Pesantren dan Penghapusan Diskriminasi
KH. Hamdun | 2 - Jul - 2008Di Indonesia, persoalan agama dan kepercayaan pernah mencuat pada masa orde baru (pada masa kepemimpinan Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara) saat peraturan tentang agama dan kepercayaan hendak disusun . Waktu itu muncul pertanyaan seputar apakah aliran kepercayaan itu agama atau bukan.
Kelompok agamawan mengatakan, kepercayaan itu bukan agama. Sementara para penghayat menhendaki aliran kepercayaan dianggap agama. Perdebatan ini berlangsung lama.
Namun, karena mayoritas bangsa Indonesia adalah orang beragama dan para penghayat mengakui kepercayaan sebagai budaya, maka aliran kepercayaan ini dibawah-naungkan Departemen Pendidikan pada biro Kebudayaan. Konsekuensinya, mereka diperlakukan sebagai obyek pariwisata. Jadi, pemisahan agama dari kepercayaan merupakan keputusan yang sangat politis.
Sampai kini, Departemen Agama (Depag) tidak memiliki definisi jelas tentang agama. Agama sering kali didefinisikan secara praktis, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu. Ada yang mengatakan agama itu harus ada Tuhan, kitab Suci, dan Nabi. Tapi ketika ditanyakan mengenai eksistensi agama Buddha, ini lalu menjadi problematis. Demikian juga ada kesulitan mendefinisikan kepercayaan. Ada kepercayaan dengan warna Islam, warna Hindu, Buddha, dan lain-lainnya.
Hanya Al-Quran yang memberi definisi jelas. Terminologi agama dalam Al-Quran adalah menyangkut semua kepercayaan dan keyakinan. Ketika Al-Quran menyebut “Lakum dinukum wa liyadin”, bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku, maka yang dimaksud dengan agama ini adalah paganisme, dan khitab-nya adalah para paganis, penyembah berhala. Karenanya, ketika Allah mengatakan La ikraha fiddin, tidak ada paksaan dalam beragama, artinya kepercayaan dan keyakinan apapun tidak boleh dipaksakan kepada seseorang. Tidak ada paksaan dalam agama karena sebetulnya Qad tabayyana al-Rusydu minal goy, nilai kehidupan itu sudah jelas. Sudah banyak konsensus kemanusiaan, misalnya HAM. HAM adalah konsensus kemanusiaan tentang nilai-nilai bersama dan nilai-nilai itu sudah ada dalam masyarakat. Hanya saja belum dirumuskan dan diformalkan dalam sebuah deklarasi, umpamanya.
Manusia ketika masuk dalam alam manusia mereka secara otomatis memiliki nilai-nilai itu. Nilai ituy berangsur hingga sekarang manusia mencapai titik kulminasinya kemudian disepakati antar bangsa dan lahirlah deklarasi. Deklarasi ini sebenarnya memang untuk menhghilagkan diskriminasi. Karena fakta menunjukkan bahwa manusia ini berbeda. Perbedaan dari segi agama, etnis, kelompok, kekuasaan jenis kelamin, dan sebagainya. Dan memang ada kekuatan-kekuatan yang rawan dipakai alat diskriminasi semisal agama.
Diskriminasi itu bahasa sekulernya. Dalam bahasa pesantren, diskriminasi adalah kedzaliman. Banyak ayat Quran yang menyuruh kita berbuat adil. Bahjkan tidak ada satu punv didunia ini orang yang menyetujui kedzaliman. Semua orang menginginkan keadilan. Tapi dalam meperjuanhgkan keadilan, sering pula kita melakukan ketdiak adilan terhadap orang lain. Jadi perilaku udiskriminasi dilakukan tidak terasa.
Nah tugas para agamawan saya kira mencari prilaku kedzaliman atau diskriminasi ini. Dan itu tidak mudah. Tapi ketika diwacanakan ternyata sangat banyak diskrimiansi misalnya dalam agama. Segala-galanya dibeda-bedakan. Padahal manusia itu sama, setara, sederajat dalam berbagai macam kehidupan. Memang manusia ddari awal berderajat-derajat. Tapi dari sisi manusia semua sama. Manusia tidak bisa membuat kriteria saya lebih unggul lebih bagus dari yang alain. I I tidak bisa dan dilarang dalam agama. Wala tuzaqqu anfusakum, kamu jangan merasa lebih baik sehingga merasa baik dari ytang lain. Ini dilarang. Jadi diskriminasi berdasarkan apapaun itu di;arang. Banyak dasar dari hadist Nabi. Ketika Islam belum mampu menghilangkan perbudakan sudah ada interupsi dari Nabi supaya budak diperlakukan sama. Berilah makanan dan pakaian sebagaimana yang kamu gunakan. Jadi sudah ada perintah semacam itu. Tapi perbudakan belum bisa dihilangkan kaena bila diliha daris isi ekonomi, perbudakan masih menadi faktopr ekonomi, faktor produksi yangsanat vital. Kalauperbudakan dihilangakan akan terjadi kemerosotan dan perbaikan tidak dapat dilakukan dengan baik. Apalagi di Arab waktu itu, hamba sahaya hampir sep[aroh penduduk. Bayangkan kalau semua itu dimerdekakan siapa yang akan mengganti pekerjaan yang harus dilakukan budak.
Memang hamba tidak bisa dihilanhgka ntetapi diskriminasi terhadap hamba dilarang. Meski masih ada aturan-atuira diskriminasi sedikit demi sedikit dikikis. Saya kira untuk menghilanhgkan perbudakan yang sudah mengakar bertahun-tajhun tidak gampang apalagi Nabi hanya 20 tahun.
Jadi pada dasarnya kehidupan yang paling baik didasarkan atas dasar kebebasan dankesetaraan. Banyak hadis t yang menyatakan prinsipo kesetaraan ini. Miaslnya, hadist Nabi An-Nasu Siwasiyyah ka Asnanil Musthi, Manusia sama layaknya gigi sisir. Juga La Farqa Bayna ‘Arabiy wa A’jamiyy, tidak perbedaan antara orang Arab dan bon-arab. Tapi memang ada sesuatu yang membedakan manusia disisi Allah yaitu taqwa.
Adapun masalah kebebasan. Dalam Quran Allah berfirman: Wa Qatilu fi Sabililllahi hatta La Takunu Fitntah, Berperanglah kamu dijalan Allah sehingga tidak ada fitnah. Wayakunu addinu kulluhu lillahi, Dan ketaatan seluruh untuk Allah. Kata “fitnah” diatas hjangan diartikan secara salam sebagaimana yang kita pakai sehari-hari. Bukan fitnah dalam arti menuduh tanpa bukti, yang lalu kita mengatakan al Fitnatu Asyaddu minal Qathl, Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah di sini bukan dalam arti tersebut. Ketika Aiosyah, istri Nabi dituduh berzina Quran tidak mengatakan itu fitnah tapi buhtan yang berarti bohong besar.
Di sini yang diperangi adalah yang beda agama. Tapi yang derangi bukan agamanya, melainkan orang yang beragama itut melakukan firnah. Apa itu fitnah? Dalam suatu roiwayat dinyatakan bahwa fitnah itu adalah perilaku orang yang menghalangi oranglain untuk memeluk agama Islam. Tapi ini memang pengertidan dari sudut Islam. Ini bisa ditafsirkan prilaku manusia yang tidak menghargai kebebasan beragama. Kebebasan beragama yang dihalag0-halangi dengan cara-cara yang tidak benar.
Karenanya Quran yang mengatakan Fitnah itu l;ebih kejam dari pada pembunuhan, karena fitnah dalam hal menghalangi kebebasa beragama. Menurut saya ini sesuai dengan firman Allah lainnya yaitu La ikra fiddin, tidak ada paksaan dalam beragama. Kalau ada yang memaksakan keyakinan atau menghalang-halangi itu namanya fitnah. Baik dilakukan nonmuslim maupun muslim sendiri. Jadi jangan ada fitnah.
Hemat saya, kampanye demokrasi, Ham dan pemahaman liberal ini justeru dalam rangka menegakkan kebebasan. Dan ini pemikiran yang harus dikembangkan. Karena itu pesantren dituntut memerangi kedzaliman dalam rangka amar makruf nahi mungkar. Diskriminasi itut kedzaliman dan munkaraot. Karenanya harus dicegah.
Saya akan menjabarkan pemahaman tentang khaoir, ma’ruf, dan munkar. Pertama-tama semua manusia menginginkan khoir, kebaikan. Dari dinamika kehendak mencari khoir secara bersama-sama ini lalu ada nilai-nilai yang diakui bersama-sama. Nah yang diakui bersama-sama ini disebut ma’ruf. Adapan nilai yang buyruk yang kita cegah bersama-sama disebut munkar. Amar makruf nahi mungkar ini penting karena manusia memerlukan kekuatan-kekuatan luar untuk melkuakan makruf dan mencegah munkar.
Saya kira ini pemahan tentang diskriminasi dalam pandangan Islam, sehingga kita bisa melakukan usaha bersama untuk mencegah diskriminasi. Biarkan hidup ini bebas karena nati juga kebenaran akan lahir dari situasi dankondisi yang kita ciptakan dalam ebuah kebebasan. Dalam kebebasa itu pasti ada batas-batasnya. Yang membatasi ya diri sendiri, nurani dan akal kita. Pada prinsiopnya kebebasan itu akan saling membatasi. Tapi ini memang dibutuhkanmanajemen kebebasan. Dan perlu kepemimpinan yang demokrat yang menyediakan kendaraan bersama untuk taat pada kebenaran. Wallahu a’lam [] Desantara / KH. Hamdun
Tweet
« Kekerasan Atas Nama Agama
Tulisan sesudahnya:
Perjumpaan Multikultural, Sarana Menghargai Keaneakaragaman »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Orality (Oralitas)(0)
- Hubungan Bapak dengan Kami(0)
- Ketika Jaranan Thik Melawan Reyog(0)
- Wajah Lain Dari Tegalrejo(0)
- Cerita Dari Samarinda: Pelatihan Menulis dan Penelitian Dasar Kualitatif(0)
- Pelatihan Diskursus Kebudayaan dan Komunitas(0)
- Ketika Kategori Kultural Semakin Cair(0)
- La Unge Setti: Biarkan Kami Menganut Keyakinan Ini…(0)
- Siasat Seniman Tingkilan Merangkul Musik Modern(0)
- Pecahnya Sebuah Periuk Pelebur(0)
- Jalan Menuju Peneguhan Identitas ke-Using-an(0)
- Dari Kemiren ke Hollywood(0)
- Dayak Kenyah bag. 4(0)
- Polemik Pembangunan Pemakaman Kristen Di Kedung Menjangan Cirebon(0)
- Kesadaran Kewargaan Bisa Atasi Konflik Komunal(0)