Negara Bakal Mengatur Soal Kerukunan Umat

A Baso | 23 - Jan - 2008

Beberapa waktu lalu telah diberlakukan UU tentang kerukunan umat beragama. Semangatnya adalah membatasi dan melindungi. Menurut logika UU yang disusun Departemen Agama ini, umat beragama sering konflik dan cek-cok. Bahwa klaim kebenaran terhadap agama adalah akar ketidakrukunan. Maka, dari kenyataan itu, ditariklah kesimpulan, seperti ditulis dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Kerukunan Umat Beragama (ditulis oleh tim dari Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag yang diketuai H. Ichtijanto SH), bahwa “jika umat beragama tidak mampu mengatur dirinya berarti masih diperlukan institusi non-agama, yaitu negara untuk mengatur umat beragama”.

Ya, negara diberi kuasa tambahan lagi untuk mengatur toleransi antara berbagai penganut agama dan kepercayaan. Dan kuasa itu, seperti disebut dalam halaman 10 dalam anskah tersebut, adalah “pengawasan, pembinaan dan pengendalian kehidupan beragama”. Contohnya pun diambil dari Singapura yang punya UU tentang Menjaga Keselarasan Beragama (Maintenance of Religious Harmony Act).

Berikut poin-poin “pengawasan, pembinaan dan pengendalian kehidupan beragama” seperti diajukan dalam naskah akademik RUU Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) berikut beberapa konsideransnya:

bantuan keagamaan luar negeri

Pertimbangannya adalah agar bantuan tersebut tidak menjadi media untuk pindah agama

&middotperkawinan antar pemeluk agama yang berbeda

Ini ditujukan agar tidak terjadi perkawinan sebagai alat salah satu pasangan untuk mengajak secara paksa pasangannya yang berbeda agama agar menganut agama yang sama

pendidikan anak

Setiap anak berhak dan wajib mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh anak didik.

perawatan dan pemakaman jenazah

Pemakaman jenazah dilaksanakan menurut agama yang dipeluk oleh orang yang meninggal (bukan agama ahli warisnya), dan dimakamkan di tempat pemakaman umum yang tersedia bagi para pemeluk agamanya. Apabila tidak ada tanda-tanda menganut suatu agama, maka dilaksanakan menurut agama yang dianut oleh lingkungan masyarakat setempat.

kegiatan kelompok sempalan (sic!!)

Ini bagaimana agar tidak terjadi konflik karena misalnya kelompok sempalan melakukan tata cara peribadatan yang berbeda dengan tata cara kelompok mayoritas (sic!), memberi penafsiran yang tidak sama terhadap teks-teks atau doktrin ajaran agama atau melakukan interaksi sosial yang cenderung tidak sama.

pendirian rumah ibadah

Dikemukakan perlunya diatur persyaratan tata ruang, tata guna tanah, dan lingkungan umatnya untuk menentukan boleh tidaknya sebuah bangunan ibadah didirikan.

Bila ditilik dengan cermat, tampak bahwa semangat dari RUU ini tidak jauh beda dengan UU Sisdiknas yang baru disahkan DPR itu. Kalau dalam UU Sisdiknas ada upaya untuk melindungi anak didik dari latar belakang Islam untuk tidak dimurtadkan oleh sekolah-sekolah Kristen tempatnya belajar, dalam RUU KUB ada upaya yang secara sistematis lebih dari itu. Bukan hanya dalam soal pendidikan, tapi bahkan sejak lahir hingga mati pun kehidupan umat Islam dipisahkan atau dibuat terpisah secara sosial dengan yang bukan Muslim. Sejak lahir anak harus jelas identitasnya apakah Islam atau bukan. Dalam soal pengangkatan dan perkawinan tidak boleh ada percampuran agama (Islam dan bukan Islam) antara kedua belah pihak antara si anak dan orang tua angkatnya, atau di antara pasangan suami dan istri. Juga ada larangan mengikuti upacara agama lain, dan larangan menguburkan mayat yang Islam misalnya dalam pemakaman non-Muslim. Bahkan lebih dari itu, ada upaya untuk menjaga praktek dan ajaran yang dianut mayoritas agar tidak diganggu oleh kelompok-kelompok yang disebut “sempalan”.

Draft RUU KUB ini jelas sangat diskriminatif. Karena membuat perbedaan perlakuan berdasar agama antara yang Islam (yang dikatakan mayoritas) dan yang bukan Islam (yang dikatakan minoritas). Yang mayoritas diistimewakan dengan pengkhususan yang diberikan negara, sementara yang minoritas diatur dan diawasi oleh negara agar tidak mengganggu kehidupan kelompok mayoritas.

Memang ada contoh kasus Sampit, Ambon, Kupang, dan sebagainya yang membenarkan negara dan segenap aparatnya turun tangan ikut menjadi penengah atau mediator. Tapi mengembalikan semua penyelesaian kepada negara untuk mengatur hubungan antar umat beragama. Dan itu artinya mengatur cara hidup berbeda masyarakat yang sudah dibangun melalui instrumen toleransi. Apakah toleransi perlu diatur, seperti saya makan dan minum perlu juga diatur oleh negara? Lalu katanya diharapkan tercipta keserasian dan ketenteraman dalam kehidupan beragama. Bukankah yang bisa muncul ketika toleransi diatur adalah malah intoleransi atau ketidakrukunan? Bukankah pengkhususan dan pengistimewaan itu akan memunculkan kecemburuan dan kedengkian, dan berujung pada ketegangan atau juga konflik. Lalu kita pun menyalahkan yang iri dan yang cemburu itu. Pengalaman Ambon dan Sampit cukuplah sekali dan jangan terulang lagi.Desantara / A Baso



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar