Perjumpaan Multikultural, Sarana Menghargai Keaneakaragaman
admin | 3 - Jul - 2008“Saya tidak menyangka, tulisan saya ternyata salah. Saya harus mengulang lagi. Semula, saya berpikir forum ini adalah acara untuk saling mengenal agama satu sama lain. Tapi saya senang, saya mendapatkan banyak sekali masukan dan pengetahuan,” ujar William Tannadi. William, begitu ia disapa, adalah pemuda Tionghoa Medan. Bahasa Indonesianya masih sangat terbata-bata. Maklum, dalam kehidupan sehari-harinya di keluarga, ia biasa menggunakan bahasa Hokkian. Pemuda berusia 18 tahun ini adalah salah satu peserta sekolah multikultural Desantara 2008.
Tulisan William berjudul, Selayang Pandang Agama Konghucu, dikritik oleh fasilitator sekolah multikultural. Tulisannya terlalu terpaku dengan gagasan normatif yang hanya mendeskripsikan ajaran-ajaran Tionghoa. “Gak perlu tulisan William, kita bisa mencarinya dibuku-buku lain. Yang kita inginkan adalah tulisan yang didapatkan dari pengalaman sehari-hari”, kata Hikmat Budiman, salah satu fasilitator dari Interseksi Foundation.
Seperti telah disampaikan oleh Muhammad Nurkhoiron, dari Desantara Foundation, Sekolah Multikultural Desantara diawali oleh keinginan untuk membangun kesadaran baru dalam menghormati keanekaragaman masyarakat Indonesia. Kesadaran itu, bisa dilacak dari tulisan-tulisannya. Berbeda dengan bentuk pelatihan dimanapun, pelatihan ini menfasilitasi peserta melakukan proses kreatif menulis dengan isu keanekaragaman dari perspektif multikulturalisme.
Dalam konteks Batak, pengalaman multikultural terasa kental dalam bentuk interaksi antar etnis dan konstruksi keetnisan di kalangan penduduk Medan. Seperti kita lihat di tengah kota Medan, beragam etnis berbaur sekaligus mewarnai dinamika kota Medan. Dari luar, Medan distereotipekan sebagai kota orang Batak. Secara ekstrim tidak jarang konotasi Batak menunjuk kepada hal-hal yang bersifat negatif; keras kepala, kasar, suka berkelahi, dan lain-lain. Bahkan, secara umum Sumatera utara dikenal masyarakat Indonesia yang lain sebagai pusat komunitas Batak. Batak sepertinya sudah dilekatkan sebagai sosok etnis yang tunggal dan seragam. Pandangan ini sesungguhnya sangat menyesatkan. “Saya juga diingatkan teman saya yang juga dari Sumatera Utara, agar hati-hati kalau sudah sampai di Medan”, kata Gama Triono, peserta asal Yogyakarta, menegaskan stereotipe ini.
Batak sebagai konstruksi keetnisan sesungguhnya bersifat dinamis. Dinamika inilah yang hendak didiskusikan secara kritis dan dijadikan sumber refleksi bersama oleh peserta pelatihan sekolah multikultural Desantara, di Medan, 23-28 Juni 2008. Acara ini bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Universitas Sumatera Utara. Hadir sebagai fasilitator dan pendukung materi acara adalah, Ben Pasaribu, etnomusikolog dan dosen Unimed, Irwansyah Harahap, etnomusikolog USU, Zulkifli Lubis, kepala jurusan antropologi USU (Unisversitas Sumatera Utara), Fikarwin, doktor antropologi USU, ditemani Hikmat Budiman dan Muhammad Nurkhoiron dari Desantara Foundation.
Diversitas di Indonesia, seperti disampaikan oleh Ben Pasaribu ketika menyampaikan presentasinya mengenai pengalaman multikultural di Sumatera Utara, adalah bagian dari pengalaman sehari-hari. Masyarakat Batak yang sekarang ini dipahami orang lain secara seragam, dalam perkembangannya justru memiliki keragaman dari berbagai etnis dan agama. Secara etnisitas Ben Pasaribu misalnya menyebutkan Melayu, Pesisir, Nias, Batak Toba, Simalungun, Karo, Angkola, Mandailing, Pakpak Daili, Lubu, Ulu, sebagai ekspresi-ekspresi etnis yang hidup dan berkembang di Sumatera Utara.
Menurut Ben Pasaribu, keanekaragaman ini dikelola sedemikian rupa dalam ruang kosmopolitan Medan. Ketegangan antar kelompok dan kehendak untuk saling mendominasi jelas terjadi. Akan tetapi, keanekaragaman ini bersifat saling menjaga keseimbangan, sehingga konflik dan konfrontasi yang ekstrim bisa dihindari. Medan adalah contoh terbaik di Indonesia, bagaimana pengalaman dan interaksi multikultural itu dijaga agar tidak terjadi antagonisme satu sama lain. “Konflik dan ketegangan tentu saja tidak bisa dihindari, tapi dalam konteks relasi multikultural di Medan, konflik itu tidak saling mematikan satu sama lain”, ujar Ben.
Melalui diskusi ini peserta juga diajak memahami hal-hal kecil yang menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari di Medan. Mufida Batubara, misalnya, mencoba mengangkat kasus penanganan sampah yang dikaitkan dengan kapasitas antar etnis dalam satu kampung untuk membangun sikap kebersamaan mengatasi persoalan publik ini. Sajian Mufida sebagian mendukung tesis Ben, bahwa antar etnis di Medan sesungguhnya memiliki kemauan saling bekerjasama.
Diskusi ini menyulut peserta lain mengembangkan kepekaan memahami beragam soal diversitas di Medan, dari persoalan hubungan antar agama, ketetanggaan yang beragam etnis, masalah kebijakan pemerintah daerah, sampai masalah akulturasi dan sinkretisme kebudayaan yang dapat dijumpai dalam bentuk yang paling spesifik seperti kesenian.
William sendiri adalah peserta termuda dibandingkan 14 (empat belas) peserta lainnya. Logatnya yang medok Cina-Medan tidak mengurangi semangatnya berjibaku menyelesaikan tulisan berdasarkan pengalamannya sehari-hari sebagai Cina Medan dan Penganut Konghucu. Lalu ia presentasikan kembali tulisannya yang sudah ia ubah. Judulnya, “Rumah Ibadah Konghuchu”. Ia menfokuskan pada hal-hal kecil namun terasa sekali interaksi dan pola hubungan Konghucu dengan etnis lain. Misalnya ditulisan William, ia menceritakan sedikit hubungannya dengan tetangganya muslim. Ia menyebutnya sebagai Pak Haji.
Bagi, William, Pak Haji bagai orang tua keduanya. Berbagai kemudahan dan bantuan sering diterima William dari Pak Haji. Bahkan, sejak kecil William bermain dengan anak-anak Pak Haji dan tidak jarang menginap dirumah mereka. Dalam tulisan itu, William juga menceritakan bagaimana rumah ibadah orang Cina dipahami atau diterima oleh kelompok lain. Orang-orang Cina dipahami orang luar sebagai kelompok eksklusif. William tidak menyangkal pandangan ini. Ia sendiri sering diledek oleh sesama etnis Cina ketika bergabung dengan teman-temannya dari etnis lain.
Bagi William, sekolah multikultural membuka cakrawala pemikiran baru, bahwa kita semua tidak bisa lepas dari ikatan budaya, akan tetapi kita semua harus kritis dan saling terbuka atas kekuatan dan kelemahan budaya tempat bersandar kita. Konflik dan kekerasan bisa dimulai dan dipicu karena perbedaan budaya, tapi kerjasama dan integrasi juga bisa dibuat karena adanya pemahaman akan diversitas itu. Misalnya Ade Khoiriah. Dia adalah salah satu peserta dari Agama Bahai. Ade menceritakan hal perkawinan beda agama di keluarganya. Bagi Ade ini pengalaman biasa saja. Tapi bagi orang lain mungkin menjadi persoalan yang berat. Karena Bahai sendiri adalah agama baru di Indonesia, keberadaannya kerap mengundang ketakutan dan sakwasangka.
Forum Sekolah Multikultural mengajak masing-masing peserta dari beragam latar belakang untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman sehari-hari, yang sesungguhnya bagian dari pengalaman multikultural. Pengalaman inilah yang menjadi bahan penulisan. Karena mereka berangkat dari latar belakang etnis dan agama yang berbeda. Di forum ini peserta tidak saja diajak mendiskusikan arti penting menghargai perbedaan, akan tetapi didorong merefleksikan lebih kritis, kenapa perbedaan itu lahir, menjadi sumber konflik dan sumber keharmonisan. Dengan mendiskusikan isu-isu ini dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, kita belajar saling terbuka atas pikiran kita masing-masing. Keterbukaan, kemandirian dan kemerdekaan adalah prinsip pokok dalam metode dan proses belajar di sekolah multikultural ini. “Sesuatu yang nyaris tidak bisa ditemukan di forum sekolah atau pelatihan lain”, kata Fikakrwin, doktor antropologi dari Universitas Sumatera Utara.
Dalam praktiknya tentu tidak gampang. Selain kita sudah terbiasa dengan sekolah yang metodenya konstruktif, kita dibiasakan untuk berpikir seragam. “Berbeda adalah suatu anomali dalam sistem pendidikan di Indonesia”, kata Irwansyah Harahap. “Di forum sekolah multikultural Desantara ini, peserta dibentur-benturkan dengan pikiran dan pengalaman yang berbeda. Pertemuan seperti ini harus diteruskan dan sangat besar sekali manfaatnya”, tegas Irwansyah. Desantara
Tweet
« Pesantren dan Penghapusan Diskriminasi
Tulisan sesudahnya:
Komunitas NU di AS Terbentuk »
Pencarian
Kategori Esai ID
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik
- Menimbang-nimbang Kemaslahatan Undang-Undang Desa 2013
- Islam Kutai dan Persinggungan Politik
- “Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
- Paraben andi’ ana’, Belenjer andi’ Lake (Perawan Punya Anak, Janda Punya Suami): Kritik Sosial Perempuan Seni Madura terhadap Santri Coret
- Tanah dan Pergeseran Kosmologi Dayak Kenyah
- Prahara Budaya: Refleksi Peradaban Manusia Dayak
- Memahami Klaim Kebenaran Agama: Suatu Refleksi Filosofis
- Sejarah Masyarakat Dayak Kenyah Lepoq Jalan Lung Anai, Kutai Kartanegara
- Komunitas Nyerakat : Geliat di Tengah Gempuran Arus Modernitas
- Bisnis Perizinan Kuasa Pertambangan dan Geliat Pilkada Kota Samarinda
- Perempuan Kampung Pamanah di Industri Tenun Sarung Samarinda
- Pesantren Tegalrejo: Lautan di Lereng Merbabu
- Adat, Hukum dan Dinamika Subjek Dalam Debat Kumpul Kebo di Mentawai
- Wajah Lain Dari Tegalrejo
Random Post
- Sekolah Multikultural(0)
- Kami Takut Jika Satu Saat Nanti Kami Diserang Lagi(0)
- Ludruk Sebagai Media Resistensi(0)
- Etnisitas(0)
- Kebudayaan Tak Sekedar Barang Pajangan(0)
- Khilafah Islamiyah: Mimpi Besar Yang Tak Mendasar(25)
- Pelanggaran HAM, Hinduisasi Tolotang(3)
- Nestapa Anak Cucu Rara Anteng-Jaka Seger(0)
- Jaranan dan Politik Kekuasaan(0)
- Srinthil 18 : Gerwani(0)
- Jalanan, Perlawanan dan Pengakuan(0)
- Matinya Erau dari Tradisi ke Politisasi Etnik(0)
- Menyemai Wawasan Kebangsaan Di Aras Pendidikan Pesantren(0)
- Slamet Menur, Sebuah Anomali dalam Industri Kesenian(0)
- Jaker PAKB2 Hearing dengan Komis III DPR RI(0)