Momotret Pergulatan Komunitas Adat

Muhammad Khotim | 19 - Nov - 2013

Judul: Agama dan Kebudayaan: pergulatan di tengah komunitas
Editor: Heru Prasetia dan Ingwuri Handayani
Penerbit: Desantara Foundation
Cetakan I, 2010
Tebal: xlvi+180 halaman

 

Perubahan adalah sebuah hal yang niscaya. Perubahan tersebut ada yang bersifat alami dan didisain. Sejarah telah membutikannya bagaimana sebuah peradaban silih berganti ada dan hilang. Penting untuk melihat dan memotret bagaimana perubahan itu terjadi. Apakah perubahan-perubahan tersebut bersifat alami atau terkesan dipaksakan. Bagaimana dinamika yang terjadi. Sejauh mana keterlibatan berbagai pihak dalam proses perubahan. Dari situ akan didapatkan berbagai macam pengetahuan sekaligus dampak dari perubahan masyarakat.

Itulah sepertinya yang ingin didokumentasikan buku ini. Tulisan-tulisan ini adalah laporan dari hasil liputan di berbagai komunitas adat di Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat. Liputan-liputan ini kemudian dikumpulkan dan dijadikan buku dengan judul “Agama Dan Kebudayaan”. Tradisi dan Kebudayaan mereka diwarnai dengan berbagai macam praktik keagamaan. Tetapi justru prektek-prektek tradisi dan kebudayaan mereka mendapatkan stigma yang berimplikasi munculnya intervensi dan diskriminasi dari pihak-pihak eksternal.
Intervensi negara.

Dalam prolog buku ini, Muhammad Nur Khoiron mengawalinya dengan memaparkan dilema yang dihadapi pemerintah Hindia Belanda. Di satu sisi pemerintah Hindia Belanda harus membangun industrialisasi untuk mendapatkan ekonomi namun di sisi lain harus mengelola keberagamaan masyarakat Hindia Belanda. Karena tidak banya masyarakat pribumi yang bisa masuk dalam formasi yang sudah dirancang oleh pemerintah Hindia Belanda. Tetapi ini tidak banyak mengganggu. Industialisasi pemerintah kolonial tetap berjalan dengan keuntungan yang diharapkan. Sehingga timbul pemikiran pemerintah untuk tidak terlalu memaksakan intervensi terhadap masyarakat pribumi. Ini agak berbeda dengan zaman sesudahnya, terutama zaman Orde Baru.

Dalam rangka percepatan pembangunan pemerintah Orba melaukuan intervensi dalam perubahan politik, ekonomi, dan sosial budaya sampai ke tingkat desa. intervensi memberikan implikasi yang cukup besar terhadap perubahan yang terjadi terhadap kominitas-kominitas adat. Secara etimologis pembangunan membawa semangat perubahan dari sesuatu yang tidak baik kepada sesuatu yang lebih baik. Definisi ini kemudian berimplikasi terhadap pandangan yang keliru terhadap istilah tradisional dan modern. Tradisional dianggap sesuatu yang tidak baik sedangkan modern diartikan suatu kondisi yang lebih baik. pengertian seperti ini yang kemudian semakin menyudutkan komunitas-komunitas adat. Praktik-perktek adat, tradisi, upacara yang mereka lakukan dianggap tradisional dan primitive yang menghambat laju pembangunan. Agar tidak memperlambat maka masyarakat tradisonal ini harus dirubah. Dalam prosesnya perubahan ini ternyata lebih banyak merugikan masyarakat adat. Dan ini hampir dialimi oleh sebagian masyarakat adat.

Implikasi proses pembangunan misalnya terjadinya perbenturan kepentingan antara negara dengan komunitas adat. Di satu sisi negara melaksanakan berbagai macam program pembangunan dengan memanfaatkan segala sumber yang bisa digunakan. Disisi lain kepentingan negara tersebut terbentur dengan kepentingan-kepentingan masyarakat adat terutama soal sumberdaya alam. Misalnya di masyarakat adat terdapat keyakinan nilai kesakralan terhadap alam yang mereka tinggali. Sehingga mereka menjaga dengan baik kelestarian alam. Tetapi negara dengan kekuasannya ingin mengambil tanah-tanah mereka demi pembangungan. Seperti yang ditulis oleh Syamrizal Adh’an tentang masyarakat desa Tanah Toa Kajang. Masyarakat Toa Kajang mulai tercerabut dari keterikatannya dengan tanah dan hutan. Arti tanah dan hutan bagi mereka tidak dihargai oleh pemerintah dan pengusaha. Terbukti dengan pengambilan lahan oleh perusahan dengan sokongan pemerintah. komunita adat kalah dengan PT losum dimana dimata negara PT losum lebih kuat karena memiliki dokumen-dokumen yang mendukung secara legal-formal. Lebih ironis lagi pengelolahan ini dijadikan bentuk penyadaran kepada masyarakat kajang agar tidak tertinggal laju pembangunan. Lambat laun wilayah-wilaya yang secara adat dianggap sakral semakin menyempit atau bahkan punah. (hal. 140-141).
Tentu saja komunitas adat ini juga mempunyai berbagai macam tradisi. Tradisi-tradisi bagi mereka merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari sebagai wujud penyembahan mereka kepada Yang Kuasa sekaligus wujud rasya syukur. Ternyata tradisi-tradisi ini ditangkap oleh pemerintah sebagai destinasi wisata. pemerintah dengan berbagai macam pihak mencoba membangkitkan kembali tradisi ini sebagai tontonan. Tradisi seperti upacara adat merupakan ritual yang dianggap keramat ketika ini dikomodikasi sebagai hiburan mulai terjadi pergeseran nilai keskaralan.

Seperti yang ditulis oleh Syamriza Ad’han dan Muh. Mabrur, tentang komunitas Bissu. Ketika komunitas Bissu mulai termagilnalkan dari sebagian masyarakat ternyata mereka berhasil menunjukkan diri melalui tradisi mappali dan masongka bala. Upacara tersebut oleh pemerintah daerah ditangkap sebagai daya Tarik yang unik. Yang kemudian dikomodifikasi sebagai tujuan wisata. menjadikan upacara adat sebagai daya Tarik wisata justru mereduksi nilai dari upacara tersebut. Bahkan pemerintah daerah mulai menentukan kapan upacara tersebut diadakan. Padahal secara adat yang berhak adalah masyarakat adat Bissu. Terkadang upacara tersebut bagi pemerintah sekedar untuk menjamu tamu-tamu penting, ataupun turis asing. Yang paling parah pemerintah mulai juga mengambil tanah dengan dali masyarakat bissu tidak mempunyai sertifikat tanah. Padahal tanah bagi masyarakat bisu adalah kerejaan tempat pelaksanaan acara adat.
Diskriminasi Mayoritas
Selain dari pemerintahan keberadaan masyarakat adat juga diintervensi oleh kelompok-kelompok mayoritas. Mereka mencoba melihat kelompok-kelompok minoritas ini sebagai kelompok yang menyimpang dari masyarakat pada umumnya. Sebagian besar persoalan ini berkaitan dengan praktik keyakinan. Masyarakat ada merupakan masyarakat yang mempunyai keyakinan diluar lima agara resmi yang ditentukan oleh negara. Seperti yang terjadi dibebrapa komunitas bissu, carekang, parmalin, dimana mereka dianggap oleh DI/TII sesat. Melakukan praktik keagaman yang menyimpang. Sehingga mereka dipaksa meninggalkan kebiasan adat mereka. Berbagai upacara adat dianggap syirik dilarang.

Selain itu persoalan yang mengemuka ketika zaman orde baru adalah berkaitan dengan pencantuman agama di KTP. setiap masyarakat wajib mencantumkan salah satu agama sesuai dengan agama yang diakui negara. Tentu saja bagi masyarakat adat keyakinan mereka tidak termasuk dalam lima agama resmi. Mereka mempunyai keyakinan tersendiri dalam hal kepercayaan. Pada akhirnya mereka ada yang terpaksa mencantumkan dan ada yang tidak. Bagi yang tidak mencantumkan tentu saja tidak mendapatkan KTP dan secara otomatis kehilang hak sebagai warga negara (hal. 20-21).
Kemudian muncul ancaman dari para pendakwa agar masyarakat adat ini memeluk kayakinan mayoritas. Seperti yang terjadi dengan masyarakat adat Wetutelu NTB. Heru Prasetia dengan baik menuliskan dinamika yang terjadi dimasyarakat tersebut. Bagaimana mereka di buku-buku ilmiah dan panduan pariwisata dianggap sebagai masyarakat primitif, mencapuradukkan islam dengan ajaran primitif.

Proses diskriminasi ini berjalan sistematis karena berbagai program pemerintah dikabupaten Lombok berusaha mengidentifikasi dirinya sebagai penganut islam yang taat. Sedangkan komunitas wetutelu dianggap sebagai islam yang belum sempurnya sehingga harus disempurnakan (hal. 85).

Mencari Titik Temu
Pada bagian yang lain dari buku ini memperlihatkan seuatu yang sebaliknya. Bahwa perbedaan yang ada bukanlah sesuatu yang harus diragamkan dengan mayoritas tapi sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan. Memberikan kebebasa kepada kelompok-kelompok lain untuk bebas berekspresi dan memberikan apresiasi kepada mereka.

Seperti prolog yang ditulis oleh Shohib Mansur tentang Pondok Pesantren Tegalrejo. Pesantren merupakan tempat dimana ilmu-ilmu agama digali dan diajarkan. Kegiatan dakwah dan pengajian dilakukan. Disamping kegiatan tersebut ternyta pesantren ini membuat kegiatan lain dari yang lain. Tiap tahun Pondok Pesantren Asrama Perguaran Islam (API) mengadakan acara khataman Qur’an. Disamping itu mereka juga melaksanakan perayaan yang diberi tajuk pawiyatan budaya adat (PAB). Dalam acara tersebut kurang lebih 200-an kelompok seni adat silih berganti melakukan pertunjukkan.

Kegiatan khataman dengan pawiayatan seni ini bagi kalangan umum mungkin kontradiksi. Khataman merupakan acara khas bagi kalangan pesantren ketika mereka sudah menamatkan diri belajar dipesantren. Khataman ini bisa berarti khataman qor’an ataupun kitab kuning. Sangat berbeda dengan kesenian tradisional yang dikenal dengan pertunjukkan berbagai macam jenis alat yang itu dhramkan karena dianggap melailakan manusia dari yang khalig. Kemudian kemaksiatan yang meliputi kesenian tradisional.

Apa yang dilakukan pesantren pegruruan agama Islam ini seolah mendobrak stigma yang telah terbentuk oleh ajaran islam sendiri yang dilestarikan pesantren. Kegaitan ini tentu bukan saja memberikan kebebasan melakukan kegiatan seni. Tapi juga sebagai sarana menjaga keharmonisan dan keguyuban masyarakat. Seperti yang diceritakan oleh gus yusuf tentang ayahnya almarhum kiyai khudlori. Suatu hari ada kelompok masyarakat yang mengadu. Kelompok pertama adalah langgar, yang menghendaki uang kas itu untuk memperbaiki langgar. Kelompok kedua kesenian, yang menghendaki uang kas untuk memperbaiki gamelan. Setelah mengadu kiyai khudlori menyarankan lebih dulu memperbaiki gamelan. Alasannya jika gamelan sudah diperbaiki maka masyarakat bisa guyub. Setelah guyub masyarakat bisa bersatu memperbaiki langgar.

Tentunya tidak ada hal yang sempurna. Tapi buku ini setidaknya memotret dengan baik pergolatan yang terjadi dimasyarakat adat diberbagai daerah. Bagaimana proses perubahan itu sedikit banyak dipaksakan oleh pemerintah sekaligus besarnya intervensi kelompok mayoritas yang cenderung diskriminatif. Padahal wajib bagi negara untuk melindungi mereka ini dari perampasan hak dan praktik-praktik diskriminasi.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar