Antara Puger, Sampang, dan Little Rock Nine

Aan Anshori | 2 - Nov - 2013

Sampek bileh engkok bedeh dinnak? Engkok terro moleah (Berapa lama lagi kami harus di sini? Kami ingin pulang). Pertanyaan itu sering terdengar dari ratusan pengungsi Syiah Sampang. Sudah lebih dari 4 bulan mereka dipaksa pindah dari kampung halamannya. Selarik harapan muncul melalui deklarasi perdamaian antarpihak yg selama ini terlibat konflik, Senin (23/9) silam. Faktor kunci kepulangan mereka terletak pada keberanian pemerintah dalam menegakkan konstitusi apapun resikonya. Peristiwa Little Rock Nine Arkansas Amerika Serikat dan konflik Puger Jember bisa menjadi semacam uswah hasanah bagi Gubernur Soekarwo untuk bersikap tegas dalam memulangkan pengungsi Sampang.

Sembilan Siswa

Little Rock merupakan kota kecil di wilayah Arkansas Amerika Serikat. Daerah ini menjadi fenomenal karena merupakan saksi sejarah perjuangan hak sipil kelompok kulit hitam. Seperti kita ketahui, AS memiliki sejarah panjang dan kelam terkait isu ini. Beberapa tahun setelah Mahkamah Agung (U.S Supreme Court) memutuskan bahwa segregasi siswa kulit putih dan hitam dalam pendidikan melanggar konstitusi, upaya pembauran (desegregation) dilakukan termasuk di Little Rock pada 1957. Terdapat 9 siswa/siswi kulit hitam diikutkan dalam program pembauran ini. Rencananya mereka akan ditempatkan di Little Rock Central High school, sekolah setingkat SMA yang semua siswanya berkulit putih. Gagasan pembauran ini ditentang keras oleh Orval Faubus, gubernur setempat. Dengan konfidensi tinggi karena didukung mayoritas warga dan dewan kota, Faubus mengerahkan 300 tentara Garda Nasional (Arkansas National Guard) untuk memblokade sekolah. Tujuannya jelas, agar ke-9 pelajar kulit hitam itu tidak bisa masuk sekolah. Dia berargumen keberadaan garda nasional diperlukan karen kehadiran pelajar tersebut bisa “mengganggu” keamanan dan kedamaian warga kota.

Situasi memanas saat tersiar kabar 9 pelajar tersebut diam masuk sekolah. Ribuan warga mengepung sekolah tersebut. Melihat ada gubernurnya tidak taat putusan mahkamah agung, Presiden Eisenhower berang. Dia segera mengambil alih komando atas Garda Nasional dari tangan gubernur. Bersamaan dengan hal itu Eisenhower juga mengirimkan ribuan pasukan dari Divisi 101 Airbone ke Little rock. Gabungan 2 pasukan mengemban misi memastikan 9 pelajar ini bisa sekolah dengan aman, termasuk mengawal saat berangkat dan pulang sekolah. Situasi mulai kondusif setelah pasukan tersebut berada d sana selama 6 bulan.

Tak ada Pengusiran

Ketegasan aparat keamanan seperti di Little Rock juga terlihat saat konflik Sunni-Syiah di Puger beberapa waktu lalu. Pangdam V Brawijaya – Mayor Jenderal Ediwan Prabowo- mengultimatum siapapun yang berkehendak mengusir kelompok minoritas di Puger akan berhadapan dgn 1.800 aparat keamanan gabungan TNI-Polri. Persenjataan berat juga telah disiapkan untuk mendukung ultimatum tersebut. Sikap tegas aparat juga ditunjukkan dengan cara melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Sekitar 20 orang ditetapkan sebagai tersangka atas konflik yg mengakibatkan 1 orang tewas, 2 orang terluka serta rusaknya masjid dan pesantren Darus Sholihin. Ketegasan Pangdam V Brawijaya membuahkan hasil. Dalam waktu kurang dari seminggu puger kembali tenang tanpa ada pengusiran seperti Sampang.

Konstitusi republik ini jelas menjamin hak dasar warganya, tidak hanya dari serangan pihak luar namun juga dari ancaman yang datang dari warga negara itu sendiri, termasuk melalui sentimen mayoritas-minoritas. Seperti diketahui bersama, wajah penegakan hukum kita dalam melindungi kelompok minoritas sudah sedemikian babak belur. Warga Ahmadiyah hidup terisolir di Transito bertahun-tahun. Ratusan warga Syiah Sampang terusir dari kampung halamannya. Semua terjadi karena kelompok mayoritas merasa punya otoritas menentukan kebenaran keyakinan, dan memaksakan kehendak melampaui tuhan dan konstitusi.

Pulang Kampung

Perintah Presiden SBY terkait pengungsi Syiah Sampang di Rusun Jemundo sudah tegas. Mereka harus melakukan rekonsiliasi agar bisa segera pulang ke kampung halamannya. Gubernur Jawa Timur jauh hari telah membentuk tim rekonsialiasi agar proses pemulangan berjalan minim konflik. Meski jarang disosialisasikan ke publik, Prof A’la -anggota Tim- pernah memaparkan komprehensifitas desain proses rekonsiliasi yang akan dijalankan.

Memang, rekonsiliasi idealnya berjalan secara alami untuk meminimalisir terjadinya konflik lanjutan. Meski demikian, jika sebuah konflik mengakibatkan hilangnya hak-hak dasar salah satu pihak maka pemulihan hak tersebut harus diprioritaskan dalam rekonsiliasi. Mengusir paksa seseorang dari tanah kelahirannya tidak hanya bertentangan dengan konstitusi namun juga secara nyata mencederai kemanusiaan. Praktek pelanggaran tersebut telah sedemikian jauh mengkhianati prinsip dan tujuan syariah (maqashid al-syari’ah). Sebagaimana diargumentasikan As-Syatibi dalam al muwafaqat fi ushul al ahkam, tujuan syariat yang paling mendasar adalah untuk melindungi kemashlahatan manusia. Pengabaian hak pengungsi untuk hidup aman di kampung halamannya telah melanggar ambang batas minimal tujuan syariah, yakni maqashid al-dlaruriyyah.

Jika pemulangan pengungsi mensyaratkan adanya perdamaian di level akar rumput maka islah para aktor kekerasan dan pengungsi di Rusun Puspa Agro beberapa waktu lalu merupakan jawabannya. Melihat fakta ini pemprov sesungguhnya telah memiliki modal cukup untuk merealisasikan perintah presiden. Pemprov berkewajiban untuk memastikan rekonsiliasi bisa berlangsung damai tanpa kekerasan dalam kurun waktu yang jelas. Resistensi pasti akan muncul dari banyak kalangan. Jika kekuatan dialog sudah tidak lagi mampu memulangkan mereka, pada titik itu pemerintah perlu tegas menjaga mandat konstitusi. Setegas Eisenhower merespon Little Rock Nine, setegas Pangdam V Brawijaya meredam konflik Puger Jember. (*)

Penulis adalah aktivis Jaringan Gusdurian Jawa Timur, Lembaga Penyuluhan& Bantuan Hukum NU Jombang dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi Jawa Timur



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar