Hikayat Si Baik melawan Si Jahat

Sigit Budhi Setiawan | 4 - Jun - 2008

Membaca Foto Berita TIME Kejadian 11 September dengan Semiotika
A picture is always an intepretation of reality, not reality itself.

ARTHUR BERGER

Every representation is a sign that has been ideologised.

V.N. VOLOSINOV

SEPTEMBER 2001

Tiada ada yang pernah yang menyana bahwa kejadian Selasa kelabu dibelantara beton New York dan sudut-sudut lain Amerika Serikat akan sedahsyat ini jadinya. Serangan teroris yang diwartakan “di-aktor-i” Mohammed Atta dan kawan-kawan itu telah menyeret dunia pada sebuah “perang”. Dan memungkinkan perang-perang yang lain yang mungkin lebih dahsyat atas nama “keberadaban”, demokrasi, keamanan-perdamaian dunia dan sebagainya, dengan Bush Junior dan para punggawanya sebagai konduktor perang. Semua bersikeras atas kebenarannya sendiri. Apakah itu Bush Junior atau sang terdakwa agung Ossama bin Laden, yang dikatakan juga sebagai bos Atta dan kawan-kawan.

Sungguh sebuah pagi di 11 September 2001 itu telah membawa ke sebuah situasi dunia yang lain dari sebelumnya. Boleh saja satu dasawarsa lalu Fukuyama bernubuat atas “Akhir Sejarah” yang membawa demokrasi liberal dan nilai-nilai Barat sebagai satu-satunya ideologi yang tersisa pasca kebangkrutan Komunisme, dengan disemayamkannya Uni Sovyet dari panggung politik dunia. Hura-hura teoritis Fukuyama pun berlanjut sepi ketika Huntington menulis artikel “The Clash of Civilizations?” pada 1993. Artikel yang berubah wujud menjadi buku pada 1996 ini berteguh pendapat bahwa konflik masa depan pada zaman akhir ideologi potensial timbul dari ranah budaya dan agama: sebuah benturan antar peradaban.

Paska kejadian 11 September gong bertalu meriah dari media-media Barat, dari yang kelas dunia sampai ‘ecek-ecek’ kelas komunitas swalayan, yang terkesan mengkompori benturan peradaban itu sahih adanya. Mengingat siaran pemerintahan Amerika Serikat di bawah Bush Junior bahwa serangan ini dilakukan kaum fundamentalis Islam yang tidak senang dan terganggu atas “kemenangan” peradaban Barat selama ini. Disana-sini media Barat yang diikuti ribuan media berita lain di puluhan zona waktu berbeda itupun menulis : “Sebuah negara yang penuh kebajikan,.demokratis dan pencinta perdamaian itu telah secara brutal dilantakan para teroris biadab…”(Paterson & Wilkins 2002). Inilah sebuah benturan Kristianitas Barat dengan Islam. Lalu terproduksilah wacana monolitis yang begitu Amerikanistik: dari Islamophobia, Tragedi Dunia, Heroisme Bush-Guilliani-Powell, Kewajaran Perang Aghanistan / Iraq dan sebagainya…

PADA MULANYA ADALAH FOTO…

Sulit bisa disangkal memang, di jaman ledakan informasi sekarang ini, media adalah kekuatan dahsyat untuk mengkontruksi makna atau juga mengaburkan makna, realitas sebenarnya. Apakah media itu berbentuk blog internet, cetak, e-majalah dan sebagainya. Media adalah sebuah industri kesadaran dan situs pertarungan makna. Douglas Kellner pernah mengamini media itu penyedia materi-materi bagi semua orang untuk membangun sense mereka tentang “Kita / Liyan”, seksualitas, ras, nasionalitas, dan juga etnisitas mereka (Kellner 1995). Setidaknya apa yang ditulis, gambarkan, ilustrasikan media adalah sebuah refleksi kepentingan media atau masyarakat yang mereka “wakili”.

Majalah TIME, yang juga hadir di Indonesia, tampaknya sadar betul dengan posisi jurnalisme yang seperti itu. Selalu ada ideologi yang tidak bisa dilepaskan begitu saja, sadar atau tidak sadar dalam setiap liputan. Jadi wajar saja TIME beriman pada jurnalisme advokasi. Sebuah ‘genre’ jurnalisme baru yang memasukan opini-opini mereka dalam berita yang mereka siarkan. Hingga setiap reportase mereka, tanpa mengingkari fakta-fakta, itu diarahkan untuk membuat opini publik. Menurut Fedler, pakar jurnalistik dari Amerika sono, para pewarta TIME selama lima puluh tahun terakhir ini telah melakukan kesimpulan dalam reportase mereka. Mereka mengkorelasikan beberapa berita dalam satu bentuk, menjelaskan makna dan mengarahkan cara berpikir pembaca mereka (Kurnia 2002).

Pada beberapa edisi TIME paska 11 September kesan-kesan “jurnalisme advokasi” mereka terasa sekali. Jelas itu wajar, mereka adalah bagian yang syah dari peradaban Amerika yang lagi terluka. Dalam TIME Special Issues September 2001 tertulis sebuah caption pada foto dua halaman penuh:

“HOLY WAR As large swats of lower Manhattan were turning into dust, farther uptown, at First Presbytarian on Fifth Avenue, the faithful gathered to hear the Rev. Jon Walton’s ‘service of mourning and lament’”

Foto itu menunjukan puncak sebuah gedung dengan salib besar diatasnya dan gambar dua menara World Trade Center yang sedang luruh menjadi debu. Kesan muram dan kemarahan langit kental sekali. Lalu perlahan dan pasti caption foto tersebut mengarahkan pembacaan kita tentang makna foto tersebut. Dan mungkin juga “dipaksa” mengamini makna yang dibangun majalah TIME tentang peristiwa 11 September : semua ini tentang benturan peradaban itu. Dimana keruntuhan menara yang disebabkan teroris, Mohammed Atta sebagai metonim Islam dengan peradabannya, dan gedung bersalib salib besar dengan pendeta Jon Walton dan jemaat didalamnya sebagai metonim Kristianitas Barat, itu sangat membangun metafor benturan peradaban. Benar juga pendapat Susan Sontag bahwa penggunaan fotografi itu sebagai bukti, memori, hiburan, hiasan pensahihan peristiwa atau pengalaman tentang sesuatu (McRobbie 1994). Kita percaya sekali realitas foto seperti halnya kita mempercayai mata kita sendiri (Hall 1997). Foto telah memberikan kekuatan dahsyat yang tak bisa disangkal lagi

Barthes dalam Image-Music-Text (1977) berpendapat bahwa foto berita itu konotatis. Menurutnya, kekonotatisan foto berita itu sangat terkait dengan norma-norma yang berlaku dalam media. Baginya, foto berita itu adalah sebuah obyek yang telah ‘dipermak’, dipilih, diatur, dikarang, dibangun dan diperlakukan sedemikian rupa menurut norma-norma profesional, estetik atau juga ideologis yang melahirkan kekonotatisannya itu. Senada dengan Barthes, Sontag berujar meski foto itu terkesan merefleksikan realitas, sesungguhnya foto adalah sebuah konstruk sosial. Dimana manipulasi foto itu wajar untuk melahirkan efek-efek yang dikehendaki (McRobbie 1994).

SEMIOTIKA FOTO BARTHESIAN

Sejauh ini, pembacaan foto lebih banyak mengacu pada semiotika Barthesian, seperti yang akan saya gunakan saat ini. Tapi sesungguhnya orang macam Foucault dengan Magritte-nya, Derrida lewat Postcard-nya, Hall dan Baudrillard yang saleh dengan ke-Barthesianan-nya fasih berbicara tentang foto. Dan ada juga Sorensson, Messaris, Kress – van Leuwen, Burgin dan lainnya yang tak kalah fasih ngobrol foto. Namun cuma semiotika Saussurean dan Peircean yang akan saya perkenalkan. Karena bagaimanapun juga kajian semiotika foto tidak lepas dari pengaruh dua orang tersebut. Lihat aja Barthes yang memakai istilah pesan ikonik yang kental nuansa Peircean-nya, padahal dia dari tauhid semiotika Saussurean.

Kajian semiotika sangat berutang budi pada de Saussure atas kajian teoritisnya tentang bahasa, makna, dan pemekaran konsep penandaan. Setidaknya dia berhasil menunjukan bahwa fungsi bahasa itu tidak menunjuk langsung benda-benda di dunia ini, dimana simbol sama dengan benda. Baginya, tanda itu terdiri atas dua sisi entitas psikologis terdiri atas sebuah sound-image / penanda dan sebuah concept / petanda kilah Saussure. Relasi tanda dan makna itu manasuka dan kesepakatan sosial. Dan masih banyak lagi konsep Saussure kalau mau dibahas disini dan tentunya sering dibahas berulang-ulang dalam setiap tulisan semiotika. Seolah hanya itu-itu saja semiotika itu. Padahal semua adalah tanda, sejauh merujuk sesuatu diluar dirinya. Di tulisan ini nanti saya cuma memperkenalkan konsep Saussure yang berkaitan dengan analisis foto Barthesian.

Konsep semiotika Peircean sendiri sering dikategorikan menjadi tiga jenis: ikon, indeks dan simbol. Ikon dalam pandangan Peirceaan adalah tanda yang proses semiosisnya berupa kemiripan, refleksi, kesamaan dan sebagainya. Misal foto, lukisan, karikatur, auman macan di radio, torso di toilet dsb. Sedang indeks adalah tanda yang proses semiosis / penandaan-nya berdasar sebab akibat, relasi logis. Misal jilbab itu indeks muslimah, rambu indeks sesuatu akan dijelang, mendung indeks hujan dan sebagainya. Lalu simbol adalah tanda yang proses semiosisnya berdasar kesepakatan satau istilah Peirce, habit. Contohnya bahasa yang kita pakai-pakai sehari-hari, tentunya termasuk rangkaian transkripsi fonetisnya. Namun sangatlah fatal jika terus berkeras bahwa cuma ikon, indeks dan simbol saja semiotika Peircean, dengan mengacuhkan pergabungan 1, 2, 3 dari ketiga kategori tadi. Karena Peirce juga menunjuk pergabungan tiga kategori tadi, mengingat suatu tanda bisa saja derajat kesepakatan, manasuka / konvensinya itu rendah, ikonisitasnya tinggi dan ada unsur indeks dalam tanda itu. Misal rambu lalu lintas bergambar sendok / piring adalah juga ikon pada kualitasnya, juga indeks yang menandakan didepan akan ada depot makan dan penggunaan rambu itu sendiri adalah simbol, karena perlu kesepakatan sosial. Foto sendiri adalah juga gabungan antara ketiga kategori tanda tersebut (Noth 1990; Fiske 1990; Chandler 1994).

Bagi Barthes, foto itu terdiri atas tiga macam pesan. Pertama linguistik; kedua, pesan ikonik nirkode dan terakhir, pesan ikonik terkode. Baginya, pesan linguistik-atau simbol dalam istilah Peircean- hampir selalu ada dalam sebuah citra. Apakah pesan linguistik itu berwujud sebagai caption, judul, lead berita, artikel, dialog film, balon komik dan sebagainya. Pesan linguistik ini fungsinya untuk memberikan deskripsi naratif pada berita. Dan ternyata, dalam pemahaman Barthes, pesan linguistik itu sangat berperan penting dalam foto, tanda ikonis itu.

Lebih lanjut Barthes mengungkap bahwa pesan linguistik itu sangat berguna untuk “memastikan” petanda-petanda yang mengambang dalam sebuah foto / citra. Karena bagaimanapun juga citra itu sifatnya polisemik. Jadi pesan linguistik disini akan berfungsi sebagai penambat dan penyebar sebuah pesan. Sebagai penambat, pesan linguistik akan mengarahkan pembaca pada petanda-petanda / makna-makna tertentu dan perlahan tapi pasti mengarahkan makna bagi pembaca. Lalu dalam fungsinya sebagai penyebar, pesan linguistik dan foto itu merangkai hubungan saling mengisi. Karena kata-kata , seperti foto / citra yang ada, adalah bagian fragmen dari sebuah sintakma yang lebih besar dan dari situlah kesatuan pesan itu tercipta.

Pesan ikonik nirkode sendiri bagi Barthes itu adalah sebuah analogon. Maksudnya, sebuah citra bukanlah sebuah realitas tapi setidaknya analog sempurna dan kesempurnaan yang sangat analogik, yang dalam pandangan umum, yang menegaskan foto. Jadi pesan ikonik nirkode Barthes itu adalah penjelmaan tanda Saussurean, dimana tanda itu relasional ketimbang subtantif. Artinya, pesan ikonik nirkode itu adalah pesan literal dari realitas yang direkam foto. Asumsi ini berkaitan dengan pendapat Barthes bahwa pada tataran literal, hubungan antara penannda dengan petanda bukanlah sebuah transformasi tapi perekaman. Hal ini berkaitan tidak ada pengkodean tertentu yang menjamin kealamiahan foto, karena pemandangan dalam foto itu ditangkap melalui kamera foto, bukan reka manusia. Rekaman mekanis inilah yang menjamin obyektifitas ! Bisa disimpulkan, pesan ikonik nirkode itu pengambaran tanda dalam foto: seekor anjing adalah anjing.

Pesan ikonik terkode adalah aspek ideologis, budaya dari gambar yang disuguhkan. Jelasnya, seperti pernah kita bahas diatas, pesan ikonik terkode adalah makna kedua dimana penanda-nya telah mengalami “permak”-an / hasil dari sang pencipta dan tentunya, petanda-nya tanda tersebut secara estetik atau ideologis itu merujuk pada budaya masyarakat penerima pesan tersebut. Artinya pesan ikonik terkode itu dibangun atas / dari pesan ikonik nirkode. Jadi jelas campur tangan manusialah yang menyebabkan pesan ikonik terkode itu ideologis. Karena proses seleksi dan omisi itu terjadi secara sadar atau tidak sadar. Sederhananya adalah pesan ikonik nirkode / denotasi itu apa yang kita foto, sedang pesan ikonik terkode / konotasi itu bagimana ini difoto (Barthes 1977; Fiske 1990).

Satu hal lagi yang menarik dari Barthes adalah konsep Dua Tingkat Penandaan, yang sangat berguna dalam analisa foto atau lebih luas pada kajian media dan sebagainya. Melalui Dua Tingkat Penandaan ini kita diajak menuai segala kemungkinan makna yang dinamis. Karena bagimanapun juga makna itu tidak bisa begitu saja dilepaskan dari pertarungan ideologi. Setiap tanda yang bermakna adalah ideologis. Dimana tanda yang sama bisa menghasilkan makna yang berbeda pada masyarakat / orang yang berbeda dan situasi yang beda. Artinya makna adalah proses negoisasi antara penulis / pembaca / teks.

Dua Tingkat Penandaan Barthes yang terdiri atas denotasi, konotasi dan mitos itu pun berkembang pesat ditangan para pemujanya, namun ide dasar Barthes masih sangat kuat nuansanya. Denotasi itu menempati tataran pertama pemaknaan, dengan mengadopsi Sassure, terdiri penanda / petanda yang membentuk tanda. Anjing adalah anjing. Namun, tanpa mengingkari kenyataan bahwa tiada makna tanpa ideologi, jadi sebetulnya denotasi itu juga ideologis. Seperti ujar Baudrillard, denotasi itu disokong penuh oleh mitos obyektivitas, apakah itu berkaitan dengan tanda linguistik atau ikonisitas foto dsb, dimana penanda foto itu rekaman realitas. Disini jelas perbedaan denotasi dan konotasi itu, seperti ungkap Hall, cuma analistis saja. Dan hati-hati juga, kadang kita mudah terpeleset membaca nilai-nilai konotatif itu sebagai fakta denotatif.

Pada tataran pemaknaan selanjutnya, denotasi / Penandaan Tingkat Pertama menjadi basis tingkat pemaknaan kedua / Penandaan Tingkat Kedua dimana konotasi dan mitos itu dibentuk. Konotasi lahir lewat FORM / bentuk-nya Penandaan Tingkat Kedua dan mitos dibentuk lewat CONTENT / isi-nya Penandaan Tingkat Kedua. “Konotasi itu makna penanda pada Penandaan Tingkat Kedua dan mitos itu makna petanda pada Penandaan Tingkat Kedua” jelas Fiske. Nampaknya pesan konotasi secara tidak langsung telah di bahas diawal tulisan, dimana disebutkan foto itu konotatis. Yang jelas, seperti ungkap Barthes, konotasi itu menjelaskan interaksi yang terjadi ketika tanda dan penguna / pembaca tanda itu bertemu, dengan segala perasaan / emosinya dan tentu juga dengan nilai budayanya. Jadi retorik “Gerakan Aceh Merdeka dan Gerakan Separatis Aceh” secara denotatif menunjuk orang yang sama, namun secara konotatif memiliki makna yang sangat beda

Stuart Hall meyebut bahwa mitos itu berbeda dengan konotasi, ketika mitos itu mencoba meng-universal-kan makna. Sambung Hall, mitos itu konotasi yang begitu dominan lagi hegemonik. Lebih jauh Barthes berpendapat bahwa mitos itu menjalankan fungsi ideologis dari naturalisasi. Dimana fungsinya adalah mengalamiahkan nilai budaya, atau dengan kata lain, membuat sikap, kepercayaan, nilai-nilai budaya dan sejarah dominan itu nampak sepenuhnya wajar, alamiah, abadi, saintifik, gamblang, akurat, rasional, jujur-adil, universal, obyektif, ilahiah dan benar hingga tidak bisa dipertanyakan lagi, karena seperti itulah semua ini adanya (Barthes 1983, 1977, 1987; Fiske 1990; Hall 1980; Turner 1996; Chandler 1994).

. MEMBACA FOTO DENGAN SEMIOTIKA

Pesan media, termasuk didalamnya foto, itu polisemik. Namun begitu, pesan media itu tidaklah sangat pluralistik. “Meski ada derajat keterbukaan makna pada pesan media, namun sesungguhnya terdapat batas juga disana” ungkap Hall. “Jika makna itu sepenuhnnya tidak ditentukan sebelumnya oleh kode-kode budaya”, lanjut Hall, “pesan media itu disusun dalam sebuah sistem yang didominasi oleh kode-kode yang didukung / dominan.” Oleh karena itu, Hall –dengan mengembangkan teori Frank Parkin—mengidentifikasi tiga posisi hipotetis, dimana pembacaan pesan media itu bisa dibentuk: pembacaan dominan / arahan , pembacaan negosiatif dan pembacaan kontra dominan / radikal.

Dalam pembacaan dominan / arahan itu kita, pembaca, menerima penuh lagi begitu saja dan membacanya kode-kode pesan seperti kode itu dikodekan dari sononya. Kondisi pembacaan dominan itu hanya kadang-kadang saja terjadi karena kita ternyata umumnya membaca pesan media pada pembacaan negosiatif. Pembacaan negosiatif sendiri adalah kondisi pembacaan yang mengakui nilai-nilai dominan dan stuktur yang ada, namun semua itu ternyata cuma strategi untuk memperdebatkan, menentang, membantah. mendesak, menganjurkan struktur dan nilai dominan bahwa posisi “kita” dalam struktur itu perlu diperbaiki. Sedang pembacaan kontra dominan / radikal adalah pembacaan yang menolak nilai-nilai sosial dan budaya versi dominan. Pembacaan versi ini mengerti betul pembacaan dominan / arahan namun menolak dan menganggapnya palsu dan salah (Hall 1980; Fiske 1990; Turner 1996). Dan dari berbagai deskripsi teoritis diataslah pembacaan foto berita TIME edisi 24 September hal. 35 ini kita mulai.

Judul

Sacrificial Warriors

Lead Berita

In Pakistan, even well-educated fundamentalists see the hijackers not as terrorist but as martyrs

ABC’S Studying Islam in religious schools, like this one in Pakistan, can be as critical to molding extremists as the training at this bin Laden camp in Afghanistan, left.

Figur-figur pada foto-foto diatas bisa dipastikan pemuda. Kita mengenali mereka secara ikonik, penampilan fisik mereka yang ditangkap foto. Simbol, dalam bentuk caption, memberi informasi bahwa figur-figur dalam foto tersebut orang Pakistan. Mereka sedang belajar agama Islam di madrasah. Lalu figur-figur pada foto sebelah kiri adalah pemuda yang yang sedang digembleng di kamp pelatihan bin Laden di Aghanistan. Melihat fakta belajar agama Islam, dengan pose sedang mencium buku yang di tulis dalam huruf Arab, dan baju gamis yang mereka pakai itu secara indeksikal memastikan mereka adalah Muslim. Sampai disini kita bisa menginterpretasi foto sebelah kanan itu tentang pemuda Pakistan yang sedang belajar agama Islam di sekolah agama / madrasah.

Buku yang ditulis dalam huruf Arab, sampai dicium-cium, di madrash ini secara indeksikal merujuk bahwa itu adalah Al Quran. Senyatanya, umumnya, Al Quran ditulis dalam tulisan Arab dan diperlakukan dengan cara yang istimewa, dicium. Tindakan “penciuman / mendongok” itu sendiri secara ikonis dan indeksikal merujuk pada perasaan emosi mereka tentang kesalehan, penerimaan, kekhidmatan, pasrah, menyerahkan segalanya pada Tuhan dan sebagainya. Bisa jadi juga tindakan penciuman itu menunjukan mereka sedang mengakhiri pelajaran baca / kajian Al Quran dan bisa jadi juga, keniatan, khidmatan juga keseriusan belajar sampai mendongok-dongok.

Foto sebelah kiri menunjukan pada kita bahwa para pemuda di kamp pelatihan bin Laden ini sedang merangkak dibawah kawat berduri dan mengenakan pakaian loreng hijau itu indeks kemiliteran mereka. Realitas foto ini jelas membangun penanda prajurit muda yang sedang berlatih militer secara keras dan serius. Lalu relasi para pemuda dan bin Laden disini secara indeksikal membangun arti kemusliman para prajurit muda. Karena seperti kita ketahui bin Laden adalah “pemimipin” Islam “bawah tanah.” Secara keseluruhan foto sebelah kiri tersebut tentang para pajurit muda Muslim sedang berlatih keras dan giat di kamp pelatihan militer bin Laden, Afghanistan.

Pada level denotasi foto-foto diatas terdiri dari beberapa tanda ikonik yang bisa dibaca layaknya kalimat. Dua tanda utama disini adalah tentang sekelompok pemuda Pakistan dan muda Muslim di Afghanistan. Dua tanda lainnya adalah atmosfir sekolah agama Islam dan kamp pelatihan militer di Afghanistan. Disini caption dan judul berita sangat berperan dalam pembentukan sintakma denotasi.

Penanda-penanda dalam foto-foto tersebut tentu saja akan menjadi tanda yang berarti jika kita mempertemukan petanda, signified atau mental concept yang ada. Jelas kita memiliki konsep mental tentang pemuda, Muslim, dunia ketiga, militerisme, sekolah dan kamp pelatihan untuk membaca semua tanda ini. Petanda-konsep mental ini tentu saja hasil pengalaman budaya kita: kita bisa mengenal figur berseragam doreng, merangkak dibawah kawat berduri adalah prajurit militer; setting foto yang kering, kumuh dan figur-figurnya sebagai bukan Barat; buku dalam huruf Arab di sekolah Islam dan dipelakukan istimewa sebagai Al Qur’an. Lebih jauh menempuh pelajaran di sekolah melahirkan petanda keterdidikan. Sedang berlatih di kamp pelatihan bin Laden melahirkan petanda, konsep mental kemiliteran.

Sintakma tanda-tanda diatas jelas membangun relasi kealamiahan hubungan, ekstremitas yang pada satu hal berkaitan dengan, mungkin hubungan sebab akibat, dengan dekadensi, latar belakang Islam dan mungkin juga dunia ketiga. Disini tentunya ekstremitas yang sangat berkaitan dengan latar belakang agama figur-figur dalam tanda ikonik tadi. Melihat kenyataan sekelompok Muslim dilatih di kamp pelatihan bin Laden dan belajar agama Islam di sekolah, secara denotatif, sintakma tanda bisa diinterpretasi : beginilah keadaan para pemuda Islam itu di didik.

Secara semiotis, tata letak penempatan foto-foto diatas tadi bisa dibaca sebagai perbandingan; terlebih pesan linguistik, caption, secara ekplisit memastikan perbandingan. Jelas pembacaan pada level konotasi dan mitos disini akan sangat berguna. Penciuman Al Quran adalah konotasi kesalehan, kepatuhan berlebih, fanatisme, pasrah pada Tuhan dan sebagainya. Pemuda Muslim yang berlatih keras di kamp bin Laden secara konotatif berkata tentang keseriusan, kepatuhan paramiliter, bahwa milisi Muslim bersenjata itu benar-benar ada dan mereka dilatih untuk itu dan seterusnya. Disini kita melihat pembandingan foto dan pemilihan foto dengan pose-pose yang sedemikian rupa oleh TIME, menghadirkan konotasi pada kita, tentang kemungkinan cara berpikir pendek, fanatisme belebih pada Islam yang menyebabkan kematian, kebencian pada budaya lain, seperti yang dilakukan para teroris kejadian 11 September. Interpretasi konotatif diatas didukung fakta intertekstual bahwa: teroris yang menyerang di Selasa kelabu itu adalah seorang Mohammed Atta dan kawan-kawan, Muslim Timur Tengah (bukan Barat) yang memperoleh pendidikan tinggi di Eropa dan Amerika Serikat. Dan karena fakta-fakta seperti inilah mengapa dua foto itu diperbandingkan. Secara konotatif pembandingan foto tadi berkata : “Beginilah para teroris, ektremis itu secara alamiah dilahirkan oleh lingkungan dan budaya Muslim, apakah secara intelektul di sekolah atau di kamp pelatihan militer.” Atau bisa juga “meskipun dididik secara intelektual di sekolah, para pemuda Muslim tetap aja menjadi teroris, seperti yang jelas dilatih dan diarahkan di kamp bin Laden ini, karena bagimanapun juga lingkungan dan budaya Muslim sangat mendorong ke arah itu.”

Interpretasi diatas di dukung penggunaan tanda simbolik dalam artikel berita tersebut, dari judul, caption, pilihan kata dalam berita berita. Disini penggunaan analisa paradikmatik, sintakmatik dan tes komutasi Saussurean-Barthesian sangat berguna dalam menguji kestabilan interpretasi kita. Tes-tes tersebut perlu karena nilai tanda itu ditentukan oleh relasi paradikmatik dan sintakmatik. Sedang tes komutasi itu berguna untuk mengidentifikasi perbedaan yang mencolok atau ciri pembeda dalam sintakma dan paradigma. Walhasil tes komutasi akan sangat membantu kita tentang seberapa penting makna itu akan berubah ketika kita melakukan analisa paradigmatik dan sintagmatik. Semisal pada tataran paradigma baju dan topi yang dipakai pelajar Pakistan tadi adalah t-shirt dan bandana bukan gamis dan kopiah yang insignia, tanda identitas, Islam. Lalu pose baca mereka biasa dan buku bacaan tersebut ditulis dalam huruf romawi dengan setting ruang sekolah berposter Che Guevara dan sebagainya. Jelas komutasi tataran paradigmatik juga sintagmatik akan sangat merubah makna.

Pada caption foto diatas kita menemukan kata ABC’S ditulis dengan huruf besar dan berwarna merah. Penulisan hurup besar diawal dan pewarnaan merah ini bisa dikatakan tidak punya arti, karena semua awal caption di TIME ditulis dengan cara seperti itu. ABC’S disini berarti konotasi ‘fakta pertama yang harus diketahui.’ Dan peletakan pada awal kalimat caption menekankan hal ‘penting’ kata tersebut. Di tempat lain banyak ditemukan padanan kalimat judul ‘Sacrificials Warriors / Pasukan berani mati’ di artikel berita seperti kata ‘extremists / ektremis’. Lalu lead berita ‘In Pakistan, even well-educated fundamentalists see the hijackers not as terrorist but as martyrs.’ Lalu kalimat konotatif ‘This view is shared by extremists throughout the Islamic world, from Mindanao to Morocco. Today well-educated extremists, who keep in touch with his brethren in Afghanistan or Indonesia through the internet.’ Rangkaian tanda-tanda simbolik diatas seolah membangun konotasi tentang fakta pertama yang harus diketahui tentang Muslim adalah seperti ini, secara alamiah entah terdidik atau tidak, berpotensi menjadi ekstremis / fundamentalis / teroris. Dan bila ditabelkan pilihan kata dalam relasi sintagmatik, paradigmatik dan komutasi jelas akan sangat kentara. Karena bagimanapun juga pilihan kata atau serangkai kata adalah pilihan ideologis. Karena tidak ada makna diluar ideologi. Hingga pilihan kata (komutasi paradigmatik) tersebut secara denotatif merujuk orang yang sama namun pilihan tanda simbolik tadi membangun (sintakma) konotasi yang sangat berbeda.

Pada tataran mitos, kita bisa memahami pesan konotatif itu nebeng atau hidup dari mitos ke-Liyan-an, Barat yang beradab, Liyan yang kafir bodoh lagi tidak beradab. Hingga telah menjadi tugas peradaban Barat untuk memberadabkan mereka dengan Kristianitas, budaya Barat, Anglo-Saxon, Kulit Putih sebagai ukuran, patokan dan standar peradaban Liyan bukan Barat. Karim, Profesor Ilmu Komunikas Universitas Carleton Kanada, berujar bahwa media Barat sering sekali menawarkan jargon Si Baik melawan Si Jahat dalam wacana media mereka. Si Baik adalah mereka yang dikategorikan sebagai orang Barat dengan nilai budaya berdasar Kristianitas atau liberalisme sekuler. Lalu Si Jahat adalah Muslim, dan semua yang berasal dari mazhab barbar tidak berperikemanuisaan dan sangat fundamentalis lagi fanatik pada agama.

Jelas pengetahuan teori Poskolonial, utamanya dari Edward Said sangat berguna dalam membantu pembacaan representasi Islam di media Barat secara semiotis diatas. Karena semiotika bukanlah ilmu yang mandiri. Namun inti dari semua ini adalah bagaimana membangun dialog dua arah. Bukan membabi buta layaknya Bush, Thatcher, Blair, Berlusconi dan sebagainya yang nyerocos saja, seolah inilah awal perang salib kedua, tanpa bukti bahwa Selasa kelabu itu ulah syah Islam secara keseluruhan yang tingkat peradabannya sangat rendah dibanding Barat. Inilah benturan antar kedunguan ketimbang benturan antar peradaban, ketika ulah satu dua Muslim adalah metonim seluruh Muslim dan sang Liyan Barat membiarkan saja segelintir ‘fundamentalis’ Islam menjadi juru bicara yang syah atas agama dan Tuhan.

JUNI 1995

Oklahoma City mendadak riuh oleh panik, isak tangis dan bising raung ambulan: sebuah bom telah meledak di gedung pemerintahan Amerika Serikat! Beberapa spekulasi tidak jelas pun mucul atas tragedi kemanusian yang menelan banyak nyawa itu. Dari yang rasis, politis, partisan, kriminal dan sebagainya muncul. Belakangan seorang fundamentalis Kristen militan bernama Timothy McVeight diketahui sebagai pelakunya. Padahal media Barat, seperti biasanya, kadung menulis “In The Name of Islam” dalam headline mereka yang menampakan foto petugas pemadam kebakaran yang sedang membopong potongan tubuh anak. Sambil berujar ”Sungguh sebuah spekulasi yang tak sedap”, saya menutup tulisan ini dan memberi ‘pr’ semiotik gambar pertama pada sidang pembaca budiman [] Tulisan ini adalah riset dan pendapat pribadi Sigit Budhi Setiawan



Tulisan sebelumnya:
«

Tulisan sesudahnya:
»

2 Responses to “Hikayat Si Baik melawan Si Jahat”

  1. Sigit Budhi Setiawan says:

    Mas Bro iki tulisanku, mbok dikasih nama. Suwun

  2. admindes says:

    sudah diedit pak Sigit.

Isi Komentar

Pencarian