“Titip Sampah” Sebagai Sebuah Wujud Keragaman dalam Penanganan Sampah Masyarakat Kota Medan

admin | 28 - Jul - 2008

Buanglah …… pada tempatnya. Kalimat persuasif ini banyak saya temukan di berbagai tempat, ataupun kawasan yang ada di Kota Medan. Bahkan seluruh kota yang ada di negeri ini juga menggunakan kalimat yang sama, untuk menyampaikan suatu maksud kepada khalayak agar dapat mengikuti seruan yang telah di sampaikan tersebut. Itulah sebuah kesimpulan yang saya jadikan sebagai kalimat pembuka dalam tulisan ini.

Semakin banyak kalimat himbauan, semakin banyak sampah yang berserakan di mana-mana. Kalau sudah begini, siapakah yang salah? Begitu banyak masalah-masalah besar yang telah terjadi di negeri ini, bahkan tidak jarang masalah besar itu berasal dari sesuatu yang kecil. Sebutlah sampah, yang dalam beberapa tahun terakhir ini telah merepotkan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kalau begitu, sesuaikan arti sampah yang banyak dipahami sebagai sesuatu yang tidak mempunyai nilai guna?

Sampah akan memiliki nilai guna, apabila ada orang-orang yang mau untuk mengelolanya. Selain itu sampah juga tidak akan menjadi sebuah masalah ketika semua orang tau bagaimana memperlakukan sampah-sampah yang mereka hasilkan. Apa yang akan terjadi ketika sudah tidak ada lagi kepedulian untuk dapat meletakkan sampah pada tempatnya. Maka sampah pun telah menjadi fenomena global di negeri yang memiliki semboyan Bhinekka Tunggal Ika ini. Karena sampah menjadi sebuah permasalahan yang tiada habis-habisnya untuk di bahas?.

Saya akan menceritakan, ketika beberapa kota besar di negeri ini, telah binggung untuk mengatasi penanggulangan sampah yang terus bertambah setiap harinya. Kasus Bandung yang disebut sebagai kota “lautan sampah” pernah menjadi sebuah pemberitaan besar di negeri ini, ketika tumpukan sampah terdapat di mana-mana bahkan di tepan kantor-kantor pemerintahan, area pertokoan juga penuh dengan tumpukan sampah, bau busuk tercium di mana-mana. Keadaan ini diperparah ketika lokasi pembuangan akhir sampah yang ada di kota ini, menolak tumpukan sampah yang terus datang setiap harinya, selama hampir dua tahun terakhir lamanya. Bahkan sampai sekarang, tumpukan sampah di Kota Bandung masih menjadi permasalahan yang belum dapat teratasi secara menyeluruh. Nasib yang sama sekarang dialami Kota Medan, pemerintah tidak dapat memberikan pelayanan yang menyeluruh bagi masyarakatnya dalam mengatasi masalah sampah di kota ini.

Ke dua fakta di atas menyulut sebuah pertanyaan besar dalam benak saya, mengapa permasalahan sampah muncul ketika manusia telah berada di dalam sebuah zaman yang telah memberikan pemahaman dan informasi yang menyerukan tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, guna menciptakan masyarakat yang sehat dan jauh dari penyakit. Selain itu banyaknya pertemuan-pertemuan dunia, yang membahas tentang kebersihan lingkungan hidup, tetap saja tidak memberikan jalan keluar yang konkrit bagi masyarakat, guna mengatasi permasalahan kompleks yang muncul kepermukaan.

Rangkaian paragraf di atas memberi penjelasan bagi saya bahwa sampah merupakan masalah yang tidak bisa dianggap sederhana. Tulisan ini kembali berlanjut, ketika salah satu stasiun TV menayangkan sebuah iklan guna memperingati “100 TAHUN KEBANGKITAN INDONESIA”, yang berasal dari “Ide ku” yang meerupakan sebuah wadah penyalur ide-ide dalam bentuk layanan pesan singkat dari anak bangsa di negeri ini. Yang berisi: “Lakukan Hal Kecil Untuk Sesuatu yang Besar”, dan mengambil sampah menjadi salah satu contonya, yaitu dengan mengutip satu buah sampah setiap harinya maka akan mengurangi jumlah sampah berserakan, dan meletakkannya di tempat yang sampah yang tersedia.

Pertanyaan kembali muncul di benak saya, bagaimana dengan kondisi masyarakat Kota Medan yang terdiri dari beragam etnis, suku bangsa dan agama, dapat menciptakan cara-cara untuk menanggulangi masalah sampah yang semakin parah ini?Tentunya ini merupakan sebuah bahasan yang akan sangat menarik, karena selama ini proses distribusi sampah hanya menjadi tanggung jawab sebuah instansi saja. Baik itu sampah yang bersal dari rumah-rumah penduduk maupun sampah yang berasal dari sumber-sumber sampah lainnya seperti pasar, pertokoan dan berbagai tempat lainnya, secara keseluruhan merupakan kewenangan Dinas Kebersihan Kota.

Tetapi secara faktual, kinerja Dinas Kebersihan tidak dapat diharapkan sepenuhnya. Karena semakin besarnya jumlah sampah yang dihasilkan masyarakat kota setiap harinya. Lalu bagaimana cara masyarakat mencari jalan keluar di tengah-tengah permasalahan yang semakin rumit. Dapatkah masyarakat menciptakan cara-cara untuk dapat menaggulangi masalah sampah yang mereka hadapi?

Apakah mereka hanya mengandalkan kinerja Dinas Kebersihan? Tentunya ini akan menjadi sebuah bahasan yang menarik karena berbagai fakta akan ditemukan di lapangan. Sebuah kasus yang terjadi di Medan dalam beberapa bulan terakhir. Yaitu ketika macetnya mobil pengangkut sampah yang biasa beroprasi. Medan seakan menjadi daerah yang penuh sampah. Banyak tempat-tempat yang dijadikan sebagai tempat untuk meletakkan sampah secara sembarang oleh masyarakat kota. Bahkan di kawasan Pasar Pagi Setia Budi, trotoar jalan di jadikan tempat tumpukan sampah. Jelas ini merupakan masalah yang serius, bukan suatu hal yang tidak mungkin tumpukan sampah akan ditemukan di mana-mana.

Selain masalah mobil pengangkut sampah yang datang terlambat, sekali lagi masalah serupa di temukan, ketika memasuki kawasan pemukiman masyarakat, yaitu ketika petugas pengangkut sampah yang biasa beroperasi untuk mengangkut sampah dari rumah-rumah penduduk datang terlambat hingga dua sampai tiga hari dari jadwal biasa,sehingga mengakibatkan bau busuk yang sangat mengganggu penciuman. Masyarakat pun sibuk, ada yang membuang sampah mereka ke lahan-lahan kosong secara sembarang, ada juga yang membuang sampah mereka ke sungai-sungai di sekitar tempat tinggal, pada malam hari. Sampai kepada perlawanan untuk tidak mau membayar uang sampah bulanan.

Kegagalan serupa juga saya temukan di kawasan lainnya, yaitu ketika tulisan-tulisan himbauan yang telah pemerintah buat, tidak direspon baik oleh masyarakat. Seperti misalnya sampah yang ditemukan di samping tulisan yang berisi larangan tersebut. Tentunya ini akan menjadi sebuah fakta yang sangat kontras, karena masyarakat memahami apa yang diinginkan pemerintah. Tetapi ternyata, masyarakat mempunyai alasan lain mengapa tidak mau mengikuti apa yang dihimbaukan oleh pemerintah.

Masyarakat juga kembali mempertegas, bahwa kalimat yang menyerukan “buanglah sampah pada tempatnya” telah mereka lakukan. Karena tempat yang mereka rasakan tepat untuk membuang sampah, bukanlah tong sampah, tetapi sungai, dan tempat-tempat lain yang masyarakat rasakan dapat menjauhkan sampah dari mereka. Dengan tidak memperdulikan di mana mereka meletakkannya. Mau menyalahkan masyarakat, tunggu dulu, karena masyarakat mempunyai alas an sendiri mengapa harus membuang sampah di sembarang tempat.

Masyarakat mengatakan bahwa mereka tidak menemukan tempat-tempat pembuangan sampah yang dianjurkan pemerintah. Kalaupun ada, jaraknya jauh dari tempat tinggal. Fakta di atas memberikan gambaran bahwa, tidak adanya fasilitas pendukung lainnya, seperti adanya himbauan untuk membuang sampah di tempat sampah, tetapi tidak ada tempat sampah yang tersedia di sekitar lokasi. Atau misalnya, masyarakat diharuskan untuk menjaga kebersihan di sekitar daerah aliran sungai, tetapi armada pengangkut sampah selalu datang terlambat dan tidak semua masyarakat mendapatkan fasilitasnya.

Masyarakat tidak bisa lagi mengharapkan pemerintah dalam hal ini Dinas Kebersihan untuk mengatasi sepenuhnya permasalahan sampah yang mereka alami. Kondisi yang dialami masyarakat mengharuskan mereka untuk mencoba mencari jalan keluar dalam menaggulangi masalah sampah. Ternyata saya menemukan cara-cara masyarakat heterogen ini mengatasi masalah sampah yang mereka alami.

Misalnya dengan langsung mencari tempat untuk dapat meletakkan sampah-sampah yang mereka hasilkan. Seperti yang telah dipaparkan di atas. Selain sungai, lahan-lahan kosong, menjadi tempat alternatif favorit bagi masyarakat untuk meletakkan sampah-sampah yang mereka hasilkan. Tetapi jalan keluar seperti sangat berdampak buruk bagi kondisi lingkungan sekitar nantinya. Dan yang akan mendapatkan kerugian dari tindakan masyarakat tersebut, adalah masyarakat yang tinggal di lokasi itu sendiri. Jika hal ini terus dibiarkan, Kota Medan hanya akan menunggu waktu untuk mendapatkan predikat sebagai kota lautan sampah, menyusul Bandung yang terlebih dahulu telah mendapatkannya.

Di tengah rasa putus asa saya melihat kondisi lingkungan dan kebersihan di Kota Medan. Saya menemukan sebuah titik terang di salah satu kawasan kota yang berpenduduk 2.210.743[1] jiwa ini. Yaitu sebuah bentuk kerelaan untuk berbagi dangan memberi bagian yang mereka punya kepada orang lain. Berbagi apa…??, apa yang akan dibagi dari sampah-sampah yang terus mereka hasilkan setiap harinya.

“Tempat Sampah, dan Tumpukan Sampah”, ya inilah alat pemersatu dari masyarakat yang tinggal di kawasan ini. Dua keadaan yang sangat berbeda ditemukan di kawasan ini. Masyarakat yang tinggal di depan jalan besar, masing-masing telah memiliki tempat-tempat sampah pribadi.

Tempat-tempat sampah itu dibuat dalam ukuran besar, dan terbuat dari batu bata yang telah diplaster, hingga membentuk sebuah bak sampah besar dan kokoh. Sementara masyarakat yang masing tinggal di gang-gang kecil,yang hanya berjarak 400 meter dari rumah-rumah yang telah memiliki tempat pembuangan sampah pribadi, masyarakatnya tidak memiliki tempat-tempat sampah pribadi. Selain itu saya juga melihat adanya perbedaan lain dari latar belakang ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan yang berdekatan ini. Selain latar belakang ekonomi yang berbeda, ternyata perbedaan lain juga ditemukan di kawasan ini, yaitu perbedaan etnis dan suku, dan agama mereka.

Tentunya ini akan menjadi sebuah pengamatan yang menarik, karena saya dapat melihat bagaimana masyarakat mendistribusikan sampah-sampah yang mereka hasilkan setipa harinya, dengan berbagai perbedaan yang sangat besar di antara mereka. Akankah ini menjadi sebuah kasus yang akan menimbulkan banyak pertentangan di dalamnya. Saya pun mulai mengamatinya.

Fakta ini kembali menjadi perenungan baru bagi saya, yaitu bagaimana masyarakat yang heterogen ini bisa membentuk sebuah sistem sendiri untuk menanggulangi masalah sampah yang mereka hasilkan. Kembali lagi, hal ini menarik rasa ingin tahu saya untuk mendapat penjelasan lebih lanjut tentang sistem pengelolaan sampah yang telah mereka ciptakan tersebut. Apa nama sistem pengolahan sampah itu?, dan bagaimana sistem pengolahan sampah seperti itu dapat berlangsung di kawasan ini, berapa lama sistem ini berlangsung, dan dapatkah ini dipraktikkan di kawasan-kawasan lain kota ini. Sehingga pertanyaan-pertanyaan besar yang muncul ini saya kembali menelusuri bagaimana ini dapat berlangsung. Serta dapat menjelaskan keberadaan sistem yang pengelolaan sampah yang ada di kawasan ini.

Sistem “Titip Sampah” ya, begitu masyarakat di kawasan ini mengatakannya. “Titip sampah” telah menjadi sebuah sistem yang menurut saya dapat membantu kinerja Dinas Kebersihan untuk menanggulangi masalah sampah penduduk di kawasan ini. Masyarakat di kawasan ini tidak ada yang tahu pasti, sejak kapan sistem titip sampah berlangsung, tetapi seorang ibu ber-etnis Jawa mengatakan kepada saya, mereka (masyarakat sekitar), yang berasal dari gang-gang kecil ini merupakan kawasan yang sangat minim memperoleh akses kebersihan. Mengapa saya katakan sangat minim, hal ini dikarenakan masyarakat yang tinggal di kawasan gang-gang kecil tidak memperoleh fasilitas pengangkut sampah oleh pemerintah. Rasa kesal kembali saya rasakan, ketika mengetahui bahwa ternyata semakin banyak kawasan di Kota Medan ini yang masih memiliki kesulitan untuk memperoleh akses kebersihan.

Tetapi ternyata sebuah perbincangan santai kepada beberapa masyarakat, memberikan sebuah masukan yang sangat berarti kepada saya. Ketika adanya pernyataan yang mengatakan, bahwa masyarakat yang tinggal gang-gang kecil itu, tidak mau membayar uang pungutan sampah setiap bulannya dengan tepat waktu. Sehingga petugas pengangkut sampah pun malas untuk memasuki kawasan tersebut. Kesimpulan sementara yang saya dapatkan bahwa tidak ada saling pengertian di antara mereka. Tetapi mengapa pengertian justru muncul di antara masyarakat itu sendiri. Kesimpulan yang pernah terbentuk di benak saya, dengan mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan kesalahan lagi, sedikit bergeser. Ketika informasi yang saya dapatkan dari perbincangan santai ini, menegaskan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan gang-gang kecil tersebut merupakan masyarakat yang memiliki stratifikasi ekonomi yang lemah. Karena sebahagian besar mereka yang tinggal di kawasan gang-gang kecil tersebut bermata pencaharian sebagai buruh bangunan ataupun pedagang-pedagang kecil.

Sehingga menurut informasi yang saya peroleh dari perbincangan hangat tersebut, sering terjadi penunggakan uang sampah. Sehingga mengakibatkan petugas pengangkut sampah tidak mau lagi datang untuk mengangkut sampah ke kawasan tersebut. Maka sungai dan parit-parit di sekitar tempat tinggal mereka, berubah menjadi tempat sampah baru yang mereka ciptakan.

Ternyata tempat -tempat baru diciptakan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan ini, dapat menimbulkan masalah baru, ketika musim hujan datang. Banjir merupakan masalah baru yang diciptakan oleh masyarakat yang telah membuang sampah-sampah mereka secara sembarangan tersebut. Maka masyarakat yang tinggal di kawasan jalan utama juga mendapatkan imbasnya. Rumah-rumah mereka ikut terkena banjir. Keadaan seperti ini ternyata sangat mengganggu mereka yang merasa tidak membuang sampah sembarangan. karena merasa sangat terganggu dengan keadaan banjir yang sering mereka rasakan pada musim hujan, ternyata sangat mengganggu.

Maka mereka merasa, apa salahnya untuk saling berbagi tempat sampah. Dari pada harus membuang sampah ke sungai, parit, sehingga berujung pada banjir yang sama-sama mereka rasakan. Saya melihat adanya sebuah pengikat yang cukup kuat. Walaupun ikatan itu bukan berasal dari keturunan, kesamaan suku, maupun agama. Ikatan itu terlihat dari adanya persamaan masalah sampah dan banjir yang mereka hadapi bersama.

Seorang ibu yang tinggal di gang-gang kecil mengatakan kepada saya, mereka sering membuang sampah-sampah secara diam-diam ke tempat pembuangan sampah milik masyarakat yang tinggal di daerah pinggir jalan besar tersebut. Tidak ada protes yang mereka terima, karena mereka membuang sampah pada malam hari. Masyarakat sudah mau untuk berbagi tempat mengelola sampah, dan ini akan semakin memperjelas bahwa masalah sampah telah menjadi masalah bersama.

Fakta ini mengingatkan saya ketika Indonesia sama-sama melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, seperti adanya musuh bersama yang membuat orang-orang Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah nusantara melakukan perlawanan bersama-sama terhadap kejamnya pemerintahan kolonial pada waktu itu.

Pada saat sekarang ini sampah-lah yang menjadi musuh bersama bagi masyarakat Medan yang beragam ini. Tanpa adanya himbauan-himbauan dari pemerintah, masyarakat dengan sendirinya langsung memilkirkan bagaimana seharusnya upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi sampah-sampah yang terus betumpuk.

Ini adalah salah satu contoh kecil upaya masyarakat dalam membentuk sistem pengolahan sampah secara mandiri tanpa harus merugikan banyak pihak. Sistem itu sudah berlangsung lama, bahkan sebelum macetnya armada pengangkut sampah, masyarakat telah menggunakan sistem ini sebagai jalan keluar dalam menanggulangi masalah sampah. Masyarakat di kawasan ini menyebutnya sebagai “sistem titip sampah”.

Sistem titip sampah ini ternyata terbukti mengatasi masalah sampah dengan tidak menimbulkan konflik. Padahal sistem titip sampah ini melibatkan orang-orang yang terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda. Selain itu kesepakatan yang mereka bentuk ternyata bukan hanya dikarenakan merasa memiliki masalah sampah , tetapi kepada wujud perhatian mereka agar sungai yang berada di sekitar wilayah tempat tinggal mereka tidak tercemar dengan sampah-sampah yang dihasilkan masyarakat setiap harinya.

Sistem titip sampah dapat memberi gambaran bahwa interaksi yang terjadi antara masyarakat yang tinggal di kawasan yang memiliki cukup akses terhadap fasilitas kebersihan, dengan masyarakat yang tidak memiliki akses untuk memperoleh fasilitas kebersihan cukup baik, dimana mereka berhasil membentuk sebuah sistem yang dapat bermanfaat sampai sekarang, sehingga munculnya jalan keluar untuk membentuk sistem ini dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap kondisi kebersihan di lingkungan mereka. Mufida Afreni adalah peserta Sekolah Multikultural Desabtara 2008

Sensus Penduduk Kota Medan Tahun 2000.



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

Isi Komentar