Pidato Gus Dur dalam Peluncuran Buku “Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan”
admin | 3 - Oct - 2013Catatan Redaksi: Lebih dari sepuluh tahun lalu, tepatnya pada 9-12 Juni 2001, Desantara mengadakan Halaqah Nasional bertjuk “Agama, Negara dan Kebudayaan” di Hotel Wisatan Jakarta. Dalam Halaqah itu, diselenggarakan pula peluncuran buku Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan yang berisi kumpulan tulisan K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur, yang saat itu menjabat Presiden Republik Indonesia, sempat hadir untuk memberikan sambutannya. Berikut ini salinan pidato tersebut.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Para undangan dan peserta halaqah. Saudara pengurus yayasan, saya merasa sangat bergembira dapat datang di sini nuntuk menyaksikan bahwa budaya pesantren yang ‘ulima wa ridlo’uhu bisa hidup, buku bisa diterbitkan walau ijinnnya baru sekarang.
Ada suatu hal yang sangat menarik, bahwa kita tengah berusaha mengadakan demokratisasi yang nantinya berujung pada desentralisasi pada seluruh kehidupan kita, khususnya kebudayaan. Ini berarti seluruh inisiatif rakyat harus tumbuh dengan segala keragamannya. Ini berarti bahwa dualitas dan keragaman harus menjadi pedoman kita, bukan ajaran tunggal.
Ini penting sekali, sebab kalau tidak kita akan menjadi bangsa yang miskin budaya. Ini penting diingat karena dalam membangun bangsa kita diperlukan pluralitas (majmu’iyyah) yang kita pelihara dengan sadar. Terus terang saja secara tarikhiy (kesejarahan) agak berbeda. Selama ini umat Islam menuju pada pemikiran tunggal, standarisasi yang ujungnya ahlussunnah waljamaah, yang harus diikuti semua. Sataftariqu ummati ‘alatsnataini wa sab’ina firqatan kulluhum fi al-nas illa wahidah, ummatku akan terpecah belah kedalam 72 kelompok, kecuali satu.
Ini mau tidak mau di masa modern harus ditinggalkan. Karena apa? Karena secara sengaja kita mendirikan bangsa Indonesia, ada Kristen, ada Hindu, ada Islam, Islam pun ada yang pada masa Pak Harto dulu diminta mengimami tarawih. Dia konfirmasi bagaimana kalau orang NU mengimami. Saya tanya, “mau cara NU lama atau NU baru”. Dia tanya, “apa bedanya”, saya katakan “kalau NU lama itu 23 rakaat, sedang yang baru itu diskon 60%”.
Dengan kata lain kita meninggalkan pola keseragaman menuju apa yang dikatakan Ibn Taimiyyah, berbilangnya pimpinan. Kalau pimpinannya banyak, apalagi umatnya. Ini memiliki konsekwensi sendiri. Pertama, bahwa Islam tidak menjadi ideologi politik. Islam ditegakkan dengan cara akhlaqul karimah. Dijalankan melalui pendidikan atau apapun jalan damai dan dengan cara merumuskan cara-cara agama. Kalau ini kita ingat betul, maka Islam dengan yang ada sekarang ini tidak perlu berkelahi, karena Islam di atas ideologi, tidak perlu berebut. Ideologi sifatnya juz’iy sedangkan agama sifatnya ta’mim (umum).
Ini penting sekali. Kalau kita tidak melihat secara utuh, melainkan dengan juz’iy, maka hasilnya akan lain. Kita lihat contoh, sekarang Islam menghadapi problema, apakah akan membiarkan umatnya mengikuti deklarasi HAM atau tidak. Kalau mengikuti, maka harus ada yang diubah institusinya, yakni fiqh bukan akidah. Dalam fiqh orang agama lain masuk Islam tidak masalah, tapi orang Islam berpindah ke agama lain bisa dihukum mati. Ini mau diubah nggak, karena Indonesia menerima deklarasi HAM universal yang di PBB tahun 1945.
Dengan demikian kita memerlukan perubahan. Untuk mewadahi perubahan NU –entah di organisasi yang lain, yang saya tahu NU—dalam salah satu muktamarnya, hukum merupakan prinsip-prinsip dalam membuat perumusan, bukan hukum yang ada dalam kitab-kitab atau tabulasi yang ada. Hukum itu bergerak terus likulli zamanin wamakanin. Karena hukum selalu bergerak, hukum berputar sesuai dengan sebab-sebabnya, baik ada maupun tidak, maka hasilnya akan berubah. Perubahan dalam masyarakat diakui oleh islam sebagai yang inhern dalam hidup.
Di sini ada nilai-nilai universal yang tidak dapat dibakukan lagi, dan ada yang bisa berubah. Ada hukum yang ditetapkan dan hukum yang mutaghoyyiroh (yang bisa berubah). Dengan adanya hukum seperti itu, maka harus ada kajian fiqh secara mendalam. Terlebih terhadap kebudayaan yang selalu berubah.
Inilah yang sebenarnya menjadi inti penerimaan Islam atas desentralisasi budaya yang kita laksanakan dan desentralisasi politik yang hampir selesai. Jadi, perlu sikap kita untuk mengakui keberagaman. Kita tidak perlu takut ini akan merusak kita, justeru akan memperkaya. Kita ambil contoh, di Amerika yang sangat modern, di Aluziana masih menggunakan Napolionik, sehingga hakim agung di Amerika harus pula menguasai Napolionik.
Kalau kita sudah mengakui demikian, maka kita akan berlapang dada terhadap kemajmukan (majmu’iyyah). Kalau tidak, maka akan main hakim sendiri, seperti di Kemang bulan puasa yang lalu, ada yang masuk ke restoran, minuman haram diambil sendiri. Kalau untuk dipecah masih untung, di luar untuk dijual itu. Inilah kadang kita tidak sabar terhadap perjalan hukum dengan tindakan fisik yang sifatnya kekerasan.
Dengan demikian tindakan untuk pluralisasi berarti penghormatan terhadap perbedaan yang ada. Sering kali umat Islam belum bisa menghormati perbedaan yang ada. Misalnya saya sendiri mendapat sorotan sebagai agen CIA, Partai Baath, untung saya tidak masuk pada anggota M16. Kan ciloko kalau saya menyandang yang bertentangan. Emang saya ini syetan apa. Ada satu perbuatan yang sama-sama dibenci Tuhan dan syetan, yaitu memperkosa isteri syetan.
Inilah kenyataan kita. Oleh karena itu saya senang karena ada lembaga yang membicarakan kebudayaan. Nanti hasilnya harus ditularkan kepada masyarakat dengan bahasa yang mereka mengerti. Selama ini halaqah menghasilkan bahasa yang tidak dimengerti masyarakat, itu akan menjadi sampah.
Ini persis dengan yang terjadi pada program KB. Saya masih ingat ketika ada petugas PPL menerangkan tentang KB dihadapan para kiai sejawa timur sampai keluar keringat karena takut salah. Ketika ditanya, “apakah ada pertanyaan”, Kiai Mahrus yang saat itu Ketua Syuriah wilayah Jawa Timur bertanya, “yang di depan Bapak itu apa?” Ternyata kondom. “Nah, itu kondom ukuran Arab atau India?”
Sering kali saya diminta orang mengharamkan judi buntut, kalau cuma mengharamkan itu mudah dan ada segerobak dalil saya bisa. Tapi saya tidak mau, saya hanya memberikan cerita, ada seorang yang tinggal terakhir uangnya dan minta menang. Saya minta dia semedi di pohon. “Mbah uang saya tinggal terakhir dan saya ingin menang”, simbah menyatakan 30 yang keluar 63. “Bagaimana mbah, kok tidak berhasil”, lalu dikasih 66 yang keluar 99. “Kenapa terus salah”, mbah bilang “saya dulu pelanggan judi buntut dan selalu kalah lalu gantung diri”.
Saya berharap buku halaqah bisa disosialisasikan kepada masayarakat dengan baik. Kalau buku saya memang bukan diperuntukkan mereka. Buku saya diperuntukkan kepada kaum terdidik yang di atas langit. Demikian saudara-sudara sambutan peluncuran buku saya. Dan mudah-mudahan ini bisa diterima masyarakat dengan baik dan saya hargai dengan baik. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.
Tweet
« Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
Tulisan sesudahnya:
Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis »
Pencarian
Kategori Opini ID
Random Post
- Batak: Penjajah (Identitas)?(0)
- Ketika Pesantren pun Merawat Kesenian(0)
- Fatwa Buat Inul, Adilkah?(0)
- Kepemimpinan Lokal Kenapa harus Dicerca Primitif?(0)
- Kamp Pengasingan Moncongloe(0)
- Malahayati, Partisipasi Perempuan dan Partai Lokal(0)
- Islam dan Feminisme(0)
- Marjinalisasi dan Misrepresentasi Pribumi Papua (2)(0)
- Dewa(n) (Ke)seni(an)?(0)
- Peta Kebudayaan dari Kacamata Sosiologis(0)
- Pos Fordisme(0)
- Pengakuan Setengah Hati Terhadap Penganut Khonghucu(0)
- Using Banyuwangi(0)
- Jaker PAKB2 Hearing dengan Komis III DPR RI(0)
- Kekerasan dan Budaya Kehormatan Diri(0)