasa tidakmampumemberikan solusi, ia menerima saja ide tentang regulasi itu. Tapi akhirnya ia meragukan pendapatnya itu. Karena pernah DKB dan Disbudpar mengumpulkan para pencipta lagu, aranger, penyanyi se kabupaten Banyuwangi. Pada kesempatan itu terbentuk asosiasi seniman pencipta dan aransmen lagu Banyuwangi. “Tapi nyatanya kosong” kata Sandi. Ia malah gabung dengan APPRI Jawa Timur, dalam setiap label albumnya.

Ada juga yang menginginkan agar produser dan pencipta lgu itu membangun kesepakatan untuk pengaturan pengeluaran album. Agar dalam waktu bersamaan tidfak keluar album yang versinya sama. Ini untuk menhindari kerugian produser. Demikian kata H. Aris, produser sekaligus pemilik bedak di taman Sritanjung Banyuwangi. Tapi nampaknya sangat berat kalu membangun kesepakatan antar produser apalagi dalam hal mengeluarkan album. “itu hak intern produser” kata Sandi yang juga ngeluarkan album lawak Using ini.

Mengapa ia mengeluarkan album lawak Using? Pertimbangannya juga mudah. Yaitu kecenderungan pasar. Ketika pelawak Bodos sering diundang dalam hajatan mengapa tidak direkam di CD? Masyarakat akan lebih mudah mengakses. Tidak perlu datang ke hajatan. Dengan cd bisa diputar sewaktu-waktu. 

Jadi kesenian apapun di Banyuwangi ketika bersentuhan dengan pasar dan menjanjikan secara materi maka terjadilah kerja sama antar seniman dengan pemodal. Walaupun kepentingannya sesaat, dan kadang tidak jelas siapa yang diuntungkan dan dirugikan. Para seniman sendiri kebanyakan kurang menyadari posisinya. Antara kepentingan popularitas dan ketakberdayaan modal. Maka di tengah maraknya dunia rekaman di Banyuwangi sampai saat ini pemodal yang berani berspekulasi yang pandai membaca kecenderungan pasar dan teliti mempersiapkan pernik-pernik produksi maka ia yang meraih untung. Tapi memang akhirnya mereka yang punya modal kuatlah yang berani berspekulasi. Dan keuntungan seakan selalu menjadi hak mereka.

Bagaimana mendobrak pasar yang cenderung pragmatis? Bahkan kadang-kadang tak mengindahkan kualitas? Sedang masyarakat juga kurang kritis? Bagaimana agar idialisme juga diperjuangkan? Dan bagaimana memperjuangkan posisi seniman? Bisakah asosiasi mempengaruhi pasar? “Ketika kita campur tangan ke pasar, pasar punya keunikan sendiri”, kata Momo, salah seorang pencipta lagu. “Kecuali kita mengadakan produksi tandingan!” lanjutnya. Dengan syarat, produksi yang ideal, siap bangkrut, hanya materi yang berkualitas yang dimasukkan, baik lagu maupun penyanyi dan lain-lain. Dengan musik dan syair yang bermakna dan berdampak sosial dan visualisasi yang sempurna kemudian kita tawarkan ke pasar. Dan tidak ketinggalan dimulai dan dikenalkan kepada seluruh seniman pencipta lagu dan penyanyi sistem royalti. Akhirnya masyarakat mengetahui dan terajari menemukan dan memilih produk yang berkualitas. Kalau ini pilihannya, sebenarnya ini bukan mimpi tetapi tantangan.
Hasan Basri, Budayawan muda Banyuwangi, Aktif di Dewan Kesenian Blambangan dan menjadi pendampin lapangan program Halaqah Budaya Desantara di Banyuwangi pada 2006-2007



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian