Pengakuan Setengah Hati Terhadap Penganut Khonghucu

Mashuri | 9 - Oct - 2008

Keluarnya Surat Edaran (SE) Mendagri 470/336/SJ, tertanggal 24 Pebruari 2006, membangkitkan luapan puji yang tak terkira bagi penganut Khonghucu di Surabaya. Betapa tidak, SE Mendagri itu, bagi mereka, adalah satu-satunya pisau pemotong belenggu diskriminasi yang sudah lama membelit mereka. SE Mendagri ini berisi pengakuan Khonghucu sebagai salah satu agama yang resmi di Indonesia.

Sebelumnya, pada era Orde Baru, penganut Khonghucu merasa kesulitan mencantumkan kata Khonghucu ke dalam kolom agama di atribusi kependudukan. Di Surabaya, ini menjadi pengalaman pahit oleh siapapun yang berhubungan dengan aktifitas Komisariat Majelis Daerah (KMD) Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Surabaya di Boen Boe Kapasan dan MAKIN KMD Jawa Timur di Pak Kik Bio Jagalan pada paruh akhir tahun 2000-2002.

Anly adalah salah satu contohnya. Nasib kependudukan Anly Cenggana dan keluarganya dipersulit oleh Dispenduk Capil Pemkot Surabaya. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang belum genap 24 jam dicabut secara sepihak oleh aparat Pemkot, serta Kartu Keluarga (KK) ditahan dan tak kunjung diberikan kepada Anly. Alasannya cuma satu, kolom agama di KTP dan KK Anly diisi Khonghucu. Tentu akan lain cerita jika Anly secara sukarela bersedia “menukarkan” agama Khonghucunya atau mengkonversinya ke salah satu agama yang dianggap resmi oleh Negara.

Nasib serupa juga dialami oleh Budi Widjaya dan Charles. Perkawinan Budi dengan Lanny dan Charles dengan Suryawati tidak diakui oleh Pemkot (Pemerintahan Kota) Surabaya. Waktu itu, status perkawinan mereka belum mendapatkan legalitas dari Dispenduk Capil. Jalan berliku terpaksa ditempuh kedua pasangan tersebut. Budi, misalnya, sekedar untuk mendapatkan selembar akta perkawinan, harus melakukan gugatan terlebih dahulu, mulai dari PTUN Surabaya, PTTN Jawa Timur hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Untungnya, di tangan MA, putusan kasasi berpihak kepada Budi-Lanny.

Sebelum terbitnya SE Mendagri 2006, bagi penganut Khonghucu yang ingin mendapatkan dokumen kependudukan harus mengkonversi agamanya ke agama lain. Sebuah pilihan yang menyakitkan. Namun apa daya, pilihan ini tidak mungkin ditolak kecuali semua urusan publik mereka akan berantakan. Jika mereka memaksa mencantumkan Khonghucu ke dalam dokumen kependudukan, secara defacto seluruh dokumen itu dianggap tidak ada (undocumented persons)

Harapan Belaka
Ternyata, harapan penganut Khonghucu di Kota Surabaya yang begitu besar dengan lahirnya SE sekedar utopia. SE Mendagri seperti pisau tumpul yang tidak mampu memutus tali diskriminasi. Surat ini tidak mempunyai kekuatan apa-apa ketika berhadapan dengan Pemkot Surabaya, yang nota bene adalah bawahan Mendagri. Praktek diskriminasi terus terjadi dan menimpa penganut Khonghucu di Surabaya.

Praktek diskriminasi ini terjadi ketika Pemkot Surabaya berupaya menerjemahkan kebijakan kependudukan yang terkodifikasi dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2006. Sejak berlakunya UU tersebut, Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) mengarah pada pola tertib kependudukan berbasis pada single identification number bagi seluruh warganegara, termasuk umat Khonghucu. Salah satu kebutuhan SIAK model baru ini adalah, sidik jari seluruh penduduk Kota Surabaya. Yang membuat umat Khonghucu dan aktifis MAKIN heran adalah tidak adanya kolom khusus agama Khonghuchu dalam dokumen yang harus diisi. Formatnya nyaris sama dengan format sebelumnya. Dalam daftar isian di kolom agama hanya dicantumkan lima agama ditambah satu kolom yang berisi kata, “agama lain”. Bagi penganut Khonghucu kolom ini membingungkan sekaligus menjengkelkan .Namun, begitu ditanya atas kejanggalan ini, petugas pelayanan publik di Surabaya dengan enteng menjawabnya: “salah cetak”, “taruh atau isi saja di kolom agama lain”, “kalau merubah harus tender lagi”.

Ternyata legalitas Khonghucu masih diakui setengah hati.[DEPORT]



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar

Pencarian