Maulid Hijau Difatwa Sesat, MUI Digugat Warga
Muhammad Kodim | 27 - Sep - 2008Trend ’Fatwa Sesat’ sudah menjalar kemana-mana. Tak hanya di Pusat, MUI Daerah pun kini berlomba-lomba menggunakannya. Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 2 Januari 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Klakah menjatuhkan fatwa sesatnya kepada ’Maulid Hijau’, sebuah kegiatan rutinitas tahunan warga Tegalrandu.
Kegiatan yang diniatkan oleh warga sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan dan tradisi setempat serta mempromosikan pariwisata yang berupa Ranu (Danau) tersebut, oleh MUI kecamatan Klakah dinilai melanggar tiga dari 10 Kriteria Aliran Sesat, yaitu: (1). Meyakini dan mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i, (2). Mengingkari autentisitas dan kebenaran Al-Qur’an, (3). Menghina, melecehkan dan atau merendahkan Nabi dan Rasul. Pernyataan MUI Klakah ini tertuang dalam Surat Fatwa Larangan, Nomor: 073/CI/MUI/’08, tanggal 2 Januari 2008.
Awalnya, MUI Klakah mempersoalkan penggunaan nama ’Maulid Hijau’. Kata ’Maulid’ merujuk pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, sementara kata ’Hijau’ merujuk pada kegiatan penghijauan desa Tegalrandu sebagai desa pariwisata yang memiliki potensi dan tradisi unik.
Namun, permasalahannya kemudian bergeser. MUI Klakah giliran mempersoalkan acara Selamatan Desa yang di dalamnya ada Larung Sajen, karena dianggap tidak sesuai dengan Islam. Jelasnya, acara Larung Sajen ini biasanya dilakukan dalam bentuk selamatan dan do’a bersama dengan para sesepuh desa sesuai dengan tradisi agama Islam, kemudian dilanjutkan dengan melarungkan semacam sesaji ke tengah Ranu Klakah. Adapun sesaji yang dilarungkan tersebut berbentuk boneka kecil yang terbuat dari tepung terigu. Dan, tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun.
Secara keseluruhan, kegiatan ’Maulid Hijau’ ini meliputi: peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, penghijauan, selamatan desa, pasar rakyat, perlombaan, dan pagelaran kesenian. Ini merupakan kegiatan yang ketiga kalinya, dan rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 23 – 25 Mei 2008. ’Maulid Hijau’ pertama kali diselenggarakan pada April 2006, dan yang kedua pada April 2007. Karena difatwa sesat, maka kegiatan ketiga ini pun urung.
Dinilai Cacat, Panitia Gugat MUI Lewat Jalur Hukum
Menanggapi hal itu, Ketua Panitia Maulid Hijau, A’ak Abdullah Al-Kudus, menyatakan bahwa Fatwa tersebut cacat administrasi dan prosedural. Sebab, MUI tingkat kecamatan dan kabupaten tidak berhak untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Sebagaimana telah diatur sendiri oleh MUI dalam SK No. U-596/MUI/X/1997 tentang Pedoman Penetapan Fatwa, bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa hanyalah MUI Pusat. Oleh karena itu, MUI Klakah dinilai justru menerobos aturan tersebut. Dalam SK yang sama, tepatnya pasal 2 ayat 3, juga mengatur bahwa sebelum pengambilan keputusan perlu di lakukan proses klarifikasi (tabayyun). Namun MUI Klakah tidak menempuh langkah tersebut, karenanya dianggap menyalahi prosedur.
Lebih fatal lagi, 80 tanda tangan yang dilampirkan dalam surat keputusan fatwa tersebut sebagian besar palsu. ”Kami dari pihak Panitia Maulid Hijau sudah melakukan konfirmasi langsung satu persatu secara terpisah dengan sebagian besar dari para penanda tangan khususnya pada lembar kedua yang mayoritas penandatangannya adalah masyarakat desa Tegalrandu. Dari semua yang kami datangi, kami mendapat keterangan yang seragam, bahwa tanda tangan yang dilampirkan dalam Surat Keputusan Fatwa tersebut sebenarnya adalah DAFTAR HADIR dalam acara pertemuan rutin, yasinan dan istighosahJam’iyyah Nahdlatul Ulama ranting Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang yang diselenggarakan pada tanggal 14 Desember 2007 di rumah Bapak Yusuf,” terang A’ak. warga
Karena fatwa tersebut dianggap gelap, tanpa prosedur resmi, akhirnya pada tanggal 20 Januari 2008 panitia ’Maulid Hijau’ mengirimkan surat somasi ke pihak MUI kecamatan Klakah yang juga diteruskan ke MUI pusat dan MUI Provinsi Jawa Timur serta Muspida Kabupaten Lumajang. Dalam surat tersebut, panitia Maulid Hijau menuntut MUI Kecamatan Klakah untuk mencabut Surat Fatwa Larangan yang telah dikeluarkannya dan meminta maaf secara langsung dan terbuka kepada warga dalam tempo seminggu.
Namun, hingga batas waktu yang telah ditentukan, MUI Klakah tidak juga memenuhi tuntutan tersebut. Maka pada tanggal 29 Januari 2008, pihak panitia didampingi oleh tokoh masyarakat dan kepala desa Tegalrandu serta Tim Pengacaranya melaporkan kasus ini ke Mapolres Lumajang. Ada enam pasal yang dituntutkan oleh pihak panitia Maulid Hijau terhadap MUI kecamatan Klakah, yakni Penghinaan Pasal 310 ayat 1 dan 2 KUHP, Fitnah Pasal 311 ayat 1 KUHP, Penghasutan Pasal 161 ayat 1 KUHP, Menebar kebencian Pasal 157 ayat 1 KUHP, Pemalsuan Surat Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP serta Terorisme UU nomor 15 / 2003.
Tak mau kalah dengan panitia, pada tanggal 1 Februari 2008, MUI Klakah melaporkan balik panitia ke Mapolres Lumajang dengan tuduhan pencemaran nama baik. Menurut MUI, tuntutan minta maaf dari panitia Maulid Hijau tersebut adalah tindakan main hakim sendiri. Untuk memperkuat gerakannya, MUI Klakah didukung oleh MUI Kabupaten Lumajang melakukan kampanye anti Maulid Hijau dengan cara menggalang dukungan dari para kyai/ulama di Kabupaten Lumajang, melalui khutbah jum’at di masjid-masjid dan di majelis taklim lainnya, menerbitkan dan menyebarkan bulletin Al-i’tishom yang intinya mengecam panitia Maulid Hijau dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), salah satu pihak yang mendukung Maulid Hijau, sebagai pembela kemusyrikan, serta menyerukan kepada seluruh masyarakat untuk turut melawannya.
Begitu pula dengan panitia Maulid Hijau, mereka terus melakukan pendekatan intensif ke beberapa tokoh di Lumajang dan juga menggalang dukungan di tingkat nasional seperti ke Komnas HAM, Perguruan Rakyat Merdeka, Wahid Institute, dan lain-lain. Beberapa lembaga advokasi seperti LBH Surabaya, LBH Jakarta, PBHI, YLBHI, Elsam dan KBHR telah menyediakan tim pengacaranya untuk memback-up panitia Maulid Hijau.
Upaya-upaya perlawanan panitia Maulid Hijau rupanya cukup membuat MUI Lumajang panik dan keder. Para tokoh MUI Lumajang akhirnya segera menemui Pemkab Lumajang untuk menyerahkan kasus ini. MUI yakin, dengan ditanganinya kasus tersebut oleh Bupati secara langsung, masalah ini bisa selesai secara damai dan baik.[DEPORT]
Tweet
« Jidat Yang Hitam Bukan Menjadi Ukuran
Tulisan sesudahnya:
Gereja Gekindo Getsemane: Setelah Dua Tahun Disegel, Kini Dibongkar »
Pencarian
Kategori Berita ID
- Komunitas Lokal, Krisis Ekologis dan Budaya : Sebuah Diskusi Awal
- Bermufakat Melawan Perusak Lingkungan
- LP USU – Desantara Foundation gelar diskusi buku
- Dakwah Membawa Amarah
- Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural
- Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar
- Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten
- LOWONGAN PEKERJAAN: Staf Keuangan
- Susahnya Menjaga Kewarasan di Negeri ini
- Anarkisme Pembangunan di Atas Situs Benteng Somba Opu Makassar
- Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan
- Seni dan Gerakan Sosial
- Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong
- Penulis buku Bencana Industri merasakan adanya intimidasi
- Diskusi Tentang Film Perempuan Multikultural
Random Post
- Richard Hoggart(0)
- Multikulturalisme, Islam, dan Politik Anti Diskriminasi(0)
- Srinthil 14 : Balian Bawe : Keperkasaan Perempuan Mulai Tenggelam(0)
- Seren Taun(2)
- Menagih Jaminan Kebebasan Berkeyakinan: Respon atas Fatwa MUI terhadap Aliran Al-Qiyadah(0)
- Pertunjukan Gandrung: Dari Tradisi ke Dominasi Pasar(0)
- Pajaga, Simbol dan Alat Negosiasi Kultural(0)
- Dayak Kenyah bag. 4(0)
- Strategi Advokasi Anti Diskriminasi(0)
- Nyanyian Tengger(0)
- Kita, Sejarah dan Kebhinekaan: Merumuskan Kembali Keindonesiaan(0)
- Islam Khalwatiyah bag. 2(0)
- Tarian Kehidupan Gandrung Temu(0)
- Etnisitas(0)
- Kewarganegaraan(0)