Jejak Identitas Perempuan Tionghoa dalam Karya Sastra

Wanda Listiani | 21 - Nov - 2008

Excerpt Jurnal Srinthil edisi Dilema Status Kewarganeraan Perempuan Tionghoa Miskin

Sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya.
Perempuan Tionghoa dalam karya sastra memiliki identitas jamak. Identitas dengan berbagai tata nilai yang berlandaskan hubungan kekerabatan, etnisitas, gender, dan agama. Misalnya identitas perempuan Tionghoa sebagai seorang ibu

seorang anak, orang Cina, orang Jawa, seorang perempuan, umat Islam, pengikut Dewi Kwan Im, menjadi superior atau inferior, dan sebagainya. Keberagaman identitas itu tersebar dalam struktur cerita, karya sastra, baik yang ditulis oleh seorang pengarang ber-etnis Cina maupun yang bukan.

Wujud eksistensi perempuan Tionghoa dalam narasi yang dibangun oleh seorang pengarang (Tionghoa), salah satu model penarasiannya, menggunakan penokohan sebagai the dramatic I. Novel berjudul “Putri Cina” (2007), “Empress Orchid” (2008), dan “Sanita: Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho” (2004), merupakan beberapa narasi perempuan Tionghoa yang melibatkan pengarang sebagai tokoh yang menjadi sumber gagasan dalam cerita. Mungkin tepatnya menjadi pencerita sekaligus tokoh yang mengisahkan dirinya sendiri.

Meskipun karya sastra merupakan realitas sosial, pengarang tidak secara acak menangkap realitas itu dalam karyanya. Pengarang memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Dalam proses penulisan karya sastra, sebelumnya mereka menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya, dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.

Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakter dari bahasa, namun bentuk dan isinya, khususnya novel, lebih banyak berasal dari fenomena sosial. Novel seringkali terikat dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat, seperti yang dialami oleh perempuan cina dalam novel karya Sindhunata, Putri Cina.

Untuk menunjang narasi maskulin dalam karya sastra Putri Cina, Pengarang menggambarkan perempuan tetap saja berfungsi sebagai objek bagi pandangan mata laki-laki dan sebagai tanda yang dipertukarkan. Agar status keperempuanannya sebagai tanda tetap bertahan, banyak aspek pada tubuh mereka yang mesti dikontrol dan dimanipulasi untuk tampil cantik. Keanggunan dan kecantikan identik dengan kelembutan, berkepribadian, yang digambarkan secara visual oleh pengarang. Gambaran yang dikonstruksikan dengan mengacu pada ideologi kapitalisme media dan nilai-nilai kultural tertentu ditampilkan untuk dicitrakan sebagai tubuh yang feminin. Tubuh yang dipercaya memberikan ‘kemudaan’ (ngenomke) pada siapa saja yang mempersuntingnya(Sindhunata, 2007 : 186). Tubuh feminin yang tidak serta merta memberikan keberuntungan bagi pemiliknya, Putri Cina. Tidak juga memberi keberuntungan bagi ‘pemilik’ –suami putri Cina, Senapati Gurdo Paksi (hal 138). Bahkan dalam Novel Putri Cina, perempuan Tionghoa juga diceritakan kerap menjadi korban sebuah rezim.

Perkosaan, pemukulan atau teror yang melemahkan tubuh perempuan Cina dapat dianggap sebagai proses reproduksi (pelestarian) struktur laki-laki yang dominan (Abdullah, 2001:72). Kekerasan pada tubuh perempuan Cina ini tidak hanya terjadi secara sosial tapi struktural lewat perlakuan Prabu Amurco Sabdo kepada Putri Cina (Giok Tien) yang tidak bisa lagi memiliki hak atas tubuhnya. Kuasa biasa dimengerti sebagai kekuatan yang hanya bisa melarang, membatasi, atau menekan. Kuasa merupakan mekanisme-mekanisme produktif yang berusaha menyentuh ‘targetnya’ secara efektif. Kuasa ini biasa berbentuk dalam sebuah material seperti tempat tidur, menelanjangi atau kuasa kesyahwatan.

Realitas yang dikonstruksi pengarang dipertegas dengan kalimat, ”… sudah kerap terjadi dalam sejarah di Tanah Jawa, bila pertikaian itu pecah, maka dia dan kaumnyalah yang menjadi korbannya” (Sindhunata, 2008: 124) menjadi realitas sosial. Realitas yang diamini dan memperteguh keyakinan bahwa perempuan Cina adalah tumbal yang harus dikorbankan dalam setiap perhelatan apapun juga baik perang, pertikaian dan sebagainya yang terjadi di Tanah Jawa. Bersambung



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian