Menuju Video Etnografi

admin | 27 - Dec - 2008

(Refeleksi Proses Dokumenter Desantara di Masyarakat Sasak Nusa Tenggara Barat)

Oleh Akbar Yumni

Video etnografi pada dasarnya masih sebuah esensi yang masih rapuh untuk dipegang sebagai sebuah bentuk metode beserta metodologinya. Pemahaman awal tentang video etnografi masih diasumsikan sebagai medium rekam dari hasil penelitian etnografi, dimana pemaknaan video sebagai pengertian yang sangat instrumental tanpa mengindahkan dampak-dampak dari estetika video yang memiliki eksistensi dan substansinya sendiri. Sebagai entitas, video tentu memiliki konsekuensi estetis, serta kosekuensi instrumental yang berdampak pada praktek representasi terhadap realitas yang di-image-kan. Sehingga sebagai medium visual, video secara instrumental tidak hanya berperilaku sebagai alat perekam yang objektif.

Dalam esensi instrumentalnya, video tentu memiliki subyektifitas dari konsekuensi-konsekuensi teknologi yang terdapat pada eksistensi video tersebut.

Setidaknya ada dua instrumen yang memiliki konsekuensi subyektif yang terdapat dalam proses produksi video yang berdampak pada representasi realitas yang divisualkan, yaitu frame (bingkai kamera) dan editing. Frame merupakan hakekat instrumen video yang terdapat dalam proses perekaman kamera, dimana subyektifitas yang terbangun didalam instrumen berupa bingkai gambar yang bisa dimanipulasi dalam bentuk zoom out (pengambilan jauh), zoom in (pengambilan dekat), close up (fokus objek), selain kemungkinan teknologi pada fasilitas kamera yakni panning (kamera bergerak). Selanjutnya, editing merupakan sebuah konsepsi film yang paling substantif. Dalam beberapa pendapat menyatakan bahwa essensi dari film terletak pada proses editing, karena diasumsikan sebagai penjajaran kumpulan gambar (juxtaposition) yang membentuk makna. Bisa dikatakan bahwa pada proses editing inilah yang kemudian membentuk bahasa film. Dalam instrumen editing ini, sangat terbuka peluang adanya subyektifitas, karena kemampuan memanipulasi gambar maupun jajaran gambar menjadi satu kesatuan makna pada film.

Diantara kedua instrumen sebagai eksistensi yang terdapat dalam video, yakni frame dan editing, maka peran subyektifitas pembuat video sangat dipengaruh oleh subyektifitas instrumen yang terdapat pada video tersebut. Kondisi ini menjadikan bahwa alat medium video tidak serta merta bisa menjadi pararel dengan proses representasi yang dilakukan oleh para pembuat video. Apa yang ada di visual video, belom tentu menjadi representasi dari tema tertentu karena sifat instrumen frame dan editing.

Salah satu usaha untuk memvisualisasikan kehidupan masyarakat lokal adalah membangun video dengan pendekatan etnografi. Pendekatan video etnografi ini masih menyisakan persoalan representasi karena memasukkan dua unsur cara pendekatan yang tentu berbeda. Melihat bahwa video secara eksistensi memiliki konsekuensi instrumennya, maka video dengan pendekatan etnografi membawa dua cara melihat dan memahami realitas, khususnya dalam melihat cara kehidupan masyarakat lokal.

Sebagai sebuah alat pengetahuan etnografi merupakan sebuah metode dalam memahami kekehidupan masyarakat di sebuah lokal tertentu, memalui kesadaran dan bahasa khas mereka dalam merefleksikan realitas lingkungannya. Sebagai sebuah perspektif, etnografi memiliki metode yang khas sehingga menuntut adanya beberapa alat ukur yang harus dipenuhi. Dalam konteks ini, etnografi menjadi sebuah perspektif yang cukup memadai secara etis dalam membaca atau menggambarkan keadaan suatu entitas atau masyarakat lokal tertentu. Karena dalam salah satu cara pandang etnografi membuka peluang adanya bentuk simpati dan empati terhadap subyek yang di representasikannya ke dalam bahasa tulis.

Menuju video etnografi sebagau sebuah proses mengindikasikan adanya dua strategi untuk membawa pengalaman (bertutur) dalam merepresentasikan entits masyarakat lokal yakni antara sains dan estetika. Hal ini sangat dimungkinkan karena video sebagai medium visual merupakan instrumen yang memungkinkan adanya demokratisasi visual dilihat dari sifat familier (cair) nya alat tersebut. Proses digitalisasi visual pada video memungkinkan proses pendokumentasian yang tidak menggangu ruang dan relasi sosial, karena bentuk medium video yang mudah di bawa. Selain video secara instrumen juga mampu membuka peluang cara pandang pelaku dari subyek yang direpresentasikan dalam visual video. Adanya sifat familier pada instrumen video inilah, yang kemudian memungkinkan adanya pendekatan etnografi secara visual dilihat dari instrumen video, dimana perspektif etnografi bisa diaplikasikan pada ranah visual.

Pada program audio visual Desantara bekerja sama dengan Hivoz, adalah mengangkat salam satu sisi kehidupan masyarakat Sasak yang ada di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Program audiovisual yang diadakan pada bulan September 2008 ini, mengambil permasalahan masyarakat Sasak yang ada dalam konteks kekinian, dengan melihat seberapa jauh dampak kebudayaan dan tradisi masyarakat Sasak yang ada. Dari beberapa diskusi yang ada, maka tema documenter berbasis multicultural ini mengangkat kisah tentang para kaum perempuan yang ditinggal oleh suami nya yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) .di Malaysia. Tema dokumenter ini ingin melihat bentuk .perubahan dan relasi social yang bergeser dari formasi social masyarakat Sasak yang bermatapencaharian menjadi TKI. Dengan semakin terkikisnya kebudayaan dan tradisi karena ketiadaan kaum laki-laki yang merantau, tentu akan berdampak pada peran kaum perempuan dalam menyikapi situasi social dan kebudayaan masyarakat, khususnya masyarakat local Sssak.

Subyek masyarakat Sasak yang diangkat pada documenter ini adalah di wilayah masyarakat Sasak di wilayah Lombok Utara, tepatnya di daerah Bayan, desa Luk. Desantara Report



Halaman Depan | Lihat Daftar Uncategorized | Trackback URI
Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar