Menimang Kembali Eksistensi Bahasa Sunda

Eri/Badar/Bode | 12 - May - 2008

21 Februari telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Namun tampaknya hal itu tak mendapat respons yang cukup dari masyarakat dunia. Begitu juga di wilayah lokal, hanya segelintir orang yang respek terhadap eksistensi Bahasa Ibu. Masyarakat Jawa Barat misalnya, yang memiliki bahasa Sunda sebagai bahasa Ibu juga tak banyak yang peduli.

Barangkali hanya Komunitas Srimanganti Garut saja yang memiliki kepedulian khusus untuk merespons Hari Bahasa Ibu tersebut. Pada tanggal 28 Februari lalu, mereka menggelar kegiatan di gedung Pendopo Kabupaten dengan mengusung tema Ngahirup-huripkeun Basa Sunda. Acaranya adalah bedah buku berbahasa Sunda yang ditulis oleh sastrawan Sunda dari Garut, serta pidato budaya oleh Ajip Rosyidi. Kegiatan yang didukung Bupati beserta jajaran Pemkab Garut itu juga dimeriahkan berbagai pentas seni, seperti gelar performance-art dari kelompok Teater Awal SMAN 2 Tarogong, shalawatan dari dosen dan mahasiswa UNIGA (Universitas Garut), pagelaran grup “El-Nadom” pimpinan sastrawan Sunda Hadi AKS dari Bandung, dan pembacaan puisi oleh Euis Balebat, aktivis Teater Sunda Kiwari dan Panglawungan Pangarang Sastra Sunda (PPSS).

Secara keseluruhan, peringatan Hari Ibu saat itu menjadi momentum refleksi bagi eksistensi kebudayaan di Indonesia secara umum. Dalam orasinya, Ajip Rosjidi mengritik pemerintah bahwa sejak merdeka hingga sekarang, mereka belum berpihak kepada seni budaya. Pemerintah masih menganggap seni budaya sebagai barang jadi, bukan hasil proses pendidikan yang panjang dan sungguh-sungguh. Seni budaya dipandang sebagai barang dagangan, sajian bagi pariwisata, yang berakibat merosotnya nilai seni budaya.

Ajip juga merasa prihatin atas sikap pemerintah dan masyarakat terhadap bahasa nasional. Masyarakat menganggap bahasa Indonesia tidak cukup bergengsi untuk berkomunikasi di tengah percaturan kota yang sibuk dengan kepentingan bisnis dan promosi wisata. “Anehnya, pemerintah tidak tersinggung bahasa nasionalnya sendiri dilecehkan. Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia dan Daerah juga tidak bereaksi apa-apa menyaksikan bahasa Indonesia dianggap lebih rendah dan tidak bergengsi di negaranya sendiri!” ujar Ajip.

Kalau terhadap bahasa Indonesia yang secara jelas telah diakui resmi oleh UUD sebagai bahasa nasional sudah demikian, tentu tak bisa dibayangkan bagaimana pula perlakuan terhadap bahasa daerah. Kondisi seperti itu tampak dalam bahasa Sunda. Jumlah orang Sunda, setiap tahun bertambah. Namun penutur bahasa Sunda justru makin berkurang. Begitu pula dengan bahasa Jawa, Minang, Batak, Bali, dan sebagainya, mengalami hal yang sama.

Menurut satu hasil penelitian, 10.000 tahun yang lalu, penduduk planet bumi ditaksir berjumlah 5-10 juta dan bahasa yang dipakai ada 12.000 macam. Kini ketika jumlah penghuni bumi berjumlah sekitar dua milyar, bahasa yang masih hidup tinggal 6.800 macam. Bahkan menurut hasil survey sebuah lembaga independen di Asia Pasifik menyatakan, sekarang ini hanya tinggal 11 bahasa di dunia yang penuturnya (sebagai bahasa pertama) masih di atas 100 juta orang.

Dan menurut survey itu, bahasa Indonesia tidak termasuk 11 bahasa yang memiliki penutur di atas 100 juta orang. Artinya bahasa Indonesia pun terancam punah pula. Sementara itu, yang cukup mencemaskan juga, dalam laporan tersebut dinyatakan, bahwa bahasa Sunda termasuk ke dalam 3000 bahasa di dunia yang pada akhir abad ke-21 diperkirakan akan mengalami kepunahan.

Para ahli sepakat bahwa satu abad ke depan, jumlah bahasa yang aktif digunakan akan semakin menyusut. Yang pesimis bahkan memperkirakan penyusutan tersebut mencapai 90 persen. Jadi saat itu, bahasa yang digunakan tinggal 200-an saja. Singkatnya, tiap dua minggu ada satu bahasa yang mati.

Lalu, akankah bahasa daerah/bahasa Ibu tiap etnis di Indonesia juga akan punah? Kita tidak tahu pasti. Namun kembang-kembang dari ramalan itu sudah mulai tampak. Contohnya beberapa bahasa daerah/bahasa ibu sudah mulai luntur digunakan oleh para pendukungnya.

Pemakai bahasa Sunda pun kini mulai menyusut. Di beberapa kota di Jawa Barat, penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan anak muda dan di kantor pemerintahan serta perdagangan swasta, nampak mulai menggeser posisi bahasa Sunda. Belum lagi ditambah dengan penggunaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, dan Cina. Kondisi ini membuat bahasa Sunda semakin terpinggirkan.

Situasi ini cukup mencemaskan, khususnya bagi kalangan budayawan Sunda. Pada tahun 1973, sastrawan Usep Romli sudah menulis “Sastra Sunda Sekarat Awal”. Meski pada kenyataannya bahasa Sunda masih eksis hingga kini, kecemasan itu terus menghantui. Penerima Hadiah Sastra Rancage dari Jawa Suparto Brata, misalnya, menyatakan bahwa ia sangat mencemaskan kematian bahasa Jawa. (Koran Tempo, 13 Pebruari 2005).

Kekhawatiran itu mungkin wajar, mengingat bagaimana pun bahasa merupakan bagian penting peradaban suatu bangsa, suku bangsa atau etnis. Untuk memahami masa lalu orang Sunda misalnya, salah satunya tentu harus dibaca lewat peninggalan-peninggalannya yang menggunakan bahasa Sunda. Itu pun kini harus dengan memahami bahasa Sunda buhun (lama).

Bahasa juga mengandung keindahan. Maka jika sebuah bahasa lenyap, maka kita pun kehilangan kekayaan estetisnya. Dalam beberapa hal, misalnya, kita sudah kehilangan kekayaan etstetika bahasa Sunda Buhun. Kita akan kurang atau bahkan tidak mampu lagi menyelami keindahan bahasa Sunda Buhun, yang ada dalam cerita-cerita pantun, jangjawokan, dangding, dan wawacan. Desantara / Eri/Badar/Bode



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar