Tayub: Spiritualitas Rakyat Yang Bergeser

admin | 5 - Mar - 2008

Siapa tidak mengenal Tayub? Bagi Anda masyarakat Jawa Timur, seni Tayub tentu sama sekali bukan barang asing; suka atau tidak suka. Mungkin popularitas Tayub di kalangan rakyat bawah di Jawa Timur, hanya bisa dibandingkan dengan musik dangdut. Hanya saja yang terakhir ini cukup beruntung karena mendapatkan penerimaan luas. Sementara Tayub masih sering dipandang negatif oleh sebagian masyarakat. Salah satu contoh ungkapan bernada negatif tentang Tayup antara lain berbunyi; “Tayub itu haram dalam pandangan agama. Apalagi dari sisi kemanfaatannya, apa yang bisa diambil dari kesenian primitif semacam itu?”

Mungkin terasa amat sinis. Tetapi demikianlah penegasan Prof. Ika Rohdjatun saat ditanya tanggapannya mengenai seni Tayub. Ketua ICMI Jawa Timur ini menyebut tiga alasan bagi keharaman Tayub; joged bercampur laki-laki perempuan, minum-minuman keras dan prostitusi. Kita tidak tahu apakah pandangan dia juga demikian tentang musik dangdut, yang kurang lebih memiliki stereotype yang sama dengan tayub.

Tetapi yang jelas pandangan Prof Ika bukanlah yang pertama kalinya dan bukan satu-satunya. Sudah lama pandangan semacam ini beredar di kalangan masyarakat. Hampir setiap hari pernyataan-pernyataan itu muncul, dan telah menjadi teror psikis bagi para seniman tayub. Dengan alasan haram, seniman tayub rentan terhadap berbagai tekanan. Mereka seringkali dilarang mengadakan pagelaran, atau kalau sudah terlanjur berlangsung mereka akan segera dibubarkan.

Seorang waranggana asal Sengkaling, Malang, Ruminingsih (37) pernah mendapat pengalaman pahit itu. Pada tahun 1998 ia hendak menggelar tayub saat ada hajatan di rumahnya. Namun, sehari sebelum pertunjukan, beberapa warga sekitar mendatangi Mapolsek setempat. Mereka meminta agar pagelaran tayub itu dibubarkan. Hal yang sama juga terjadi di Mojokerto 4 tahun silam. Hanya saja yang melakukan pembubaran pertunjukan tayub bukan polisi, melainkan sekelompok orang yang terkenal fanatik dalam beragama. Keterangan serupa diungkapkan oleh Soeripto warga Kelurahan Ronggomulyo, Tuban. Alasan berbagai penolakan Tayub itu sama, tidak bisa ditawar: bahwa Tayub itu maksiat, dosa. Titik.

Tayub, minuman keras dan prostitusi. Apakah ketiganya memang merupakan serangkaian ritual yang tak terpisahkan? Minuman keras, memang lazim ditemui dalam pertunjukan-pertunjukan tayub. Menurut penuturan Soegio Pranoto, sesepuh tayub asal Nganjuk, minuman keras pada awalnya difungsikan sebagai penghormatan kepada tuan rumah, pemuka desa dan para undangan. Fungsi lain, minuman ini membantu memberikan sugesti dan kepercayaan diri seseorang untuk ngibing.

Bagaimana dengan kesan mesum dan prostitusi terselubung? Menjawab tuduhan itu, waranggana Ruminingsih menegaskan tidak ada prostitusi dalam pertunjukan tayub. Prostitusi bukan bagian dari pertunjukan tayub itu sendiri. Meski demikian, ia tidak menampik kesan ini. “Jika setelah pertunjukan tayub selesai, ada yang melakukan (praktik prostitusi), ya kita tidak tahu. Itu tergantung diri masing-masing. Dan kalau soal seperti itu sih, bisa dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya waranggana tayub”.

Sejarah

Mungkin kita akan mempunyai pandangan lain jika memahami sejarah, awal mula dan maksud diadakannya seni Tayub ini. Konon Tayub merupakan ritual untuk sesembahan demi kesuburan pertanian. Penyajian Tayub diyakini memiliki kekuatan magis dan berpengaruh terhadap upacara sesembahan itu. Melalui upacara “bersih desa”, aparat desa mengajak warganya untuk melakukan tarian di sawah-sawah dengan harapan keberkatan itu muncul melalui prosesi yang mereka lakukan. Tanaman menjadi subur dan terhindar dari hama dan mara bahaya. Tayub, dengan demikian menjadi pusat kekuatan penduduk desa seperti halnya slametan, atau bahkan sembahyang tahajut bagi kaum santri. Sembahyang tayuban dipandang memiliki kekuatan gaib yang sangat berarti bagi warga desa, sehingga mereka tidak canggung-canggung melakukan tarian dalam suasana apapun. Bahkan konon, semakin erotis tarian yang disajikan semakin menjanjikan keberkahan dan kesuburan hasil tanam.

Biasanya, tarian itu disuguhkan oleh laki-laki dan perempuan yang menari secara bersamaan. Laki-laki disimbolkan sebagai benih tanaman yang siap tumbuh dan berkembang, sedangkan perempuan dilambangkan sebagai lahan yang siap ditanami. Seiring dengan keyakinan masyarakat akan daya magis tarian Tayub, penyajiannya kemudian beralih bukan lagi di sawah-sawah, tetapi merambah dunia resepsi khitanan atau perkawinan. Kekuatan ghaib yang ada pada tayub itu dianggap turut berpengaruh terhadap kesuburan pasangan, sehingga berkah itu diharapkan segera mewujud dalam bentuk kelahiran anak. Laki-laki dan perempuan yang melakukan praktik tari kesuburan itu tentu saja tidak menganggapnya sebagai ajang jual beli seks, tetapi sebagai unsur sah sebuah ritus.

Lebih jauh lagi, kini tayub tidak lagi disajikan dalam upacara-upacara tasyakuran, slametan atau hajatan keluarga saja. Tetapi telah berubah menjadi seni hiburan rakyat yang dikomersialkan. Perkembangan sosial telah mengantarkan seni hiburan rakyat ini menjadi pertunjukan seni yang bisa menjadi ladang pencaharian bagi waraggana dan pendukung seni tayub lainnya. Tradisi saweran dalam Tayub telah menggeser makna dirinya, dari yang bersifat sakral (ritual sesembahan ‘keagamaan’) menjadi sangat profan (materialis). Masyarakat yang semula mempergunakan tayub untuk upacara tasyakuran dan menambah kerukunan, kini menjadi ladang hiburan dan bisnis.

Jadi seperti halnya seni-seni tradisi yang lain, perjalanan Tayub pun mengalami pasang surut. Ia pernah dipanjer oleh para pejabat kolonial Belanda untuk memeriahkan pesta di pendopo kabupaten dan sering pula dipentaskan di alun-alun oleh para Wedono dan kaum priyayi untuk menghibur rakyat. Pada dekade 50-an hingga 60-an, tayub diperebutkan oleh beberapa partai politik untuk dijadikan alat propaganda dan kampanye. Belakangan, karena lebih akrab dengan akar rumput, sebagian besar Tayub direngkuh oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Lekra-nya. Karena ikut atau tersangkut PKI inilah kaum santri lebih bersemangat untuk menuntut pembasmian Tayub. Maka di awal rezim Orde Baru, Tayub menghilang dari peredaran. Pada akhir 70-an, setelah ada regulasi kebudayaan, Tayub kembali boleh digelar dan disahkan kembali sebagai seni pertunjukan. Bahkan bersama dengan sejumlah seni tradisi lainnya, Tayub dipertimbangkan sebagai kekayaan budaya yang perlu dilestarikan.

Tak Hitam-Putih

Kini di tengah suasana yang konon reformasi ini, Tayub kembali mengundang perdebatan, yang terkadang sangat keras. Seperti antara lain ditunjukkan dalam pernyataan Prof Ika, dalam penolakan Tayub itu sering diusung pula jargon-jargon agama. Jadi cukupkah alasan-alasan tersebut untuk meminggirkan keberadaan atau bahkan menutup eksistensi Tayub? Apakah kalangan agamawan, seperti Prof Ika, berhak dan boleh memvonis mati dengan landasan normatif yang tak semua orang sepakat pada norma itu?

Tampaknya tidak harus demikian. Banyak hal dalam kehidupan sosial yang tak bisa divonis secara hitam putih. Dalam konteks demikian, agamawan dituntut lebih arif dalam melihat persoalan. Seperti dituturkan KH Ahmad Musta’in Syafi’i MAg, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, bahwa sikap hitam-putih seperti itu hanya akan mempersempit ruang kiprah agama sendiri. “Agamawan sekarang jauh berbeda dengan para wali dulu dalam berdakwah. Ini salah satu kesalahan agamawan kita! Hanya berbasis pada fiqih, mereka merasa cukup untuk memberikan hukum. Dan hukumnya pun terbatas pada halal dan haram”, ujar Musta’in.

Menurut Mustain yang juga dosen pada IKAHA (Institut Keislaman Hasyim Asy’ari) ini, kesenian, terutama seni masyarakat pedesaan, memiliki hakikat ekspresi dan semangat untuk mendekati obyek kepercayaannya. Bentuknya bisa tari (seperti tayub), acara ritual seperti bersih desa, atau keyakinan masyarakat pada sosok danyang. “Kalau hal-hal tersebut diharamkan, sama saja menghilangkan akar spiritualitas di masyarakat itu sendiri,” ujar Musta’in.

Merujuk pada Musta’in, kita khawatir, jika pemberangusan seni-seni tradisional seperti ini terus dilakukan—dengan dalih apa saja—maka itu sama artinya dengan mecabut daya kreasi, imajinasi dan spirit rakyat kita sendiri. Dan jika itu terjadi, hanya akan menambah skala kefrustasian masyarakat bawah, yang selama ini sudah berada dalam kondisi koma. Tayub? Sudahlah…….(Desantara)



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian