Mih Wati: Dari Panggung ke Panggung
admin | 8 - Jul - 2008Malam itu, hujan tak lagi bisa dibendung, cukup deras mengguyur wilayah Jatinegara termasuk arena pertunjukan di mana Lestari Warga Saluyu dan Mekar Munggaran berlaga. Penonton hanya satu-dua, itu pun dari mereka yang memang mangkal dan berjualan di sepanjang jalan Pisangan. Desantara sendiri kalang-kabut, kedinginan berteduh di bawah jembatan D.I. Panjaitan yang berada di antara dua panggung pertunjukan. Ketika Desantara mendekat ke arah panggung, tertangkap sorot kekhawatiran di mata sejumlah juru kawih dan penari Lestari Warga Saluyu saat beberapa lama hujan tak kunjung reda. Terdengar suara lirih Mih Wati, juru kawih utama grup ini: “ Ya Allah, ya Gusti”.
Mih Wati atau lengkapnya Asmawati (40 th) berasal dari Karawang, Jawa Barat. Ia telah menjadi penari Jaipong sejak usia 13 tahun. Kini, ia tak lagi menari karena usia dan menjadi juru kawih. Pernah ia mundur dari Jaipong, ketika menikah karena suaminya tak membolehkannya. Tetapi setelah bercerai, ia kembali ke dunia Jaipong. Dari beberapa kali perkawinan, ia dikaruniai 4 orang anak. Dua orang anak perempuannya, Biok (19) dan Santi (17) yang sekarang juga menjadi penari Jaipong serta dua orang anak laki-laki yang masih sekolah STM dan SD. Saat ini dia tinggal bersama Santi, anaknya yang menjadi isteri Acep, pimpinan jaipong Lestari Warga Sedayu. Berikut adalah penuturannya pada Desantara tentang pengalamannya bergulat di dunia seni Jaipong.
Sejak kapan Mih Wati mulai menjadi juru kawih atau penari Jaipong?
Saya mulai jadi penari sejak usia 13 tahun, waktu itu tahun 75. Keinginan saya sendiri memang menjadi pemain Jaipong. Tapi dulu namanya bukan Jaipong, tapi Kliningan. Pertama kali saya ikut rombongan Tanjidor di kampung (Karawang). Kemudian ikut grup Kliningan, saya pernah ngamen sampai Lampung. Selain itu, dulu saya juga pernah jadi penari Jaipong di daerah Bongkaran, Tanah Abang, sekitar 3 bulanan saya di sana. Ikut grup Pak Wardi orang Bogor. Saya juga pernah di Priuk, nggak lama. Saya pindah-pindah. Kalau nggak betah saya pindah. Jadi nggak pernah lama. Tahun 1976, saya menikah terus berhenti nari karena suami nggak setuju saya keliling. Jadi, ya berhenti saja. Setelah Biok dan Santi lahir, saya pisah dan suami kemudian jadi juru kawih dan bermain Jaipong lagi.
Waktu itu sekali manggung Mih Wati dapat berapa?
Waktu itu seribu lima ratus. Jaman dulu kan susah uang dan lagi uang segitu masih sangat berharga. Kalau sekarang, bisa dapat limapuluh ribu pas lagi ramai. Kalau sepi tigapuluh ribu.
Persisnya tahun berapa Mih Wati bermain Jaipong lagi?
Saya bermain Jaipong lagi tahun 81, ikut romhongan Bu Esih (Ibu Acep; red). Saya kenal Bu Esih sudah lama, sudah seperti saudara. Setelah 1 tahun, saya pulang kampung ikut rombongan Tanjidor Bang Kasmin. Nggak lama saya menikah lagi terus berhenti lagi. Setelah cerai baru manggung lagi. Cari nafkah buat anak-anak. Sekarang sudah jalan 4 tahun saya ikut di sini lagi. Ya, ikut mantu.
Selain di Jatinegara, Mih Wati manggung di tempat lain?
Ada sih. Kadang-kadang di kampung di Karawang. Tapi karena di sini ikut mantu ya sudah, di sini saja. Kalau dulu waktu muda sering ikut rombongan lain kemana-mana. Ke Banten dulu juga pernah ikut rombonganWayang Golek. Juga pernah main di Taman Mini tahun 89. Dulu waktu ikut rombongan jembatan Besi Pak Kaswadi ke Lampung, para bajidor itu maunya ngibing bareng di panggung tapi sama Pak Kaswadi tidak boleh. Katanya, kita harus menjaga tata krama kesenian, akibatnya kita nggak dapat duit sawer. Cuma dapat dari gaji saja. Kesenian Jaipong beda dengan kesenian lain, tapi seringkali orang menyamakan saja. Memang kadang suka ngobrol dengan penggemar, tapi seringkali sama perempuan lain dituduh yang nggak-nggak. Padahal nggak begitu. Kalau ada yang pergi dengan laki-laki itu pilihan sendiri.
Selama berjaipong di Jatinegara pernah dapat kesulitan?
Nggak pernah. Malah kalau bulan puasa kami masih bisa manggung. Padahal kalau di daerah lain suka dilarang. Kalau di Cileungsi misalnya, dilarang karena ada sindennya yang suka pergi dengan penggemar. Jadi dicap buruk. Tapi kalau di sini nggak. Malah sebagian masyarakat sudah menganggapnya menjadi tradisi daerah sini.
Mih Wati pernah punya cita-cita lain selain menjadi penari atau juru kawih?
Nggak, jadi seni Jaipong memang cita-cita Mih sejak kecil. Kalau di kampung itu jadi penari atau juru kawih bisa jadi makmur. Kalau sekarang sih Mih nggak punya keinginan lain. Jadi sinden untuk membiayai sekolah anak Mih yang di STM dan SD. Desantara
Tweet
« Perempuan Ngesti Pandhawa: Jangan dikira kami lemah
Tulisan sesudahnya:
Islam Kutai dan Persinggungan Politik »
Pencarian
Kategori Berita ID
- Komunitas Lokal, Krisis Ekologis dan Budaya : Sebuah Diskusi Awal
- Bermufakat Melawan Perusak Lingkungan
- LP USU – Desantara Foundation gelar diskusi buku
- Dakwah Membawa Amarah
- Pelatihan Fotografi dalam Perspektif Multikultural
- Kami Ingin Hidup Berdampingan: Kabar dari Ahmadiyah Makassar
- Kronologis Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Banten
- LOWONGAN PEKERJAAN: Staf Keuangan
- Susahnya Menjaga Kewarasan di Negeri ini
- Anarkisme Pembangunan di Atas Situs Benteng Somba Opu Makassar
- Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) yang sering disalahtafsirkan
- Seni dan Gerakan Sosial
- Problematika dan Siasat Ekonomi Perempuan Porong
- Penulis buku Bencana Industri merasakan adanya intimidasi
- Diskusi Tentang Film Perempuan Multikultural
Random Post
- Cerita dari Serkan(0)
- Peran Sosial dan Stereotip Sosial(0)
- Dilema Multikulturalisme di Makassar(0)
- Cikoang bagian 1(0)
- Buki Sahidin Korban Diskriminasi Agama, Negara, dan Publik(0)
- Ketika Pesantren pun Merawat Kesenian(0)
- Dayak Kenyah bag. 3(0)
- “Komunitas Adat” di Banyuwangi(0)
- Dari Sekolah Multikultural Desantara yang Tak Besar-Besar(0)
- Macet? Sudah Biasa Tuh!(0)
- Upacara Pernikahan Adat di Wetu Telu(0)
- Jejak-Jejak Perubahan Sosial dan Kesenian di Madura(0)
- Kiai, Musik dan Kitab Kuning(0)
- Video Upacara Seren Taun di Cugugur, Kuningan bagian 3(0)
- Nasib Seniman Kecapi dan Perubahan Sosial(0)