Tentang Kami

Desantara Foundation adalah lembaga nirlaba yang berminat pada kajian kebudayaan dan agama. Minat ini diimplementasikan melalui kegiatan advokasi, publikasi (buku, jurnal, majalah, newsletter dan lain-lain), dan pelatihan. Pendekatan dan kajian kebudayaan Desantara tidak memandang golongan dan latar belakang etnis, agama, ras, dan budaya tertentu lebih baik daripada yang lain. Sebaliknya, Desantara memprakarsai pertemuan, pergulatan dan interaksi antar kelompok yang beragam itu untuk mendorong sikap saling belajar satu sama lain demi mengembangkan pengetahuan kritis dan inklusif, serta untuk mendorong konsolidasi masyarakat sipil yang partisipatif terhadap perubahan.

Oleh karena itu, secara praksis implementatif, Desantara Foundation secara khusus melakukan kerja-kerja rekonsiliasi kebudayaan di kalangan masyarakat akar rumput (grassroots), khususnya bagi masyarakat pesantren, komunitas lokal – termasuk di dalamnya seni tradisi untuk penguatan masyarakat sipil yang kritis, adil gender dan partisipatif melalui pengembangan pengetahuan kiritis dan inklusif di bidang agama dan kebudayaan.

Tahun 1997 bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis legitimasi pemerintahan Orde Baru. Krisis ini ditandai berbagai kerusuhan sosial dan aksi mahasiswa di beberapa tempat, yang pada akhirnya mengguncang seluruh jaringan struktur Orde Baru yang ditopang oleh sentralisme politik dengan sistem ekonominya yang “neoliberal”. Rezim otoritarianisme Orde Baru ini mencapai titik balik dengan semakin tumbuhnya berbagai kekuatan civil society di Indonesia.

Kelompok Islam yang semula hanya menjadi label pasif dalam struktur Orde Baru muncul sebagai kekuatan politik dan sosial yang signifikan. Meskipun Islam muncul dalam berbagai lembaga dan gerakan sosial, kelompok yang merupakan komunitas terbesar di Indonesia ini melahirkan sejumlah lapisan cerdik pandai dan aktivis sosial yang secara aktif menjadi lokomotif proses demokratisasi mengiiringi runtuhnya kekuasan Soeharto yang represif.

Salah satu kekuatan Islam di Indonesia yang patut diperhitungkan sampai saat ini adalah lembaga pesantren. Di kalangan masyarakat arus bawah pesantren menjadi bagian penting yang tidak dapat dikesampingkan. Pesantren hingga saat ini telah sukses menjadi lembaga pendidikan paling populis yang memiliki jaringan lintas kelas dan etnis selama puluhan tahun. Bersamaan dengan lapisan kelas menengah dari kalangan pesantren yang mengenyam pendidikan tinggi kelompok pesantren yang berserak di berbagai tempat di pedesaan ini turut meramaikan aksi gerakan masyarakat sipil. Paling tidak kenyataan ini dapat dilihat dari semakin tuumbuhnya forum diskusi, kajian sosio-keagamaan, jaringan advokasi akar rumput, gerakan perempuan dari kalangan muda pesantren yangjuga memiliki basis pendidikan di universitas dan perguruan tinggi Islam.

Desantara lahir di tengah komunitas seperti ini.Bersamaan dengan terus menguatnya krisis dan delegitimasi Orde Baru, Desantara terus tumbuh sebagai jaringan pemikiran dan gerakan civil society dari kalangan muda yang menginginkan terjadinya perubahan di Indonesia yang lebih demokratis.Latar belakang pesantren tradisional dan minat studi di perguruan tinggi yang berbeda-beda merupakan simpul yang mempertemukan mereka.Salah satu isu menarik yang terus diminati di forum ini adalah keinginan untuk mengembangkan wacana kebudayaan sebagai modal kutural yang lebih transformatif. Pesantren bersama dengan kekuatan-kekuatan arus bawah lainnya dibidik sebagai target yang diharapkan menjadi salah satu agen transformatif tersebut.
Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, kebijakan kebudayaan di masa Orde Baru menghasilkan sejumlah implikasi sosio kulturalyang begitu besar di kalangan masyarakat akar rumput. Peristiwa 1965 dianggap sebagai titik balik orientasi kebudayaan yang menceraiberaikan berbagai kekuatan-kekuatan politik di masyarakat untuk kemudian di bawah ke dalam sistem Orde Baru yang mengakibatkan terjadinya floating mass.

Desantara berminat ingin menyegarkan kembali pergulatan, kontestasi dandialog yang tumbuh subur sebagaimana pernah terjadi di masa sebelumnya.Bagi Desantara sejarah yang terputus harusdirememorisasi, direinvensi dengan semangat yang lebih aktual dengan cara mengangkat dan memberi ruang kembalikekuatan-kekuatan kebudayaan di masyarakat yang lebih otonom, inklusif dan demokratis.

Bidang pertama yang digeluti menjadi program berkelanjutan adalah pembentukan komunitas-komunitas epistemik di kalangan pesantren dan komunitas lokal (masyarakat adat) untuk menjembatani kesenjangan dan ketegangan pemikiran diantara mereka.Terbentuknya komunitas ini seterusnya menjadi modal sosial bagi terus tumbuhnya pemikiran dan praktik kebudayaan yang lebih inklusif dan liberatif di massa rakyat. Pesantren dan komunitas-komunitas lain di tingkat lokal perlu didorong agar memiliki kapasitas untuk berkiprah di ruang publik. Dalam konteks ini Desantara menfasilitasi terbentuknya ruang komunikasi yang partisipatoris sekaligus mendorong repositioning subyek yang transformatif di tengah himpitan struktur dan praktikbudaya yang melingkupinya.

Maka dalam perkembangannya, jaringan dan komunitas Desantara di tingkat akar rumput menuntut tersedianya proses pendampingan yang lebih luas.Bagi Desantara penyemaian gagasan keagamaan yang lebih inklusif dan transformatif berdampak pula kepada keharusan membangkitkan politik kewargaan yang lebih kritis di berbagai bidang.Problem massa rakyat tidak dapat disempitkan semata kepada satu isu tunggal.

Karena, dalam pengalaman Desantara, kebudayaan ternyata tidak sebatasrepresentasi simbolik sebagaimana dalam kesenian dan ritual. Bagi Desantara Kebudayaan meliputi berbagai proses interaksi antar manusia yang menghasilkan berbagai makna simbolik sebagai representasi dari beragam kepentingan untuk mendominasi, menghegemoni, mengintimadasi, mengeksklusi, dan juga kepentingan untuk membebaskan dan mencairkan beragam bentuk dominasi dan represi tersebut.

Di tengah situasi seperti ini maka bagi Desantara kerja atau praktik kebudayaan itu setidaknya memiliki tiga hal:

  • Representasi proses emansipasi manusia untuk memperjuangkan serta menegakkan hak-hak dan martabatnya
  • Representasi pluralitas dan kemajemukan suatu komunitas atau masyarakat; dan
  • Konsep holistik yang mencakup dimensi etik, estetik dan progresif-evaluatif; terbentuk oleh dan melalui interaksi antar sesama manusia dan antar berbagai aspek kehidupan.

Pandangan seperti ini mengimplikasikan suatu kebutuhan membangun gerakan sosial yang mampu menembus aspek-aspek ketimpangan sosial, politik dan kebudayaan di massa populer.

Maka demi memenuhi tuntutan perbaikan kelembagaan yang lebih profesional dan akuntable Yayasan ini menghadap akte Notaris Wiwik Asriwahyuni Santosa, SH. Untuk didaftarkan kembali pada tahun 2005 sebagai yayasan yang berada di bawah SK menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomer: C – 336.HT.03.02 Th 2000.

Bidang-Bidang Kegiatan Desantara

1. Bidang Media: Majalah Kebudayaan Desantara.
Majalah Kebudayaan Desantara adalah media belajar bersama untuk melihat sejarah sosial dan kebudayaan masyarakat di Indonesia. Persoalan kebudayaan di Indonesia nyaris tidak bisa mengenyampingkan sejarah dan pergulatan sosial antara masyarakat, negara (agama) dan pasar yang saling berhimpitan. Misalnya di Indonesia telah lama dipahami distingsi yang nyaris diterima sebagai kenyataan antara agama dan kebudayaan. Kenyataan ini tumbuh seiring dengan kebijakan negara yang semakin meletakkan supremasi agama sebagai kekuatan kelembagaan yang memiliki otoritas menjaga moral masyarakat. Di pihak lain kebudayaan selama beberapa dekade nyaris tergeser menjadi kekuatan subordinat untuk melayani kepentingan negara dan pasar. Basis-basis sosio kultural yang menjadi sumber legitimasi identitas di masyarakat juga tidak terlepas dari praktik pemilahan antara agama dan kebudayaan. Santri/ abangan, agama/ aliran kepercayaan adalah beberapa dikotomi yang oposisi biner, keberadaannya juga nyaris diterima tanpa sikap kritis.

Majalah Desantara ingin meretas pandangan sempit seperti ini dengan menunjukkan berbagai ragam perbedaan kebudayaan di berbagai, dan bagaimana mereka saling bergulat satu sama lain. Pendeknya majalah Desantara adalah media yang merepresentasikan dinamika kebudayaan yang di dalamnya meliputi pergulatan, kontestasi dan resistensi antara satu kebudayaan dengan elemen kebudayaan yang lain. Kesenian, kebudayaan lokal, dan semangat-semangat keagamaan di beberapa tempat yang semula ditempatkan sebagai kelompok pasif, subordinat dan senantiasa menjadi korban dari sistem politik autoritarian direpresentasikan kembali melalui cara pandang subalternitas: penanda dari kekuatan lain yang mempunyai potensialitasnya sendiri untuk melakukan proses transformasi diri.

Maka majalah Desantara adalah media representasi bagi oposisi literer. Media ini lahir sebagai titik persinggungan antara model pendampingan gerakan populer dengan perlawanan terhadap epistemologi mainstream yang saat ini masih sangat menentukan konstelasi sosial ekonomi politik dan kebudayaan di Indonesia.

2. Bidang advokasi:
Dalam wilayah kerja Desantara, advokasi adalah usaha untuk mendampingi komunitas untuk mendapatkan hak kebebasan dan keadilannya sebagai warganegara. Kebebasan dan keadilan adalah dua paradigma mendasar yang saling berkaitan, satu sama lain tidak dapat dipisahkan, dan menjadi kerangka bersama dalam usaha pendampingan. Sementara itu, kertas kerja Desantara memilah advokasi ke dalam dua bidang kerja yang saling berkaitan: advokasi kultural, dan advokasi paralegal (perjuangan mendapatkan status hukum).

Desantara mempopulerkan istilah advokasi kultural sebagai: Cultural Reconciliation. Dalam pengalaman desantara proses Cultural Reconciliation yang pernah dan sedang dilakukan adalah proses Cultural Reconciliation melalui Dialog Agama dan Kebudayaan dengan Mempertemukan jaringan pesantren dengan komunitas-komunitas lokal kesenian dan indegenous pepole di Indonesia.

Program ini merupakan pilot project yang dilakukan di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Namun sejak tahun 2005 pilot project diperluas di beberapa tempat; Kalimatan Timur, Kalimantan Selatan. Tidak menutup kemungkinan di tahun-tahun mendatang kegiatan ini akan terus diperluas demi memenuhi tuntutan dan kebutuhan jaringan Desantara yang terus bertambah di beberapa daerah

Secara umum pemikiran yang melatari kegiatan ini adalah kebutuhan untuk membangun aksi dialogisme untuk membangun konsolidasi masyarakat sipil dalam semangat saling menghargai perbedaan kebudayaan satu sama lain. Posisi rakyat, khususnya di pesantren, komunitas kesenian lokal, dan indegenous people di masa-masa sebelumnya menghadapi berbagai rintangan untuk mendapatkan akses yang baik terhadap ruang publik. Wilayah mereka yang secara umum berada di meda geografis pedesaan seringkali menjadikan mereka sebagai obyek dari kebijakan-kebijakan negara.

Kondisi ini nyaris belum banyak berubah paska pemerintahan otoritarianisme Orde Baru. Misalnya sampai saat ini, ruang publik sebagai media bersama mulai diwarnai berbagai wacana yang saling bersaing dan masih terlihat kecenderungan untuk saling memonopoli ruang bersama ini. Seiring memudarnya kuasa negara sebagai juri penengah, dan semakin pudarnya kuasa negara untuk menegakkan hukum, sebagian masyarakat bahkan saling saling berkonfrontasi untuk menguasai ruang publik ini.

Persaingan antar kelompok pun terjadi sebagai akibat dari politik untuk membangun kekuasaan baru. Hubungan-hubungan antar budaya, dan antar agama di Indonesia masih menjadi ancaman dan potensi disintegrasi. Sinyal bagi melemahnya negara sentralistik paska Orde Baru tidak serta merta mendorong momentum bagi rekonsolidasi masyarakat sipil di Indonesia. Politik kebudayaan massa-rakyat terus menerus dihantui oleh sikap saling mencurigai, negativitas, dan eksklusifisme satu sama lain. Kondisi ini memberi peluang bagi munculnya kekerasan antar kelompok, dan tidak jarang kekerasan ini dipertajam karena ketiadaan berbagi kepentingan sekaligus penghormatan terhadap sikap budaya dan keagamaan mereka yang berbeda.

Kegiatan dialog yang dibungkus melalui tema Halaqah ini meliputi forum tatap muka (workshop, seminar), kampanye melalui media-media koran di daerah dan penerbitan buku. Tidak jarang kegiatan ini disertai aksi pendanpingan terhadap isu-isu aktual yang terjadi di beberapa daerah yang mengancam kehidupan yang co-existence antara satu budaya dengan budaya lain.

Seluruh proses Cultural Reconciliation ini tidak membawa dampak lebih signifikan tanpa dibarengi oleh perjuangan untuk mendapatkan status hukum (advokasi paralegal). Program ini sekaligus merupakan bentuk kepedulian Desantara untuk ikut mengiringi terbentuknya sistem perundang-undangan dan regulasi negara yang mencerminkan semangat toleransi dan penghargaan atas keanekaragaman budaya di Indonesia. Secara spesifik isu-isu hukum yang didampingi Desantara adalah isu mengenai pluralisme keagamaan, dan kebudayaan yang membawa akibat langsung bagi keberadaan pesantren, komunitas kesenian (tradisional) di tingkat lokal dan komunitas indegebous people di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, jumlah aliran keagamaan dan kepercayaan di Indonesia jauh dari yang diperkirakan oleh catatan negara. Selain lima agama; Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha, sejumlah kepercayaan keagamaan lokal masih bertahan sampai saat ini. Kelompok-kelompok dengan tradisi dan budaya spesifik ini bukan saja memiliki praktik kebudayaan yang berbeda, namun juga menuntut pengakuan yang sama atas apa yang mereka yakini sebagai agama mereka. Di Sulawesi Selatan misalnya. Propinsi dengan penduduk mayoritas beragama Islam ini faktanya memiliki beragam budaya yang berbeda-beda. Tidak jarang keanekaragama kebudayaan ini membawa tuntutan kolektif agar identitas-identitas yang spesifik ini juga mendapatkan pengakuan resmi dari negara, khususnya pengakuan atas identitias keagamaan mereka.

Sayangnya tuntutan ini dikesampingkan negara, bahkan sebagian besar kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak mereka ini mengalami reperesi, teror dan sejumlah praktik intimidasi lain. Paska peristiwa konflik nasional 1965, kebijakan agama gencar dilakukan negara untuk memaksa kelompok-kelompok yang dianggap belum menganut agama agar memilih salah satu dari lima agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha). Selama Orde Baru agama-agama yang tidak masuk dalam lima agama ini dicatat sebagai “aliran kepercayaan”. Kelompok aliran kepercayaan ini dalam praktiknya masih diharuskan untuk berafiliasi dengan salah satu dari lima agama di atas. Kebijakan ini berlangsung selama puluhan tahun. Selama masa rezim Orde Baru kebijakan ini menimbulkan sejumlah implikasi yang eksesif.

Pada tahun 2003 program advokasi ini pernah berhasil mendampingi Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama yang dianggap bermasalah. Undang-undang dianggap terlalu mengintervensi dan membatasi kebebasan warganegara dalam menjalankan peribadatannya. Pada tahun 2004 kegiatan untuk mengawal dan memperjuangkan regulasi negara yang lebih memiliki semangat kebebasan beragama dilakukan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Gerakan advokasi ini juga berhasil membangun simpul-simpul gerakan masyarakat sipil di akar rumput. Program pendampingan untuk isu HAKI (Hak Intelektual) di Indonesia adalah salah satu isu baru yang juga menjadi kajian Desantara. Isu ini merupakan isu internasional yang cukup penting disikapi mengingat potensinya yang dapat mengancam keberadaan komunitas kesenian lokal dan indegenous people di Indonesia yang tidak memiliki pemahaman kepemilikan individualistik atas kekayaan budaya dan intelektual di komunitasnya.

3. Program data base kebudayaan dan Layanan Perpustakaan

Desantara menyadari pentingnya data dan informasi yang didapat diuptading terus menerus. Jaringan Desantara Desantara di beberapa daerah memungkinkan untuk itu. Program pengadaan database untuk isu kebudayaan juga sangat bermanfaat bagi siapapun yang berniat menggali lebih dalam atas informasi yang disampaikan dalam program ini. Untuk merealisasikan program ini Desantara membuat sistem informasi dengan mengadakan web-desantara (home-page) yang online setiap hari. Melalui media web ini informasi dari jaringan desantara dapat dibagi ke publik secara lebih luas.

Pengembangan data-base desantara ke depan akan terus memanfaatkan kemajuan program-program software yang selama ini banyak digunakan di berbagai bidang.
Sementara itu program perpustakaan Desantara akan terus diperbaiki untuk menciptakan ruang baca dan sumber referensi yang kompatible bagi pegiat kebudayaan, para mahasiswa dan kelompok akademisi yang ingin mencari data seputar kebudayaan di Indonesia.

4. Kajian Perempuan
Isu kesetaraan Gender rupanya menjadi isu penting yang sulit dilewatkan dalam diskursus kebudayaan di Indonesia. Komunitas kesenian lokal yang pada umumnya ternyata perempuan menjadi salah satu pendorong Desantara terlibat dalam kajian perempuan dan kebudayaan. Di dalam komunitas pesantren posisi perempuan juga jarang disinggung sebagai produsen bagi penciptaan wacana keagamaan (Islam) sebagaimana yang selama ini dikonsumsi di pesantren-pesantren.

Wacana keagamaan patriarkis tidak jarang melabeli posisi perempuan yang menghidupi kesenian tradisi sebagai amoral dengan beragam stereotipe negatif yang melatarinya. Relasi yang tidak harmoni antara pekerja seni dan kelompok agama (pesantren) seringkali membawa implikasi lebih serius bagi posisi perempuan itu sendiri. Agama-agama besar yang selama ini hidup di Indonesia secara terus menerus membangun sikap negatif terhadap komunitas indegenous people dan segenap warisan tradisi kesenian yang mengitarinya.

Kajian Perempuan Desantara hendak menyosialisasikan gagasan perempuan dalam kaitannya dengan isu agama dan kebudayaan. Rekonsiliasi kultural sebagaimana menjadi tema besar Desantara diharapkan juga membawa implikasi bagi terbukanya pemahaman keagamaan yang lebih toleran dan inklusif di kalangan pesantren dan komunitas agama terhadap kesenian tradisi dan seluruh aspek kebudayaan indegenous people.

Representasi yang membuka perspektif baru atas dinamika kesenian tradisi dan indegeous people di Indonesia merupakan bidang kampanye dan sosialisasi kognitif yang dikerjakan Kajian Perempuan Desantara.

Sejak tahun 2002, kajian Desantara memprakarsai terbentuknya media perempuan multikultural. Melalui media ini kekayaan hidup yang dimiliki perempuan di berbagai sistem kebudayaan di Indonesia dapat diinformasikan ke seluruh lapisan masyarakat. Representasi renik dan khasanah perempuan seperti ini diharapkan menggugah kesadaran publik untuk menggiatkan diskursus keagamaan dan kebudayaan yang lebih toleran terhadap khasanah multikultural dan keanekaragaman budaya di Indonesia.
Selain kegiatan media, Kajian Perempuan Desantara akan mendorong komunitas-komunitas epistemik di kalangan perempuan pesantren dan indegenous people yang mampu menandingi diskursus publik yang terlalu berpihak kepada sistem patriarkis.

Kalender Kegiatan Desantara (2002-2006)
1. Halaqah Kebudayaan : 2001- sekarang. Kerjasama Desantara dan Ford Foundation. Kegiatan ini berlangsung di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Barat. Sejak tahun 2005 dirintis program serupa di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan. Program ini meliputi: workshop dan seminar kebudayaan, silaturrahmi kebudayaan, kampanye media (mjalah, koran dan radio daerah). Program ini berhasil merintis majalah Kebudayaan Desantara tahun 2001. Majalah ini terbit tiga kali dalam satu tahun.

2. Forum diskusi dan kajian Rethinking Indonesia: 2001, 2002. Forum diskusi terbatas (roundtable discussion) yang menggali isu nasionalisme dalam pengalaman Indonesia paska kolonial. Diskusi pertama berlangsung di Hotel Bumi Wiyata dengan menghadirkan pembicara: Dr. Daniel Dhakidae, dan Amrih Widodo. Diskusi kedua (2002) menghadirkan Dr. Mohtar Pabotingi, dan Presiden Riau Merdeka, Al Azhar (Riau). Program ini menginspirasi divisi riset Desantara, yang menghasilkan proposal riset “Nasionalisme dalam Perspektif Negara, dan Masyarakat-Sipil, Paska Runtuhnya Soeharto”. Riset ini dimulai dari tahun 2004-2006, bekerjasama dengan, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Menristek (Kementrian Riset dan Teknologi) Indonesia

2. Madrasah Emansipatoris: 2003-2004. Program capacity building untuk pengembangan wacana pluralisme dan multikultural. Program ini kemudian diikuti dengan pembentukan jaringan dan simpul masyarakat sipil di beberapa tempat: Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Di ditingkat nasional program berhasil menggagalkan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUUKUB) yang dianggap melawan Hak Masyarakat Sipil dalam konteks kebebasan beragama.

3. Worksop Internasional Perempuan Multikultural: 2003. Kerjasama Desantara dan Japan Foundation. Program ini dilakukan untuk mengembangkan wacana publik mengenai eksistensi perempuan tradisi yang masih diposisikan marjinal. Secara spesifik kegiatan ini mempertemukan berbagai kelompok dalam forum interseksi antara aparatur negara, kelompok keagamaan dan pelaku seni tradisi untuk merumuskan strategi yang lebih akomodatif bagi pembentukan ruang kebebasan atas kehidupan kesenian tradisi yang banyak dihidupi kaum perempuan. Workshop ini menghasilkan satu publikasi buku berjudul: “Perempuan Multikultural”

4. Pengembangan Wacana Multikultural Melalui Advokasi lima komunitas lokal (2004- sekarang). Kolaborasi Desantara, Interseksi, dan Tifa Foundation. Program ini dilakukan Interseksi kemudian bidang advokasi dan pembentukan jaringannya dilakukan oleh Desantara.

5. Pelatihan “ Belajar Menulis Sejarah Sosial Masyarakat dan Kebudayaan” (2003- sekarang). Program ini pada awalnya diinisiasi untuk menambah wawasan bagi eksponen Desantara mengenai Cultural Studies, dan kegunaannya bagi gerakan sosial dan kebudayaan di Indonesia. Namun dalam perkembangannya, kegiatan ini diperluas sebagai usaha Desantara untuk menciptakan jaringan baru di kalangan anak muda untuk menggumuli aksi-aksi kebudayaan dalam konteks Indonesia. Aksi kebudayaan dalam jaringan Desantara ini salah satunya didorong untuk menciptakan pendidikan penyadaran publik di Indonesia mengenai kehidupan multikultural dan semangat kebhinnekaan. Kegiatan ini menhasilkan nesletter DIASPORA, dan JALANG, yang terbit tahun 2003-2004. Baik Newsletter DIASPORA, maupun JALANG adalah media untuk menulis kebudayaan bagi alumni program ini.

6. Advokasi Pendampingan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana): 2006-2007. Kerjasama Desantara, ELSHAM untuk memberi masukan atas draft KUHP baru mengenai isu keagamaan dan kebudayaan di Indonesia.

Jaringan Kerja Kebudayaan
Jaringan kerja kebudayaan adalah simpul-simpul gerakan di daerah yang berjejaring dengan aktifitas Desantara. Mereka adalah individu/ organisasi yang selama ini menjadi penggerak kegiatan kebudayaan desantara di wilayahnya masing-masing. Melalui jaringan ini desantara mengembangkan gerakan kolektif, sekaligus membangun media bersama untuk memperbincangkan dan membangun diskursus kebudayaan.

Jaringan kerja ini bersifat sukarela dan anti kekerasan. Jaringan kerja kebudayaan juga merupakan lapisan epistemik yang aktif menggulirkan gagasan-gagasan kebudayaan dengan semangat liberatif, dan emansipatoris.

Prinsip Jaringan Kebudayaan ini adalah
1. Mengedepankan visi jangka Panjang, terus menerus membangun pertemanan
2. Independen
3. Egaliter/Non Dominatif
4. Berada diantara Paradigma Kooperatif Non Kooperatif
5. Kontekstual
6. Local Community base
7. Dinamis
8. Inklusif
9. Menghargai perbedaan budaya (multikultul), dan terus terus menanamkan sikap kerjasama antar kelompok-kelompok yang berbeda tersebut.

Simpul Jaringan di Sulawesi Selatan
1. LAPAR (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (Makassar)
2. Samsurijal Tomaona (Aktivis Muda NU)
3. Halilintar Latif (Budayawan)
4. Komunitas Toloran Sidrap
5. Pesantren Urwatul Wustho Sidrap
6. Komunitas Kajang
7. Komunitas Karampuang (Bone)
8. Bissu Puang Saidi (Pangkep)
9. Bissu Puang Temi

Simpul Jaringan Kalimantan Selatan
1. AK3 Banjarmasin

Simpul Jaringan Kalimantan Timur
1. Yayasan NALADWIPA

Simpul Jaringan Jawa Timur
1. Lembaga Averroes (Malang)
2. Yayasan Tantular (Malang)
3. Paring Waluyo Utomo (Aktivis Muda, Budayawan)
4. Lembaga IRCAS (Ponorogo)
5. Taufik (Aktifis muda NU, Kediri)

Simpul Jaringan Jawa Tengah
1. Gunritno (Sedulur Sikep)
2 SPP (Serikat Petani Pati)

Simpul Jaringan Yogyakarta
1. Komunitas LAFADL
2. Khairussalim (Majalah Kebudayaan Gong)

Simpul Jaringan Jawa Barat
1. Acep Zamzam Noer
2. Komunitas Adzan
3. Asep MR

Simpul Jaringan Nusa Tenggara Barat
1. YPKM
2. Rianom (Komunitas Wetu Telu) Wet Semokan

Simpul Jaringan Sumatera Utara
1. Komunitas Parmalim Hotatinggi
2. Irwansyah Harahap (budayawan, etnomusikolog)
3. Muslim Institute Medan

Back to top  |  Share artikel ini: Bookmark and Share