Politik Identitas Lagu Banyuwangen

Hasan Basri | 16 - Jan - 2009

Pethetan, ya kembang pethetan
Sun tandur ring bucu petamanan
Isuk soren sing kurang siraman
Sun jaga sun rumat temenanan
 
Lirik lagu ciptaan Andang CY di atas salah satu dari puluhan lagu yang populer pada tahun 70-an. Lagu-lagu Banyuwangi (Banyuwangen) mengalami kepopuleran setelah ada usaha kasetisasi pada waktu itu. Seiring dengan perkembangan teknologi rekaman yang mudah dijangkau sekarang ini, lagu-lagu Banyuwangi dan kesenian Banyuwangi pada umumnya justru mendapatkan lahan yang subur untuk berkembang. Kesenian-kesenian tradisi yang awalnya berbasis ritus sosial itu ketika bersentuhan dengan entitas lainnya seperti modal dan negara justru menunjukkan vitalitasnya sebagai seni komunal yang sangat dekat dengan masyarakat. Sekarang ini di bedak-bedak penjual CD di sepanjang jalan di Banyuwangi, sangat didominasi produk lokal utamanya lagu-lagu Banyuwangi dengan berbagai aransmen dan jenis musik. Puluhan album keluar dalam setiap bulan dan selalu diburu pembeli. Lagu-lagu Banyuwangi menjadi menu utama hiburan dalam berbagai kesempatan. Semua radio di Banyuwangi bahkan juga di seluruh Jawa Timur dan sebagian Bali memiliki mata acara lagu–lagu Banyuwangi. Pengamen di bis dan lampu merah tak ketinggalan juga menyanyikan lagu lokal. Kasus Banyuwangi ini menepis kehawatiran dan anggapan banyak pihak bahwa biasanya kesenian lokal ketika berhadapan dengan modernitas akan mengalami marginalitas, dan ditinggalkan pendukungnya.

Industri rekaman di Banyuwangi berawal dari upaya pemerintah daerah menemukan kembali kekhasan daerah sebagai identitas. Adalah Hasan Ali pegawai kesra Pemda Banyuwangi kala itu dengan didukung oleh bupati Joko Supaat Slamet berinisiatif merekam lagu-lagu berbahasa Using dalam rangka menggairahkan kesenian dan budaya lokal. Lagu-lagu Using sendiri sebelumnya telah tertempa dan mengalami kegairahannya sendiri seiring dengan digunakannya lagu Using dalam ranah politik, terutama oleh Lekra (PKI) dan LKN (PNI).
Dengan peralatan yang sederhana bertempat di belakang pendopo kabupaten, rekaman dilaksanakan pada malam hari untuk menghindari suara bising di bawah rindang pohon mangga. Tidak jarang rekaman harus dilakukan berulang-ulang dalam beberapa malam karena belum ada teknik dubbing. Bahkan rekaman harus dilakukan ulang, karena salah satu alat musik kejatuhan buah mangga dan mengganggu konsep bunyi yang diharapkan.
Pilihan jenis musiknya pada waktu itu adalah gabungan angklung dan gandrung. Dipilihnya jenis musik ini menurut Hasan Ali untuk mengeliminir protes masyarakat yang masih pobia terhadap musik-musik Lekra. Karena angklung sangat identik dengan Lekra, maka angklung dicampur dengan warna musik gandrung yang lebih diterima umum. Sedangkan lagu dan syairnya kebanyakan karya Andang CY, Basir Nurdian, Mahfud, Indro Wilis dan lain-lain yang kesemuanya adalah seniman kiri. Pilihan ini wajar karena pencipta dan pengarang pada waktu itu umumnya adalah para seniman kiri.

Ketika produk kaset beredar di masyarakat, harapan pemerintah akan gairahnya kebudayaan lokal sangat menggembirakan. Lagu-lagu angklung populer dan nyanyikan masyarakat di mana-mana. “Cilik gedhe, tuwek enom kabeh dhemen,” kata Hasan Ali. Maka target pembentukan identitas daerah telah menunjukkan wujudnya. Saat itulah kemudian terjadi benturan ketika ada keinginan perekam lain yang ingin mengusung jenis musik lain, yang bukan angklung dan gandrung. Fatrah Abal, seorang pengusaha sekaligus seniman pada waktu itu, mendirikan studio rekaman Lokanada dan mengusung jenis musik melayu dengan syair lagu berbahasa Using. Melihat genre musik lain yang tidak dianggap identitas daerah ini pemda langsung mengambil tindakan dan menganjurkan agar membatalkan konsep tersebut. Fatrah Abal sebenarnya mempunyai target lain dengan dipilihnya musik melayu, yaitu agar persebaran lagu Banyuwangi itu lebih luas ke kantung-kantung kampung santri. Karena selama ini kampung-kampung tersebut tidak menerima jenis musik dan kesenian yang berbau lokal seperti gandrung. Maka ketika lagu melayu berbahasa Using beredar di masyarakat ternyata juga diterima. Bukan itu saja kemudian dampaknya, lagu madura lagu jawa juga di rekam di Banyuwangi. Dan nyata diakui oleh produsernya wilayah pasarnya lebih luas.
Perkembangan jenis musik melayu pada akhirnya memunculkan genre musik kendang kempul di Genteng Banyuwangi selatan yang lebih bersentuhan dengan jenis alat musik elektrik. Sedangkan di Banyuwangi utara berkutat pada musik tradisi. Dua poros utara selatan ini samapi sekarang masih menunjukkan warnanya. Daerah Banyuwangi selatan yang merupakan basis masyarakat jawa mataraman pengembangan musiknya pada dekade tertentu lebih memiliki ruang bebas. Sedang poros Banyuwangi utara, berteguh menggali ruh warna musik tradisi dan berbangga pada keluhuran nilai sastra Using.

Tapi nampaknya sekarang perkembangan yang hanya mempertimbangkan pasar, dua poros tadi sudah terjadi konvergensi. Dan disatukan oleh satu media bahasa yaitu bahasa Using. Walaupun apresiasinya berbeda-beda.
Ketika awal perkembangan, lagu-lagu seniman lekra yang hadir, muncullah upaya penyaringan oleh pemda. Penyaringan itu terutama pada syair-syair yang berbau kiri. Syair-syair lagu yang akan direkam harus masuk ke pemda selain untuk skcreening politik juga sebagai pendataan lagu dan pengarangnya. Semacam perlindungan hak cipta.
 Soal syair ini tak jarang seniman harus berurusan dengan Kodim. Karena soal interpretasi, maka sering muncul interpretasi yang berbeda atas satu syair yang sama. Kasus lagu Pethetan diaatas misalnya. Andang CY pengarang lagu tersebut terpaksa berurusan dengan kodim karena soal interpretasi syair. Lagu tersebut telah lolos penyaringan pemda – dalam hal ini Hasan Ali. Namun kodim mempunyai penafsiran berbeda. Syair: sun tandur ring bucu petaman (saya tanam di pojok taman), diartikan politis oleh kodim, yaitu gambar bendera Rusia dimana pojoknya adalah gambar palu arit. Padahal lagu tersebut murni soal asmara. Katabucu dalam bahasa Using juga bermakna tempat yang paling indah. Setelah melalui negosiasi dan peranan Hasan Ali menjamin lagu pethetan steril politik, Andang CY tidak jadi masuk bui.

Tidak bisa dipungkiri lagu Using telah menjadi identitas daerah. maka Pemda pun merasa bertanggung jawab melindungi senimannya. Dan ketika rekaman sudah masuk kapitalisasi, dimana stidio rekaman Surabaya invansi ke Banyuwangi, Pemda mengambil peran penting untuk tetap menyaring syair lagu berbau politis, dengan ancaman pemda akan menolak peredaran kaset tersebut di Banyuwangi. Hasan Basri adalah  budayawan yang aktif di Dewan Kesenian Blambangan , Banyuwangi , Jawa Timur.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian